Mak Yem meneleponku malam ini, “Tadi siang, Ayah kena serangan jantung lagi, sekarang dirawat di rumah sakit. Nana, sebaiknya kau pulang, tengok ayahmu.”
“Saya besok masih ada pekerjaan, mengapa tidak Yu Ning saja?”
“Mbakmu bilang, Naya (anaknya) sebulan lagi akan ikut ujian SMP. Jadi, dia akan mengirimi kamu uang, agar bisa pulang melihat ayahmu.”
“Bagaimana sakitnya, apa cukup parah?”
“Mbak Nana, tanyakan hal itu ke dokter Hariadi.”
Ketika telepon dari Mak Yem ditutup, ponselku berdering dari Yu Ning, “Aku sudah mengirim uang untuk tiket pesawat ke rekeningmu. Cek saja dulu. Bilang pada Ayah, aku akan datang setelah Naya selesai ujian.”
“Mbak, aku besok ada presentasi, mengapa tidak sampeyan saja?”
“Sudah kubilang aku mesti menunggui Naya. Butikku besok akan didatangi pelanggan kami dari Malaysia. Sekarang, carilah tiket untuk keberangkatanmu, besok pagi.”
Aku benci mendengar ucapan Yu Ning, dia selalu bisa menyuruhku apa saja. Itu dilakukan sejak kami masih kecil. (Ibu meninggal sejak kami masih sangat kecil). Yu Ning, yang jarak usianya 10 tahun di atasku, diberi keleluasaan oleh ayah, untuk mengatur semua hidupku. Kalau menurut Yu Ning aku harus begitu, aku tidak boleh membantah. Yu Ning jadi narasumber hidupku. Hanya dibantu dengan Mak Yem, dia mengatur segala urusan rumah tangga kami. Aku selalu benci terhadap apa saja yang dia punyai. Yang aku banggakan, cuma tinggi badanku yang lebih darinya. Hanya itu memang! Di sisi lain, aku sekarang cuma dosen di sebuah perguruan tinggi swasta yang bukan unggulan. Begitu pula suamiku, Haryo, teman sejawat di perguruan tinggi swasta ini.
Bisa dibayangkan, kami tidak punya hak istimewa di kota metropolis, Jakarta. Pernah suatu kali, Yu Ning sekeluarga mengajak kami ke Singapura. Tetapi, aku tidak nyaman. Karena mereka menganggap, susah bepergian dengan perempuan dusun, yang tidak tahu bagaimana caranya berada di sebuah kota metropolis, Singapura.
Sungguh, sejak dulu aku merasa, Ayah lebih mencintai Yu Ning, sekalipun Ayah selalu bilang, “Kalian berdua adalah harta yang tak ternilai bagiku. Aku kasihan dengan Mbakmu, sejak kecil harus berperan sebagai ibu kita.”
Aku sekali lagi benci dengan ucapan Ayah. Aku kira baik Yu Ning maupun aku, punya kesempatan yang sama, untuk belajar, bermain, bahkan kurasa Yu Ning lebih punya kesempatan untuk jalan-jalan dengan pacarnya. Sedangkan diriku, mereka menganggap terlampau muda untuk memahami, siapa lelaki yang musang berbulu domba.
Sedang Yu Ning bisa berlena-lena dengan pacarnya sampai larut malam. Sering aku merasa Upik Abu, yang diasuh ibu tiri. Tapi, semuanya memang berjalan seperti direncanakan mereka. Setelah lulus dari fakultas teknik arsitektur, Yu Ning menikah dengan dr Tomo. Selang beberapa tahun bekerja di perusahaan asing, Yu Ning membuka butik yang lumayan laku. Aku memang jadi orang yang pas-pasan saja. Karena memang aku dan Haryo, tidak memiliki keterampilan berbisnis. Padahal, Yu Ning sudah menganjurkan Haryo, untuk berbisnis. Hal itu pernah kami lakukan, jangankan menjadi besar, modal yang dipinjamkan Yu Ning, tidak bisa kembali. Sampai sekarang, aku masih berutang sekian juta kepada Yu Ning. Untungnya sampai tahun kedua pernikahan, kami belum dikaruniai anak. Kalau kami punya anak, kami akan semakin repot. Karena Yu Ning bilang, punya anak harus punya uang sekian juta untuk baby sitter yang pintar, susu, dan lain-lainnya. Aku merasa tidak bisa membiayai semua itu. Namun, Haryo bilang, “Kita tidak perlu khawatir, setiap anak punya rezeki sendiri. Apakah tidak sebaiknya sekarang saja kita periksakan diri ke dokter demi seorang bayi, yang kita impikan bersama….”
