Suara sunyi malam mulai datang suara angin mengalun berhembus, lampu seperti semakin temaram walau sebenarnya tidak meredup. Hanya saja Nina sudah merasa sangat terkantuk, kelopak matanya ingin mengatup, dan matanya tak kuasa menahan beban kelelahannya. Terkadang kantuk itu menguat membuatnya hanyut sebentar namun tidak lama ia tersadar dan meneruskan kegiatannya. Sudah tiga jam dia mengerjakan tugas rumahnya, tugas Fisika. Mata pelajaran paling tajam dari pada matematika, dengan rumus-rumus rumit berselang-seling. Ditambah dengan guru pengajarnya yang galak dan tegas pada setiap murid yang tidak mengerjakan tugasnya, ia akan memberikan hukuman seperti dikeluarkan selama pelajaran atau mengerjakan soal di papan tulis sampai bisa dan dilarang melihat rumus.
Pelajaran SMA paling menyeramkan pikirnya dalam hati, Nina lalu membalikkan referensi buku yang ia pinjam dari Perpustakaan tadi siang. Sebenarnya ia jarang meminjam buku di sana hanya saja ada sebuah alasan. Seseorang yang ia suka, Hafid terlihat olehnya memasuki Perpustakaan saat ia dan Putri baru saja membeli jajanan di kantin. Terpikir olehnya bahwa ia ingin menyapa walau hanya sebentar mungkin bisa mengobati hatinya yang rindu melihat wajahnya, ia mengajak Putri memasuki Perpustakaan dan menulis daftar hadir pengunjung. Putri berjalan mendahuluinya sedangkan ia mencari di mana Hafid berada, ia menyusuri jajaran buku, tangannya menyentuh deretan buku tapi matanya berkeliaran mencari Hafid. Nina bahkan melupakan sahabatnya yang sedang sibuk duduk di bangku memilih-milih buku untuk dibacanya.
Akhirnya terlihat olehnya seseorang, ia hapal betul postur tubuhnya, tercium olehnya buku-buku usang yang sudah berwarna kuning dimakan waktu. Dilihat olehnya Hafid sedang berbungkuk mencari buku-buku dalam sebuah kardus-kardus yang tersusun, sepertinya buku-buku dalam kardus itu sudah akan dibuang karena sudah uzur. Terdengar olehnya suara kardus yang tersetuh lengan Hafid dan suara buku yang disimpannya kembali ke dalam.
Pelajaran SMA paling menyeramkan pikirnya dalam hati, Nina lalu membalikkan referensi buku yang ia pinjam dari Perpustakaan tadi siang. Sebenarnya ia jarang meminjam buku di sana hanya saja ada sebuah alasan. Seseorang yang ia suka, Hafid terlihat olehnya memasuki Perpustakaan saat ia dan Putri baru saja membeli jajanan di kantin. Terpikir olehnya bahwa ia ingin menyapa walau hanya sebentar mungkin bisa mengobati hatinya yang rindu melihat wajahnya, ia mengajak Putri memasuki Perpustakaan dan menulis daftar hadir pengunjung. Putri berjalan mendahuluinya sedangkan ia mencari di mana Hafid berada, ia menyusuri jajaran buku, tangannya menyentuh deretan buku tapi matanya berkeliaran mencari Hafid. Nina bahkan melupakan sahabatnya yang sedang sibuk duduk di bangku memilih-milih buku untuk dibacanya.
Akhirnya terlihat olehnya seseorang, ia hapal betul postur tubuhnya, tercium olehnya buku-buku usang yang sudah berwarna kuning dimakan waktu. Dilihat olehnya Hafid sedang berbungkuk mencari buku-buku dalam sebuah kardus-kardus yang tersusun, sepertinya buku-buku dalam kardus itu sudah akan dibuang karena sudah uzur. Terdengar olehnya suara kardus yang tersetuh lengan Hafid dan suara buku yang disimpannya kembali ke dalam.
“Sedang apa kak?” Nina yang tepat di belakangnya siap memperlihatkan senyum termanisnya.
“Oh.. Nina, ini lagi nyari buku. kata Bapak Perpus buku yang kakak cari ada di sini. Di tumpukan buku usang.” Hafid berdiri dan memegang buku di tangannya, buku itu terlihat usang dengan robekkan dan coretan tak berarti di covernya.
“Sedang cari buku?” Hafid bertanya membuat Nina terkejut harus menjawab apa.
“E..e.. ia lagi nyari novel Kak.”
“Suka novel ya? Pernah baca karya NH. Dini?”
Nina menggeleng.
