Gareng, Petruk dan Bagong baru saja diangkat menjadi hakim.
Selanjutnya … malah sebelum itu … banyak hal-hal ganjil terjadi walau mereka belum resmi punya gawean memutuskan perkara. Masyarakat tidak saja berebut menawari payung di jalanan ketika hujan, agar badan mereka tidak kuyup alias kebes. Mobil, rumah, bahkan pesawat terbang tak jarang ingin dipersembahkan oleh para warga hitam kepada ponokawan itu.
Semuanya sebelum mereka dilantik, lho…. Bayangkan kalau sudah dilantik. Semua tak mereka anggap sebagai sesuatu yang aneh. “Wajar. Namanya juga calon hakim. Pasti banyak penduduk ingin menyodor-nyodorkan hartanya,” tandas Gareng, “tapi kita harus kukuh pada prinsip. Seorang hakim terima ulungan payung saja tidak pantas … apalagi mobil … apalagi pesawat ….”
Petruk dan Bagong mengiyakan.
Yang bikin mereka merasa aneh justru panggilan “Yang Mulia”.
“Namaku di KTP sudah jelas-jelas Bagong, kenapa aku dipanggil Yang Mulia? Panggil saja Yang Bagong …. Iya, kan?”
“Betul, Yang Gong. Nanti kalau ada istriku, Dewi Undanawati, hadir di persidangan, terus dia dengar … kalau dia latah bagaimana … pas di rumah ikut-ikutan manggil aku bukan Mas Petruk lagi, melainkan Yang Mulia … hmmm …. Sudah nggak ada mesra-mesranya lagi.”
Gareng, setelah berpikir lama, berniat meneliti sejak kapan para terdakwa memanggil hakim dengan predikat “Yang Mulia”. Maklum, ketiganya belum pernah menyaksikan persidangan. Dididik secara formal untuk menjadi hakim pun mereka belum.
Ketiganya didaulat menjadi hakim oleh masyarakat yang mendambakan keadilan, bukan karena mereka ditempeli berbagai gelar kesarjanaan hukum. Jangankan cuma satu titel, wong sekolah menengah saja ketiganya tak tamat. Sebagian anggota masyarakat putih membaiat ponokawan menjadi penjaga pilar keadilan karena mereka dikenal jujur dan adil.
Prinsip mereka, “Sebelum hujan, sedia payung. Sebelum masyarakat main hakim sendiri, mari main hakim bersama. Yaitu bersama hakim yang jujur dan adil.”
Tidak pernah menghadiri sidang pengadilan, tidak berarti belum mendatangi sidang jenis lain. Sidang seseorang untuk menjadi doktor, secara kebetulan, pernah mereka kunjungi. Gareng ingat, calon doktor memanggil para pengujinya dengan predikat “Yang Amat Terpelajar”.
Anehnya, waktu itu Gareng dan adik-adiknya tidak merasa aneh. Setidaknya tak seaneh panggilan “Yang Mulia”.
Gareng, ponokawan yang paling gemar bepikir, tiba-tiba juga ingat bahwa “Yang Mulia” pernah disapakan kepada Soekarno. “Tapi, tidak senanggung Yang Mulia …. Di depannya dikasih embel-embel Paduka ….. Jadi, lengkapnya Paduka Yang Mulia,” renungnya.
“Betul. Apa-apa kalau serbananggung memang nggak enak,” Bagong angkat bicara.
“Aku kalau lagi olah asmara dengan istriku juga ndak pernah nanggung, tuh,” ujar Petruk. “Semua harus tuntas. Tapi kalau dia manggil aku dengan Yang Mulia … hubungan akan jadi kaku. Bagaimana bisa tuntas?"
Selidik punya selidik, ternyata Gareng menemukan data bahwa “Yang Mulia” dipakai kali pertama oleh terdakwa Cantrik Janaloka dari pertapaan Andong Sumawi.
Ceritanya, sang Pertapa menyuruh Janaloka agar mengawal cucunya, Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati, pergi ke kota mencari sang ayah, Raden Arjuna, meski penengah Pandawa itu belum pernah menikahi resmi ibu keduanya. Waktu itu Makhamah Konstitusi sudah bikin keputusan seperti dalam kasus Machica Mochtar, ayah boleh tidak sah, tetapi anak tetap sah sebagai anak.
Berangkatlah kedua putri gunung itu ke kota. Eh, di tengah jalan ada “pagar makan tanaman”. Kedua cucu pertapa itu akan diperkosa oleh Cantrik Janaloka. Padahal, Janaloka dikenal sebagai tokoh spiritual yang kerap berdakwah anti-kemaksiatan.
Tapi, temuan Petruk dalam penyelidikan yang dipimpin Gareng itu lain lagi. Menurut suami Undanawati ini, panggilan “Yang Mulia” kali pertama dipakai oleh terdakwa Prabu Jayamurcita dari Negeri Palangkawati.