Aku selalu gamang untuk pergi ke dokter spesialis kandungan.
Tiba-tiba ada telepon lagi dari Mak Yem. “Nana, hatiku kok tidak enak, apakah kau besok bisa pulang? Sekalipun, ayahmu sudah ketiga kalinya dalam tahun ini, masuk rumah sakit.”
Nada suara Mak Yem, sepertinya, aku ini anak yang tidak bisa berbakti. Yah, sampai jam ini aku belum juga mencari tiket untuk pesawat. Padahal, travel pasti sudah tutup jam sembilan malam ini. Seperti yang aku duga, untuk penerbangan paling pagi sudah habis semua. Yang ada dari salah satu biro perjalanan, tiket penerbangan untuk yang paling malam. Aku harus mempertimbangkan secepatnya, karena ada banyak peminat untuk pulang ke Malang, tidak melewati daerah Sidoarjo, yang penuh lumpur Lapindo itu. Aku tidak punya pilihan lain. Aku SMS saja Yu Ning, aku katakan, cuma dapat tiket pesawat dengan penerbangan paling akhir. Yu Ning segera meneleponku, “Sudah kukatakan, mengapa tidak menghubungi biro travel langgananku, pasti kau dapatkan tiket itu. Aku mengkhawatirkan Ayah. Oya, aku sudah transfer ke ATM-mu lagi, uang untuk biaya pengobatan Ayah. Coba kamu hubungi lagi biro perjalanan langgananku itu. Bilang yang pesan tiket ini ibu Ning Tomo.”
Dengan malas kuhubungi biro travel langganan Yu Ning. Entah mengapa aku tidak kecewa. Karena yang tinggal cuma satu tiket penerbangan malam. Itu pun dengan harga yang sangat mahal. Sekali lagi aku SMS Yu Ning, dia tidak menjawab. Pasti dia sangat marah. Kalau bertemu Ayah, dia pasti akan bilang begini, “Nana lambat dalam segala hal. Padahal apa sih kerjanya. Masak mengajar saja menghabiskan waktu. Paling-paling sehari cuma dua jam.”
Urusan tiket selesai. Aku mencoba menghubungi ketua jurusan. Dia menganjurkan untuk tidak terlampau lama mengambil cuti, karena akan ada pergantian rektor dalam minggu-minggu ini. Setelah menata barang-barangku di koper, aku mencoba tidur. Haryo, di sebelahku sudah tidur sekian jam yang lampau. Tiba-tiba aku merasa marah, sepertinya tidak ada seorang pun yang mau menolongku pada saat ini. Sudah hampir jam satu malam, ketakutan menyerangku, aku ingin menelepon ke rumah, tapi, kupastikan Mak Yem sedang menunggu Ayah di rumah sakit. Tiba-tiba, aku merasa bersalah, ini sebuah egoisme. Aku dan Yu Ning mengejar karier dan selalu lupa kalau masih punya ayah yang harus kami perhatikan. Selalu lupa menelepon beliau hanya untuk mengucapkan, “Hallo”. Padahal, sebelum keberangkatanku ke Jakarta, Ayah bilang, “Kalian berdua memilih karier di Jakarta. Tak seorang pun memang ingin bersama laki-laki tua sepertiku. Aku tahu tidak ada yang harus disalahkan, setiap anak pasti mencari sarangnya yang baru. Tapi, sesekali teleponlah aku. Itu sudah lebih dari cukup.”