“Coba baca deh, novelnya sederhana tapi menurut Kakak berkesan” Nina mengangguk, lalu Hafid pergi setelah sebelumnya meminta izin pada Nina.
Walau hanya sekejap pertemuan tadi siang dengan Hafid, ia sudah sangat senang. Entah perasaan apa itu? Ia sedang jatuh cinta. Cinta yang entah keberapa kalinya, ia sekarang sedang menjomblo, namun kali ini berbeda Nina menutup diri dan memendamnya. Tidak ada yang tahu bahwa ia mencintai seorang ketua OSIS, bukan karena ia malu. Namun ia hanya ingin membuat Hafid terkesan dan akhirnya jatuh cinta padanya. Cintanya kali ini berbeda, sungguh hanya ia yang tahu. Namun cinta ini memiliki kesamaan dengan cinta sebelumnya, ia tidak bisa tidur kerena memikirkannya, ia selalu melamun memikirkannya dan bahkan akhir-akhir ini ia menjadi rajin akibat motif cintanya kepada Hafid, itu pengaruh jatuh cinta yang bagus. Terang saja Nina merasa sangat bergairah saat belajar akhir-akhir ini, ia merasa malu jika ia mendapatkan nilai jelek. Hatinya selalu mengira-ngira bagaimana kalau Hafid tau bahwa dirinya payah dalam hal prestasi di kelas, saat itulah timbul semangat dalam dirinya.
Hafid adalah seorang laki-laki yang sopan dan terlihat cerdas apalagi saat ia berbicara, tidak salah dia terpilih menjadi ketua OSIS. Ia seorang lelaki yang mudah bergaul dan tidak pilih-pilih dalam berteman. Perawakannya tinggi dan kurus, dengan senyum yang selalu mewarnai wajahnya.
Jam dinding tua di ruangan tengah berbunyi dua belas kali, namun matanya kini sudah bisa beradaptasi dengan suasana ditambah secangkir moccacino yang ia buat sendiri. Namun, ia sadar ia harus tidur. Nina mampu terjaga setelah dalam hatinya teringat Hafid, ‘mungkin ia juga sedang belajar’ pikirnya. Tugas Fisika itu sudah hampir selesai, ia sibuk menghapus, menulis, mengotret dengan banyak sisa-sisa kotoran penghapus yang sudah menyebar di buku catatannya. Ia menulis jawaban terakhirnya, merapihkan peralatan tulis dan buku catatannya lalu memasukannya ke tas. Nina mengambil cangkir Moccacino-nya dan meneguk minuman Mocca terakhirnya, ia beranjak menuju kamar mandi dan menggosok giginya. Lalu pergi ke tempat tidur mengistirahatkan diri sambil mengucap doa.
Pagi terasa lain hari ini, entah apa yang akan terjadi. Sesuatu seperti mengganggu hatinya namun apakah itu? Ia bertanya-tanya dalam hati. Nina berusaha menghilangkan perasaan itu dan cepat menyibukkan dirinya dengan berangkat ke sekolah. Pagi itu cerah, matahari bahkan menerangi bumi sangat awal, kehangatannya menemani angin pagi yang masih berhembus. Nina berjalan menyusuri jalan gang, baru saja ia turun dari angkot hijau. Biasanya ia melewati gang untuk sampai ke sekolah walau ada jalan lain yaitu jalan raya utama, kau tahu juga alasannya karena Hafid. Ia selalu melewati gang ini. Beberapa kali Nina beruntung bisa berjalan bersama atau bahkan hanya saling sapa, ada kepuasan tersendiri dalam hatinya. Namun pagi ini berbeda, Hafid tidak tampak melewati gang.
Sesampainya di kelas ia duduk di depan, sahabat dan sekaligus teman sebangkunya sudah terlihat dengan beberapa alat tulis dan catatan di mejanya. Suasana kelas sudah tampak gaduh, Nina baru sadar karena hari ini ada tugas Fisika. Biasanya ia juga sama dengan teman-teman yang lain, mondar-mandir sebelum jam masuk mencari teman yang sudah menyelesaikan tugas lalu menyontek jawaban teman yang baik dan malang. Namun, kali ini ia tidak melakukannya, ia sudah berusaha keras sampai tengah malam untuk mengerjakannya.
“Sudah, aku berusaha keras tadi malam” Nina menunjukkan senyum bangganya.
“Aku sudah berusaha mengerjakan, tapi tidak ketemu hasilnya” Putri menghapus catatan yang ditulisnya mungkin jawabannya belum tepat. Nina termenung tidak biasanya Putri kali ini kesulitan mengerjakan tugas pikirnya.