Waktu itu Palangkawati termasuk dalam wilayah negara Mertani yang dipimpin oleh raja jin, Yudhistira. Suatu hari Pandawa menaklukkan kerajaan jin tersebut dalam lakon “Babad Wanamarta” alias “Babad Alas Mertani”. Jin Yudhistira takluk. Arwahnya manunggal dengan Puntadewa sehingga Puntadewa juga dijuluki Prabu Yudhistira. Anehnya, Prabu Jayamurcita tak mau takluk.
Alasasn Jayamurcita, jin Yudhistira mau manunggal dengan Prabu Puntadewa karena Pandawa berjanji untuk “katakan tidak pada korupsi!”.
“Jadi, bukannya saya membangkang, Yang Mulia. Tapi, saya ingin bukti. Kekuasaan Pandawa ini baru beberapa jam. Kalau Pandawa memang bisa membuktikan katakan tidak pada korupsi …. Wah, Yang Mulia, dengan senang hati Palangkawati akan bergabung dengan negara Mertani, Yang Mulia ….,” bela diri Jayamurcita di persidangan.
Dia duduk di kursi yang mirip kursi Angelina Sondakh, yang juga sama-sama memanggil hakim dengan “Yang Mulia”.
Lain lagi temuan Bagong dalam penyelidikan arahan Gareng. “Yang Mulia” ternyata semula digunakan oleh Batara Kala saat disidang atas penganiayaannya terhadap Jaka Jaktus dalam lakon “Ruwatan Murwakala”.
“Kenapa Saudara Terdakwa hendak memangsa Jaka Jaktus alias Jatusmanti alias Jaka Mulia? Padahal jelas-jelas Jaka Mulia sudah mandi air Telaga Nirmala?” tanya Tuan Hakim.
“Yang Mulia itu anak satu-satunya si jomlo Randa Sembada alias Randa Semawit. Meski sudah bersuci di Sendang Niramala, dia anak satu-satunya Janda Semawit. Artinya, anak ontang-anting. Ontang-anting termasuk dalam daftar menu yang diiming-imingkan dewata kepada saya. Maka Yang Mulia akan saya mangsa saja.”
"Ha? Kamu akan membunuhku?" Ketiga hakim membatin dan tampak bingung.
Padahal, yang dimaksud Batara Kala dengan “Yang Mulia” adalah “Jaka Mulia”.
Bagi Gareng, panggilan “Yang Mulia” terhadap hakim memang bisa jadi seperti rayuan. Rayuan itu “membunuh”. Lebih “membunuh” hakim ketimbang utang budi karena dipayungi.
_____
Selanjutnya … malah sebelum itu … banyak hal-hal ganjil terjadi walau mereka belum resmi punya gawean memutuskan perkara. Masyarakat tidak saja berebut menawari payung di jalanan ketika hujan, agar badan mereka tidak kuyup alias kebes. Mobil, rumah, bahkan pesawat terbang tak jarang ingin dipersembahkan oleh para warga hitam kepada ponokawan itu.
Semuanya sebelum mereka dilantik, lho…. Bayangkan kalau sudah dilantik. Semua tak mereka anggap sebagai sesuatu yang aneh. “Wajar. Namanya juga calon hakim. Pasti banyak penduduk ingin menyodor-nyodorkan hartanya,” tandas Gareng, “tapi kita harus kukuh pada prinsip. Seorang hakim terima ulungan payung saja tidak pantas … apalagi mobil … apalagi pesawat ….”
Petruk dan Bagong mengiyakan.
Yang bikin mereka merasa aneh justru panggilan “Yang Mulia”.
“Namaku di KTP sudah jelas-jelas Bagong, kenapa aku dipanggil Yang Mulia? Panggil saja Yang Bagong …. Iya, kan?”
“Betul, Yang Gong. Nanti kalau ada istriku, Dewi Undanawati, hadir di persidangan, terus dia dengar … kalau dia latah bagaimana … pas di rumah ikut-ikutan manggil aku bukan Mas Petruk lagi, melainkan Yang Mulia … hmmm …. Sudah nggak ada mesra-mesranya lagi.”
Gareng, setelah berpikir lama, berniat meneliti sejak kapan para terdakwa memanggil hakim dengan predikat “Yang Mulia”. Maklum, ketiganya belum pernah menyaksikan persidangan. Dididik secara formal untuk menjadi hakim pun mereka belum.
Ketiganya didaulat menjadi hakim oleh masyarakat yang mendambakan keadilan, bukan karena mereka ditempeli berbagai gelar kesarjanaan hukum. Jangankan cuma satu titel, wong sekolah menengah saja ketiganya tak tamat. Sebagian anggota masyarakat putih membaiat ponokawan menjadi penjaga pilar keadilan karena mereka dikenal jujur dan adil.
Prinsip mereka, “Sebelum hujan, sedia payung. Sebelum masyarakat main hakim sendiri, mari main hakim bersama. Yaitu bersama hakim yang jujur dan adil.”