Waktu itu, aku menangis. Tapi, kemudian kesibukan kerjaku, kesibukanku berkumpul dengan teman-teman, jalan-jalan, dan banyak hal lain yang membuat aku hampir tidak punya waktu untuk berkata, “Hallo”, pada Ayah. Itu bisa dilakukan oleh Yu Ning terhadap Ayah. Aku tidak tahu, sepertinya Yu Ning punya waktu lebih dari 24 jam. Dan sering sekali Yu Ning mengingatkan aku untuk menelepon Ayah. Aku selalu malas untuk berdebat. Jadi, kukatakan saja aku sudah menelepon Ayah. Karena aku begitu yakin, kalau ditanyakan ke Ayah, ia pasti akan mengiyakan omonganku. Kadang-kadang memang Ayah melindungi aku dari kebesaran Yu Ning. Bisa jadi, beliau kasihan pada si bungsu yang ketemu dengan ibunya hanya di tahun pertama dalam kehidupannya. Dan tentang Ibu, aku tidak pernah mendengarkan ceritanya dari Ayah. Mak Yem yang sering bercerita, bahwa sejak kecil memang Ibu sering sakit-sakitan. Ayah sangat mencintainya, lebih dari itu, Ibu lebih mirip Yu Ning daripada aku. Waktu kecil, kalau aku sedih, sering kali tanpa sebab yang jelas, menangis di muka foto Ibu. Aku merasa kalau beliau masih hidup, kita bisa menjadi teman yang baik. Bagaimana hubunganku dengan Ayah? Dia dosen sejarah, pintar, persis seperti Yu Ning. Yu Ning, mengambil semuanya dari sisi Ayah, tanpa sisa.
Aku memang harus pulang besok. Bukan untuk diriku sendiri, tapi juga untuk sebuah kewajiban sosial keluarga, yang aku tahu tidak terlampau kusukai. Aku selalu merasa sedih, kalau Ayah dirawat di rumah sakit. Aku merasa bersalah. Sering sekali aku menangis untuk semua kesalahanku itu. Aku selalu bilang pada Haryo, “Bagaimana caranya menjadi anak yang baik untuk seorang ayah?” Haryo selalu bilang, “Kita tidak tahu dengan tepat, kau sendiri pernah bilang kalau tidak begitu dekat dengan beliau. Barangkali ini yang paling baik, menjaga beliau di rumah sakit dan menuruti semua kemauannya.”
Aku menganggukkan kepala. Kalau sakit, Ayah bukan seorang yang mudah, cerewetnya luar biasa! Tapi aneh, kalau Yu Ning yang merawatnya, Ayah bisa menjadi anak yang manis dan tidak pernah marah. Berkali-kali beliau akan berkata baik kepada perawat maupun dokter, “Anakku pebisnis perempuan, tapi masih punya waktu untukku.” Dan untukku, perkataan itu tidak pernah disebut-sebutnya. Sekalipun, aku telah berusaha menjadi seorang anak yang baik di depannya. Barangkali, dia menyangka aku toh setengah pengangguran yang tidak punya banyak kerja. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol yang tidak berguna. Tentu saja aku tidak menyukai kata-kata itu. Kadang-kadang, aku merasa sangat dikecilkan oleh hal itu. Tersakiti entah di mana.
Seharusnya aku berpikir jernih saja, aku tidak harus merasa begitu. Mereka tetap tidak akan bermaksud jahat, bukankah mereka berdua keluarga dekatku, Ayah dan Yu Ning. Sering sekali aku merenungkan itu bahkan, aku pernah bertanya dengan seorang sahabatku yang psikolog. Tapi, jawabannya tidak memberi solusi yang memuaskan. Aku tetap merasa bahwa aku dan Yu Ning akan selalu beda prinsip. Sebetulnya aku cuma kasihan sama Ayah, seandainya Ayah tidak dirawat di rumah sakit, aku tidak ingin pulang. Apakah ini sebuah keegoisan, ketika aku merasa lebih nyaman tidak bersama mereka. Tapi dengan pekerjaanku, dengan Haryo, dengan teman-teman yang menurut Yu Ning tidak menghasilkan apa-apa, kecuali menghabiskan waktu. Dan siapa pun tahu, Ayah yang pensiunan dosen itu, biaya hidupnya ditanggung oleh Yu Ning. Sekalipun, aku juga suka membelikan Ayah sebuah kemeja yang cantik dan buku-buku biografi yang disukainya, atau mengobrol lebih lama tentang buku-buku itu di telepon. Bahwa, aku yang lebih banyak membelikan buku, karena kelihatannya Yu Ning tidak merasa perlu membaca biografi. Sedangkan yang pensiunan dosen sejarah itu, masih suka membaca hal-hal, yang menurut Yu Ning, tidak ada sangkut pautnya dengan dinamika bisnis hari ini.