“Sini aku bantu” Nina mendekatkan diri ke arah putri duduk, agar bisa menjangkau catatan dan alat-alat tulis. Sampai bel masuk berbunyi, suasana menjadi sunyi. Murid-murid terlihat rapi dan sikap taat yang dibuat-buat karena terihat dari jendela Ibu Mira pengajar Fisika berjalan menuju kelas.
Dentam bel berbunyi, menyuarakan sebuah nada bel yang khas tanda waktu istirahat para murid. Siswa-siswi disibukkan dengan kesibukkan masing-masing, makan, mengobrol, membaca, mengerjakan tugas dan lain-lain. Nina dan putri berjalan menuju kantin, mereka berencana membeli beberapa gorengan Bu Entin yang juga istri penjaga sekolah. Itulah kebiasaan mereka selalu bersama-sama kemanapun, seperti tidak pernah terpisahkan. Sejak kelas satu mereka selalu bersama, bahkan sampai sekarang mereka kelas dua selalu saja duduk sebangku. Nina sudah menganggap Putri seperti saudaranya sendiri, di mana ada Nina pasti di sana ada Putri, jika tidak mungkin mereka sedang bertengkar itulah yang dikatakan teman-teman mereka. Putri lebih dari sahabat baginya, selalu menemani di saat suka dan duka, bersedia mendengarkan cerita-ceritanya tentang keluarga ataupun tentang pacar-pacarnya. Putri adalah perempuan yang menarik menurut Nina, ia tertutup dalam mesalah cinta, ia bahkan tidak percaya dengan pengakuan Putri bahwa ia belum memiliki pacar sampai sekarang. Wajahnya cukup cantik dengan tubuh mungil, rambut panjangnya terlihat sering diikatnya, katanya agar tidak menganggu saat sedang belajar. Putri orangnya susah untuk ditebak, ia pendiam tapi bersikap tegas dalam mengambil keputusan, Putri juga terlihat sering membela dirinya dan membantunya dalam mengerjakan tugas yang dianggapnya sulit.
Mereka duduk di depan Perpustakaan sambil memakan jajanan gorengan, Nina dan Putri saling berpandangan dan mengobrol kadang tiba-tiba mereka tertawa bersama mengingat pelajaran fisika tadi, ada kejadian menarik. Bu Mira tiba-tiba mengatakan akan mengadakan ulangan, tadi. Sontak siswa-siswi protes dan tidak setuju dengan keputusan Guru Fisika itu. Namun, bukan Bu Mira namanya kalau tidak menuai kontroversinya dalam hal mengajar yang terbilang ekstrem, Ibu bilang ‘Ibu sudah pernah berkata pada kalian, untuk belajar bukan karena hanya ada perkerjaan rumah saja, tapi setiap hari karena saya akan selalu mengadakan ulangan secara mendadak’. Dengan terpaksa siswa-siswi yang terlihat pasrah mengeluarkan kertas selembar yang diperintahkan Bu berparas cantik namun terlihat sangar jika marah, sementara Bu Mira sudah menulis soal-soalnya di papan tulis. Tiba-tiba terdengar suara ketuk pintu, ternyata seorang guru piket yang menyampaikan ada rapat di ruangan guru, semua guru harus hadir saat itu juga. Bu Mira berhenti menulis soal di papan tulis, ia langsung mengambil alih pembicaraan dan berkata bahwa ulangan diundur di saat siswa-siswi sudah berteriak riuh karena lega untuk sementara mereka selamat. Bu Mira lalu pergi membawa tas dan peralatannya yang menandakan bahwa rapat akan menghabiskan semua jam pelajarannya di kelas 8C.
Di tengah obrolan yang masih mengarah pada pelajaran Fisika, Hafid dan seorang temannya melintas di hadapan Nina. Hafid dan temannya melihat dan menyapa ke arah Nina, Nina langsung semangat menyapa Ketua OSIS pujaannya. Sementara Putri terlihat malu-malu saat Hafid lewat, ia menunjukkan sikap tidak seperti biasa. Nina bertanya-tanya melihat sikap sahabatnya itu, ‘apa mungkin Putri juga menyimpan rasa pada Hafid?’ namun pikiran itu ditangkisnya, sahabatnya itu terlalu pemalu untuk suka pada seseorang pikirnya. Nina juga yakin Putri mengerti bahwa ia menyukai Hafid walau Nina tidak pernah menceritakan perasaannya itu. Baginya mungkin perilakunya pada Hafid mungkin cukup untuk membuat Putri paham kalau ia menyimpan rasa padanya.