Tidak pernah menghadiri sidang pengadilan, tidak berarti belum mendatangi sidang jenis lain. Sidang seseorang untuk menjadi doktor, secara kebetulan, pernah mereka kunjungi. Gareng ingat, calon doktor memanggil para pengujinya dengan predikat “Yang Amat Terpelajar”.
Anehnya, waktu itu Gareng dan adik-adiknya tidak merasa aneh. Setidaknya tak seaneh panggilan “Yang Mulia”.
Gareng, ponokawan yang paling gemar bepikir, tiba-tiba juga ingat bahwa “Yang Mulia” pernah disapakan kepada Soekarno. “Tapi, tidak senanggung Yang Mulia …. Di depannya dikasih embel-embel Paduka ….. Jadi, lengkapnya Paduka Yang Mulia,” renungnya.
“Aku kalau lagi olah asmara dengan istriku juga ndak pernah nanggung, tuh,” ujar Petruk. “Semua harus tuntas. Tapi kalau dia manggil aku dengan Yang Mulia … hubungan akan jadi kaku. Bagaimana bisa tuntas?"
Selidik punya selidik, ternyata Gareng menemukan data bahwa “Yang Mulia” dipakai kali pertama oleh terdakwa Cantrik Janaloka dari pertapaan Andong Sumawi.
Ceritanya, sang Pertapa menyuruh Janaloka agar mengawal cucunya, Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati, pergi ke kota mencari sang ayah, Raden Arjuna, meski penengah Pandawa itu belum pernah menikahi resmi ibu keduanya. Waktu itu Makhamah Konstitusi sudah bikin keputusan seperti dalam kasus Machica Mochtar, ayah boleh tidak sah, tetapi anak tetap sah sebagai anak.
Berangkatlah kedua putri gunung itu ke kota. Eh, di tengah jalan ada “pagar makan tanaman”. Kedua cucu pertapa itu akan diperkosa oleh Cantrik Janaloka. Padahal, Janaloka dikenal sebagai tokoh spiritual yang kerap berdakwah anti-kemaksiatan.
Tapi, temuan Petruk dalam penyelidikan yang dipimpin Gareng itu lain lagi. Menurut suami Undanawati ini, panggilan “Yang Mulia” kali pertama dipakai oleh terdakwa Prabu Jayamurcita dari Negeri Palangkawati.
Waktu itu Palangkawati termasuk dalam wilayah negara Mertani yang dipimpin oleh raja jin, Yudhistira. Suatu hari Pandawa menaklukkan kerajaan jin tersebut dalam lakon “Babad Wanamarta” alias “Babad Alas Mertani”. Jin Yudhistira takluk. Arwahnya manunggal dengan Puntadewa sehingga Puntadewa juga dijuluki Prabu Yudhistira. Anehnya, Prabu Jayamurcita tak mau takluk.
Alasasn Jayamurcita, jin Yudhistira mau manunggal dengan Prabu Puntadewa karena Pandawa berjanji untuk “katakan tidak pada korupsi!”.
“Jadi, bukannya saya membangkang, Yang Mulia. Tapi, saya ingin bukti. Kekuasaan Pandawa ini baru beberapa jam. Kalau Pandawa memang bisa membuktikan katakan tidak pada korupsi …. Wah, Yang Mulia, dengan senang hati Palangkawati akan bergabung dengan negara Mertani, Yang Mulia ….,” bela diri Jayamurcita di persidangan.
Dia duduk di kursi yang mirip kursi Angelina Sondakh, yang juga sama-sama memanggil hakim dengan “Yang Mulia”.
Lain lagi temuan Bagong dalam penyelidikan arahan Gareng. “Yang Mulia” ternyata semula digunakan oleh Batara Kala saat disidang atas penganiayaannya terhadap Jaka Jaktus dalam lakon “Ruwatan Murwakala”.
“Kenapa Saudara Terdakwa hendak memangsa Jaka Jaktus alias Jatusmanti alias Jaka Mulia? Padahal jelas-jelas Jaka Mulia sudah mandi air Telaga Nirmala?” tanya Tuan Hakim.
“Yang Mulia itu anak satu-satunya si jomlo Randa Sembada alias Randa Semawit. Meski sudah bersuci di Sendang Niramala, dia anak satu-satunya Janda Semawit. Artinya, anak ontang-anting. Ontang-anting termasuk dalam daftar menu yang diiming-imingkan dewata kepada saya. Maka Yang Mulia akan saya mangsa saja.”
"Ha? Kamu akan membunuhku?" Ketiga hakim membatin dan tampak bingung.
Padahal, yang dimaksud Batara Kala dengan “Yang Mulia” adalah “Jaka Mulia”.
Bagi Gareng, panggilan “Yang Mulia” terhadap hakim memang bisa jadi seperti rayuan. Rayuan itu “membunuh”. Lebih “membunuh” hakim ketimbang utang budi karena dipayungi.
_____