Yah memang, sekalipun kami sama-sama di Jakarta, kami jarang bertemu. Sekali-kali, Yu Ning mengajakku ke restoran. Namun, aku selalu merasa tidak nyaman, tapi sejak kecil aku tidak bisa menolaknya. Haryo-lah yang dengan senang hati menerima undangan Yu Ning. Ia bisa meladeni omongan Yu Ning yang menurut perasaanku sangat sombong (dia selalu menceritakan suksesnya). Hal itu sudah sering kukatakan pada Haryo, tapi Haryo dengan enteng menjawab, “Kamu sih, tidak mempunyai sense of humor, kalau kamu punya, pasti cerita Yu Ning, lucu.”
Aku pasti tidak sepaham dengan ucapannya. Bisa jadi, aku lebih bisa ngomong dengan Mas Tomo kakak iparku yang pendiam.
Namun, betapa jengkelnya aku, kadang-kadang kangen juga kepada Yu Ning. Sering aku ingat, bagaimana, dia merawatku dengan telaten ketika aku kena tipus, memasukkan aku, ke rumah sakit yang mahal di kota ini. Dan kata Mas Tomo, “Yu Ning panik ketika kau sakit.”
Kadang-kadang, aku juga mengeluh tentang kesombongan Yu Ning pada Ayah, beliau bilang, “Kau pasti tahu, sebagai dosen sejarah, aku tidak akan pernah mendidik anak-anakku, dengan perasaan sombong. Kalau Yu Ning menjadi begitu, karena aku memberinya tanggung jawab yang sangat luar biasa, untuk seorang gadis kecil. Jadinya, dia memang sedikit superior.”
Sesungguhnya, aku dan Yu Ning lebih ingin Ayah pindah ke Jakarta. Tapi, beliau cuma betah tiga hari di rumahku. Dan, tiga hari di rumah Yu Ning, yang sebetulnya penuh fasilitas. Ayah selalu lebih merindukan tanamannya, teman main tenisnya, dan beliau mengatakan, “Rumah adalah istanaku.”
Aku sering berpikir, apakah Ayah tidak betah karena rumahku cuma BTN yang jauh dari pusat kota. Untuk hal ini, Ayah menyangkal keras, beliau bilang, “Kalau kau setua aku, baru kau bisa merasakan betapa tidak enaknya menginap di rumah orang lain, sekalipun rumah itu, rumah anakku. Aku juga tidak betah di rumah Yu Ning, yang mewah itu! Tapi, aku sendiri heran, aku merasa lebih nyaman kalau menginap di rumah adik-adikku.”
Tiba-tiba, aku merasa bersalah. Ayah sendirian dikala sakit. Seharusnya, aku dan Yu Ning berada di sisinya pada saat ini. Aku seperti anak durhaka, dan aku menangis keras. Haryo terbangun, “Kita bukan si Malin Kundang, Ayah pasti tahu kalau kau dan Yu Ning, sebaik-baiknya anak, maka pulanglah dan rawatlah beliau, sekalipun kau sering bilang, Ayah, kalau sakit, cerewetnya luar biasa.”
Sekarang sudah hampir subuh, besok malam aku harus ketemu Ayah. Ketika aku sudah berdiri di depan tempat tidurnya, Ayah berbisik, “Nana, aku senang kau bisa pulang.”
Beliau kelihatan senang, padahal aku pulang tidak dengan Yu Ning (anak kesayangannya). Aku merasakan keganjilan itu. Aku menelepon, Yu Ning!