Bel tanda masuk berbunyi, Nina dan Putri berjalan menuju kelas mereka. Kelas sudah penuh sesak, teman-teman mereka riuh bercampur ribut seperti kebiasaan istirahat. Tiba-tiba Ketua kelas Nina berdiri di depan kelas, ia meninggikan suaranya bersiap mengeluarkan teriakannya untuk menghentikan kebisingan kelas.
“Mohon perhatiannya..” kata Johar dengan nada bijaksana yang sepertinya ia buat sebulat mungkin. Seisi kelas langsung menghentikan kesibukkan mereka, suasana kelas menjadi hening. Mereka sudah siap menerima informasi yang akan disampaikan Sang ketua kelas.
“Hari ini, kalian dibubarkan. Karena ada kepentingan rapat para guru, tapi kalian harus tertib dan jangan ribut” Johar lalu melangkah maju menuju tasnya, sepertinya ia akan segera pulang. Teman-teman yang lain juga begitu, mereka senang karena dipulangkan lebih awal. Sebagian siswa sudah meninggalkan kelas sementara yang lain masih dalam kesibukkannya, mereka biasa berdiam dulu dalam kelas merapihkan pakaian seragam mereka atau berdadan terlebih dahulu sebelum pulang. Nina mengambil cermin dari tasnya, ia memperhatikan wajahnya barang kali ada kotoran menempel pada wajahnya. Sementara Putri hanya berdiam diri memperhatikan Nina dan menunggunya selesai sebelum akhirnya mereka pulang menuju gerbang sekolah.
Putri menggeser kursinya lebih dekat dengan posisi Nina yang masih asyik bercermin.
“Nin, aku mau cerita, boleh?”
“Boleh” Nina mengangguk, lalu memberikan senyum ke arah Putri.
“Tapi ini rahasia” Putri melirik-lirikan matanya ke arah teman-temannya yang masih cukup banyak dalam kelas namun tampak tidak terlalu memperhatikan mereka berdua. Nina lalu mengangguk meyakinkan sahabatnya agar mempercayainya menyimpan rahasia apapun padanya. Nina menduga-duga, kira-kira rahasia apakah yang akan Putri ceritakan padanya, baru kali ini Putri bermain rahasia-rahasiaan biasanya ia yang selalu seperti itu.
“Ini tentang Hafid” jantung Nina terasa berhenti saat mendengar nama itu terucap dari mulut sahabatnya yang kalem itu. Nina menghentikan kegiatannya bercermin, kini ia tertarik dengan ucapan Putri.
“Dia nembak aku tadi malam” Nina terlihat kaget mendengarnya, terucap di bibirnya kekagetan itu seakan tidak percaya perkataan sahabatnya. Putri kini terlihat menunduk mungkin malu memperlihatkan wajahnya yang merah pada Nina. Ekspresi Nina jadi tidak karuan, ia berusaha mengatur napasnya, hatinya seperti sakit tertekan entah oleh apa. Ada beban di hatinya yang begitu perih terasa. Apa yang terucap dari mulut Putri sulit untuk ia cerna dalam pikirannya. ‘Hafid nembak Putri’ hatinya terasa amat perih mendalam, matanya mulai berkaca-kaca tapi ia berusaha agar Putri tidak memperhatikannya. Ia tahu Putri ingin mengabarkan kabar gembira ini padanya, Nina sudah pernah mendesaknya agar ia mempunyai pacar. Dan kini ada seseorang yang mengatakan cinta padanya, seharusnya sebagai sahabat ia harus ikut senang merasakan kebahagian sahabatnya. Walaupun orang yang dicintainya yang menembak sahabatnya, walau kenyataan ini memang perih ia harus siap menerimanya. Ia mencoba menabahkan hatinya, terlihat Putri masih menyembunyikan wajahnya menunduk lalu tersenyum-senyum tanda bahagia di hatinya.
“Lalu bagaimana jawaban kamu?” Nina akhirnya bisa berucap walau ada sesuatu yang berat mengganjal dadanya.
“Aku ingin minta pendapatmu” Putri lalu memegang bahu Nina, Nina terlihat agak gemetar walau ia dengan susah payah berusaha tabah.
“Me.. menurutku ia baik, Ketua OSIS lagi, terima saja Put,” Nada bicara Nina mulai gemetar ia menahan air mata yang mulai berembun menyelimuti matanya, napasnya terasa mulai tidak beraturan, mengapa begitu sakit pikirnya.
“Baiklah, aku akan bilang malam ini jawabannya” Putri tersenyum terlihat sangat bahagia, baru kali ini Nina melihatnya begitu sangat bahagia, ia sadar bahwa sahabatnya itu sedang jatuh cinta.