Besoknya, kami sudah berdiri di muka Ayah. Beliau membuka matanya pelan-pelan, “Kamu datang berdua? Aku suka kalau kalian berdua bisa datang bersama selalu.”
Ayah, tersenyum.
Tiga hari setelah itu, Ayah meninggalkan kami berdua!
_____
Malang, 26 Januari 2007
“Saya besok masih ada pekerjaan, mengapa tidak Yu Ning saja?”
“Mbakmu bilang, Naya (anaknya) sebulan lagi akan ikut ujian SMP. Jadi, dia akan mengirimi kamu uang, agar bisa pulang melihat ayahmu.”
“Bagaimana sakitnya, apa cukup parah?”
“Mbak Nana, tanyakan hal itu ke dokter Hariadi.”
Ketika telepon dari Mak Yem ditutup, ponselku berdering dari Yu Ning, “Aku sudah mengirim uang untuk tiket pesawat ke rekeningmu. Cek saja dulu. Bilang pada Ayah, aku akan datang setelah Naya selesai ujian.”
“Mbak, aku besok ada presentasi, mengapa tidak sampeyan saja?”
“Sudah kubilang aku mesti menunggui Naya. Butikku besok akan didatangi pelanggan kami dari Malaysia. Sekarang, carilah tiket untuk keberangkatanmu, besok pagi.”
Aku benci mendengar ucapan Yu Ning, dia selalu bisa menyuruhku apa saja. Itu dilakukan sejak kami masih kecil. (Ibu meninggal sejak kami masih sangat kecil). Yu Ning, yang jarak usianya 10 tahun di atasku, diberi keleluasaan oleh ayah, untuk mengatur semua hidupku. Kalau menurut Yu Ning aku harus begitu, aku tidak boleh membantah. Yu Ning jadi narasumber hidupku. Hanya dibantu dengan Mak Yem, dia mengatur segala urusan rumah tangga kami. Aku selalu benci terhadap apa saja yang dia punyai. Yang aku banggakan, cuma tinggi badanku yang lebih darinya. Hanya itu memang! Di sisi lain, aku sekarang cuma dosen di sebuah perguruan tinggi swasta yang bukan unggulan. Begitu pula suamiku, Haryo, teman sejawat di perguruan tinggi swasta ini.
Bisa dibayangkan, kami tidak punya hak istimewa di kota metropolis, Jakarta. Pernah suatu kali, Yu Ning sekeluarga mengajak kami ke Singapura. Tetapi, aku tidak nyaman. Karena mereka menganggap, susah bepergian dengan perempuan dusun, yang tidak tahu bagaimana caranya berada di sebuah kota metropolis, Singapura.
Sungguh, sejak dulu aku merasa, Ayah lebih mencintai Yu Ning, sekalipun Ayah selalu bilang, “Kalian berdua adalah harta yang tak ternilai bagiku. Aku kasihan dengan Mbakmu, sejak kecil harus berperan sebagai ibu kita.”
Aku sekali lagi benci dengan ucapan Ayah. Aku kira baik Yu Ning maupun aku, punya kesempatan yang sama, untuk belajar, bermain, bahkan kurasa Yu Ning lebih punya kesempatan untuk jalan-jalan dengan pacarnya. Sedangkan diriku, mereka menganggap terlampau muda untuk memahami, siapa lelaki yang musang berbulu domba.
Sedang Yu Ning bisa berlena-lena dengan pacarnya sampai larut malam. Sering aku merasa Upik Abu, yang diasuh ibu tiri. Tapi, semuanya memang berjalan seperti direncanakan mereka. Setelah lulus dari fakultas teknik arsitektur, Yu Ning menikah dengan dr Tomo. Selang beberapa tahun bekerja di perusahaan asing, Yu Ning membuka butik yang lumayan laku. Aku memang jadi orang yang pas-pasan saja. Karena memang aku dan Haryo, tidak memiliki keterampilan berbisnis. Padahal, Yu Ning sudah menganjurkan Haryo, untuk berbisnis. Hal itu pernah kami lakukan, jangankan menjadi besar, modal yang dipinjamkan Yu Ning, tidak bisa kembali. Sampai sekarang, aku masih berutang sekian juta kepada Yu Ning. Untungnya sampai tahun kedua pernikahan, kami belum dikaruniai anak. Kalau kami punya anak, kami akan semakin repot. Karena Yu Ning bilang, punya anak harus punya uang sekian juta untuk baby sitter yang pintar, susu, dan lain-lainnya. Aku merasa tidak bisa membiayai semua itu. Namun, Haryo bilang, “Kita tidak perlu khawatir, setiap anak punya rezeki sendiri. Apakah tidak sebaiknya sekarang saja kita periksakan diri ke dokter demi seorang bayi, yang kita impikan bersama….”
Aku selalu gamang untuk pergi ke dokter spesialis kandungan.
Tiba-tiba ada telepon lagi dari Mak Yem. “Nana, hatiku kok tidak enak, apakah kau besok bisa pulang? Sekalipun, ayahmu sudah ketiga kalinya dalam tahun ini, masuk rumah sakit.”
Nada suara Mak Yem, sepertinya, aku ini anak yang tidak bisa berbakti. Yah, sampai jam ini aku belum juga mencari tiket untuk pesawat. Padahal, travel pasti sudah tutup jam sembilan malam ini. Seperti yang aku duga, untuk penerbangan paling pagi sudah habis semua. Yang ada dari salah satu biro perjalanan, tiket penerbangan untuk yang paling malam. Aku harus mempertimbangkan secepatnya, karena ada banyak peminat untuk pulang ke Malang, tidak melewati daerah Sidoarjo, yang penuh lumpur Lapindo itu. Aku tidak punya pilihan lain. Aku SMS saja Yu Ning, aku katakan, cuma dapat tiket pesawat dengan penerbangan paling akhir. Yu Ning segera meneleponku, “Sudah kukatakan, mengapa tidak menghubungi biro travel langgananku, pasti kau dapatkan tiket itu. Aku mengkhawatirkan Ayah. Oya, aku sudah transfer ke ATM-mu lagi, uang untuk biaya pengobatan Ayah. Coba kamu hubungi lagi biro perjalanan langgananku itu. Bilang yang pesan tiket ini ibu Ning Tomo.”
Urusan tiket selesai. Aku mencoba menghubungi ketua jurusan. Dia menganjurkan untuk tidak terlampau lama mengambil cuti, karena akan ada pergantian rektor dalam minggu-minggu ini. Setelah menata barang-barangku di koper, aku mencoba tidur. Haryo, di sebelahku sudah tidur sekian jam yang lampau. Tiba-tiba aku merasa marah, sepertinya tidak ada seorang pun yang mau menolongku pada saat ini. Sudah hampir jam satu malam, ketakutan menyerangku, aku ingin menelepon ke rumah, tapi, kupastikan Mak Yem sedang menunggu Ayah di rumah sakit. Tiba-tiba, aku merasa bersalah, ini sebuah egoisme. Aku dan Yu Ning mengejar karier dan selalu lupa kalau masih punya ayah yang harus kami perhatikan. Selalu lupa menelepon beliau hanya untuk mengucapkan, “Hallo”. Padahal, sebelum keberangkatanku ke Jakarta, Ayah bilang, “Kalian berdua memilih karier di Jakarta. Tak seorang pun memang ingin bersama laki-laki tua sepertiku. Aku tahu tidak ada yang harus disalahkan, setiap anak pasti mencari sarangnya yang baru. Tapi, sesekali teleponlah aku. Itu sudah lebih dari cukup.”