“Put, aku duluan ya, soalnya ada perlu disuruh jemput adik” Nina beranjak dan mengambil tas selendangnya dengan tangan yang masih gemetar, rasa sakit di hatinya tidak dapat terbendung lagi. Matanya sudah berkaca-kaca dan seperti tidak dapat terbendung lagi oleh kelopak matanya, mana mungkin di tengah kebahagian sahabatnya ia berkata jujur tentang hatinya. Rasanya juga percuma untuk mengatakan itu, buktinya Hafid sebenarnya mencintai sahabatnya, Putri. Wajah Putri masih berseri-seri karena senang, ia mengangguk mengizinkan Nina untuk pulang duluan.
“Aku akan cerita besok ya Nin” Putri berteriak saat Nina akan segera melewati pintu, ia menoleh sebentar dan memberikan anggukan kepada sahabatnya itu.
Nina bingung harus kemana ia pergi, tidak mungkin baginya menangis sepanjang perjalanan pulang menggunakan angkot. Ia berjalan menuju toilet menggantung tas selendangnya dan mengambil sapu tangannya, ia menghapus air matanya walau terasa sia-sia, air mata yang sempat tertahan tadi mengalir deras, rasa perih itu makin nyata. Ia rasa lututnya lemas, beban di dadanya semakin berat saja, sebegitu besarnyakah rasa cintanya pada Hafid sehingga seperti ini rasanya. Nina sadar bahwa cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Ia berusaha menghibur dirinya sendiri, bahwa dirinya patut senang karena kebahagian sahabatanya. Ia juga harus yakin bahwa Putri adalah yang terbaik bagi Hafid, ia cantik, baik dan pintar, sementara dirinya terkenal di kelas sebagai anak yang sering mengganti-ganti pacarnya terlebih selama ini Nina belum menunjukkan prestasinya di kelas. Sedangkan Putri adalah seorang siswi pandai yang tidak pernah absen masuk lima besar di kelas. Nina menyadari kesalahan-kesalahannya, ia terlalu banyak berbuat sewenang-wenang pada adik kelas, dan merasa paling senior. Ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Putri yang bisa membatasi pergaulannya walau terkadang ia sering mengabaikannya untuk berkumpul dengan anak-anak yang terkenal kerena kecantikannya dan exisnya di sekolah. ‘Putri adalah seorang yang terbaik untuk Hafid, seharusnya aku bahagia’ pikirnya. Ia menghapus air matanya yang mengering dengan tisu basah dari tasnya. Hatinya sudah membaik sekarang. Rasa perih itu mulai berkurang, hatinya mulai bisa menerima. Ia membasahi kedua matanya yang terlihat bengkak karena menangis, lalu mengusapnya dengan saputangan, ia lalu keluar dari toilet. Sebelumnya ia melihat-lihat barang kali ada orang yang akan melihatnya bila ia keluar. Tapi ternyata seisi sekolah sudah sepi, yang terdengar hanya suara kepala sekolah yang sedang memimpin rapat di ruang guru, Nina keluar dengan mata yang terlihat merah dan bengkak.
Ia berjalan menyusuri kelas di lorong menuju Perpustakaan, ia teringat lagi oleh Hafid lalu ia buang pikiran itu jauh-jauh. Ia masuk ke Perpustakaan untuk mengembalikan buku referensi Fisika yang ia pinjam kemarin saat ada Hafid, dan tentunnya sebelum kejadian ini.
Ia mengisi daftar pengunjung, Bapak penjaga Perpus yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu memandangnya aneh karena Nina terlihat berantakan dengan mata seperti kemasukan air, bengkak. Untung Bapak Perpus tidak bertanya apa-apa, Nina lalu duduk di bangku Perpus. Ia memutuskan mengistirahatkan dirinya sebentar sebelum pulang. Teringat olehnya bahwa Putri akan bercerita tentang Hafid saat ia menjawab cintanya besok, ia harus siap dan melupakan Hafid. Ia juga sadar bahwa ia harus mengubah sifatnya mulai sekarang, ia bertekat untuk fokus belajar, untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Ia sadar bahwa selama ini banyak membuat orang tuanya sedih karena ia sering membuat ulah di sekolah, bertengkar dengan adik kelas ataupun karena nilainya yang kurang dari ketuntasan beberapa mata pelajaran. Di meja tempat ia duduk terlihat sebuah buku novel yang tergeletak tak jauh dari jangkauannya, ia lalu mengambilnya, di cover novel tersebut tertulis, ‘Padang ilalang di belakang rumah karya NH. Dini’.
- Nh. Dini