Waktu itu, aku menangis. Tapi, kemudian kesibukan kerjaku, kesibukanku berkumpul dengan teman-teman, jalan-jalan, dan banyak hal lain yang membuat aku hampir tidak punya waktu untuk berkata, “Hallo”, pada Ayah. Itu bisa dilakukan oleh Yu Ning terhadap Ayah. Aku tidak tahu, sepertinya Yu Ning punya waktu lebih dari 24 jam. Dan sering sekali Yu Ning mengingatkan aku untuk menelepon Ayah. Aku selalu malas untuk berdebat. Jadi, kukatakan saja aku sudah menelepon Ayah. Karena aku begitu yakin, kalau ditanyakan ke Ayah, ia pasti akan mengiyakan omonganku. Kadang-kadang memang Ayah melindungi aku dari kebesaran Yu Ning. Bisa jadi, beliau kasihan pada si bungsu yang ketemu dengan ibunya hanya di tahun pertama dalam kehidupannya. Dan tentang Ibu, aku tidak pernah mendengarkan ceritanya dari Ayah. Mak Yem yang sering bercerita, bahwa sejak kecil memang Ibu sering sakit-sakitan. Ayah sangat mencintainya, lebih dari itu, Ibu lebih mirip Yu Ning daripada aku. Waktu kecil, kalau aku sedih, sering kali tanpa sebab yang jelas, menangis di muka foto Ibu. Aku merasa kalau beliau masih hidup, kita bisa menjadi teman yang baik. Bagaimana hubunganku dengan Ayah? Dia dosen sejarah, pintar, persis seperti Yu Ning. Yu Ning, mengambil semuanya dari sisi Ayah, tanpa sisa.
Aku memang harus pulang besok. Bukan untuk diriku sendiri, tapi juga untuk sebuah kewajiban sosial keluarga, yang aku tahu tidak terlampau kusukai. Aku selalu merasa sedih, kalau Ayah dirawat di rumah sakit. Aku merasa bersalah. Sering sekali aku menangis untuk semua kesalahanku itu. Aku selalu bilang pada Haryo, “Bagaimana caranya menjadi anak yang baik untuk seorang ayah?” Haryo selalu bilang, “Kita tidak tahu dengan tepat, kau sendiri pernah bilang kalau tidak begitu dekat dengan beliau. Barangkali ini yang paling baik, menjaga beliau di rumah sakit dan menuruti semua kemauannya.”
Aku menganggukkan kepala. Kalau sakit, Ayah bukan seorang yang mudah, cerewetnya luar biasa! Tapi aneh, kalau Yu Ning yang merawatnya, Ayah bisa menjadi anak yang manis dan tidak pernah marah. Berkali-kali beliau akan berkata baik kepada perawat maupun dokter, “Anakku pebisnis perempuan, tapi masih punya waktu untukku.” Dan untukku, perkataan itu tidak pernah disebut-sebutnya. Sekalipun, aku telah berusaha menjadi seorang anak yang baik di depannya. Barangkali, dia menyangka aku toh setengah pengangguran yang tidak punya banyak kerja. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol yang tidak berguna. Tentu saja aku tidak menyukai kata-kata itu. Kadang-kadang, aku merasa sangat dikecilkan oleh hal itu. Tersakiti entah di mana.
Seharusnya aku berpikir jernih saja, aku tidak harus merasa begitu. Mereka tetap tidak akan bermaksud jahat, bukankah mereka berdua keluarga dekatku, Ayah dan Yu Ning. Sering sekali aku merenungkan itu bahkan, aku pernah bertanya dengan seorang sahabatku yang psikolog. Tapi, jawabannya tidak memberi solusi yang memuaskan. Aku tetap merasa bahwa aku dan Yu Ning akan selalu beda prinsip. Sebetulnya aku cuma kasihan sama Ayah, seandainya Ayah tidak dirawat di rumah sakit, aku tidak ingin pulang. Apakah ini sebuah keegoisan, ketika aku merasa lebih nyaman tidak bersama mereka. Tapi dengan pekerjaanku, dengan Haryo, dengan teman-teman yang menurut Yu Ning tidak menghasilkan apa-apa, kecuali menghabiskan waktu. Dan siapa pun tahu, Ayah yang pensiunan dosen itu, biaya hidupnya ditanggung oleh Yu Ning. Sekalipun, aku juga suka membelikan Ayah sebuah kemeja yang cantik dan buku-buku biografi yang disukainya, atau mengobrol lebih lama tentang buku-buku itu di telepon. Bahwa, aku yang lebih banyak membelikan buku, karena kelihatannya Yu Ning tidak merasa perlu membaca biografi. Sedangkan yang pensiunan dosen sejarah itu, masih suka membaca hal-hal, yang menurut Yu Ning, tidak ada sangkut pautnya dengan dinamika bisnis hari ini.
Yah memang, sekalipun kami sama-sama di Jakarta, kami jarang bertemu. Sekali-kali, Yu Ning mengajakku ke restoran. Namun, aku selalu merasa tidak nyaman, tapi sejak kecil aku tidak bisa menolaknya. Haryo-lah yang dengan senang hati menerima undangan Yu Ning. Ia bisa meladeni omongan Yu Ning yang menurut perasaanku sangat sombong (dia selalu menceritakan suksesnya). Hal itu sudah sering kukatakan pada Haryo, tapi Haryo dengan enteng menjawab, “Kamu sih, tidak mempunyai sense of humor, kalau kamu punya, pasti cerita Yu Ning, lucu.”
Aku pasti tidak sepaham dengan ucapannya. Bisa jadi, aku lebih bisa ngomong dengan Mas Tomo kakak iparku yang pendiam.
Namun, betapa jengkelnya aku, kadang-kadang kangen juga kepada Yu Ning. Sering aku ingat, bagaimana, dia merawatku dengan telaten ketika aku kena tipus, memasukkan aku, ke rumah sakit yang mahal di kota ini. Dan kata Mas Tomo, “Yu Ning panik ketika kau sakit.”
Kadang-kadang, aku juga mengeluh tentang kesombongan Yu Ning pada Ayah, beliau bilang, “Kau pasti tahu, sebagai dosen sejarah, aku tidak akan pernah mendidik anak-anakku, dengan perasaan sombong. Kalau Yu Ning menjadi begitu, karena aku memberinya tanggung jawab yang sangat luar biasa, untuk seorang gadis kecil. Jadinya, dia memang sedikit superior.”
Sesungguhnya, aku dan Yu Ning lebih ingin Ayah pindah ke Jakarta. Tapi, beliau cuma betah tiga hari di rumahku. Dan, tiga hari di rumah Yu Ning, yang sebetulnya penuh fasilitas. Ayah selalu lebih merindukan tanamannya, teman main tenisnya, dan beliau mengatakan, “Rumah adalah istanaku.”
Aku sering berpikir, apakah Ayah tidak betah karena rumahku cuma BTN yang jauh dari pusat kota. Untuk hal ini, Ayah menyangkal keras, beliau bilang, “Kalau kau setua aku, baru kau bisa merasakan betapa tidak enaknya menginap di rumah orang lain, sekalipun rumah itu, rumah anakku. Aku juga tidak betah di rumah Yu Ning, yang mewah itu! Tapi, aku sendiri heran, aku merasa lebih nyaman kalau menginap di rumah adik-adikku.”
Tiba-tiba, aku merasa bersalah. Ayah sendirian dikala sakit. Seharusnya, aku dan Yu Ning berada di sisinya pada saat ini. Aku seperti anak durhaka, dan aku menangis keras. Haryo terbangun, “Kita bukan si Malin Kundang, Ayah pasti tahu kalau kau dan Yu Ning, sebaik-baiknya anak, maka pulanglah dan rawatlah beliau, sekalipun kau sering bilang, Ayah, kalau sakit, cerewetnya luar biasa.”
Sekarang sudah hampir subuh, besok malam aku harus ketemu Ayah. Ketika aku sudah berdiri di depan tempat tidurnya, Ayah berbisik, “Nana, aku senang kau bisa pulang.”
Beliau kelihatan senang, padahal aku pulang tidak dengan Yu Ning (anak kesayangannya). Aku merasakan keganjilan itu. Aku menelepon, Yu Ning!
Besoknya, kami sudah berdiri di muka Ayah. Beliau membuka matanya pelan-pelan, “Kamu datang berdua? Aku suka kalau kalian berdua bisa datang bersama selalu.”
Ayah, tersenyum.
Tiga hari setelah itu, Ayah meninggalkan kami berdua!
_____
Malang, 26 Januari 2007