Sejenak lalu, perempuan manis berlesung pipit menggigil sempurna dirontokkan malam. Kini ia menyungging senyum, lesung pipit itu bertambah-tambah dalam jadinya, sembari membuntal pakaian. Sejenak lalu ia pengantin baru, gemeletuk, pasi, dan sekarat. Kini ia janda muda yang bahagia.
Ada di dengarnya suara langkah lelaki itu di balik pintu, keplak-keplak, tak sabar. Ada dikenangnya lelaki itu menelanjanginya sebelum menelanjangi diri sendiri, sejenak lalu. Si lesung pipit beku sementara lelaki itu terbakar. Ganas si lesung pipit ditikam, sebelum si lelaki mengisut sebentar. Tak lama, tetapi cukup bagi si lesung pipit bertanya tanpa suara, Mengapa? Terlampau mudah, Tuan? Jawaban si lelaki adalah percintaan yang bergegas, membikin ranjang berderak serupa pelepah kelapa dihantam badai. Lalu adalah waktu bagi keduanya tergolek, banjir keringat dan napas satu-satu.
Si lelaki masih terbakar, bukan sebab berahi, tetapi amarah. Ia lemparkan selimut ke atas tubuh si lesung pipit, turun dari tempat tidur dan mengenakan kolornya. Tanpa sudi memberi pandang ia mengumpat sebelum mengakhiri segala ikatan di antara mereka dan keluar kamar pengantin membanting pintu, “Sundal!”
PEREMPUAN itu dan kedua bocah penuh ingusnya menatap mereka dengan pandangan bengis, saat penghulu menjeratkan nasib si lesung pipit pada lelaki itu. Si lesung pipit tak kuasa menentang tatap kedengkian tersebut, tercebur dalam riuh pesta perkawinan, serasa hilang nyawa berkali-kali.
Ia hampir limbung waktu orang-orang berleret menyalami mereka, menjebloskan amplop putih bergaris tepi warna merah-biru ke dalam kotak. Setiap persentuhan telapak tangan memberinya hawa dingin yang mengapungkan, sekali-kali membuatnya hilang ingatan, dan setiap cium pipi dari para perempuan memberinya gejolak liar yang mengempas-empas tatapannya.
Terutama ketika perempuan dengan dua bocah penuh ingus itu menghampirinya. Menyalami, mencium, dan memeluknya. Si lesung pipit dibuat takjub betapa mereka sanggup tak berair mata, sementara matanya sendiri mulai bocor tak karuan. Perempuan itu menghapus sungai-sungai kecil di pipinya, yang memorak-porandakan seluruh rias mukanya, dengan selendangnya sendiri. Itu malahan bikin si lesung pipit tambah cengeng. Ia mulai beringus dan mengusap wajahnya dengan ujung lengan kebaya.
Tukang foto datang menenteng kamera. Mereka berdiri berderet. Lelaki itu menggenggam tangannya, si lesung pipit ingin ngompol. Perempuan itu tersenyum sementara si tukang foto kasih aba-aba, satu-dua-tiga, demikian pula kedua bocah. Bam! Senyum itu bakalan abadi, tetapi si lesung pipit tahu senyum itu dusta. Sedusta tatapan akrab mereka yang sesungguhnya menyimpan bengis.
Ia masih melihat pandangan mereka, berhias kobaran api tak tertanggungkan, saat si lelaki menggiringnya ke kamar pengantin. Walau ia berpaling, panasnya masih membakar rongga dadanya. Maka sebelum lenyap ditelan pintu, ia berjanji pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu, “Segera akan kukembalikan.” Walau tanpa suara.
DI suatu malam keparat, ayahnya pergi ke mata air menjelang subuh. Mata air itu beriak di kaki bukit, dibentengi belukar dan kabut maharaja. Arusnya mengalir sepanjang parit kecil yang mengepung permukiman, di sana-sini membelah bercecabang, memberi petak-petak sawah sumber kehidupan. Airnya deras, mengayun hijau lumut, mengikis batu warna-warni, mengantar irama, dan bertamasya bersama ikan kecil, belut, dan kecubung. Bergantian para kepala keluarga menengoknya setiap menjelang fajar, atau lumpur bakal menyumbat, dan jika itu terjadi bersiaplah padi tak kuning di tempo yang diharapkan. Tetapi malam itu keparat, sebab seekor ular jahanam menggigit jempol kakinya.
Lelaki itu belum juga tiba di mata air. Ia kelojotan di setapak dengan sepotong kaki panas menyengat. Jempolnya merah diterpa bulan, ditentang cahaya obor yang empas ke rerumputan. Panas itu menjalar perlahan, serasa memenggal kakinya sejengkal demi sejengkal. Ia tahu tak berapa lama akan kehilangan jempolnya, tersisa biru yang busuk. Kemudian sepotong kakinya bakal lenyap, menyusul pula tubuhnya, dan lalu jiwanya.
Ia teringat pada bininya, terkenang pada anak gadis satu-satunya. Ia belum hendak mati. Dibakarnya jempol itu, lalu dibebat betisnya dengan lengan kemeja yang disobek. Panasnya yang menyiksa itu tak juga lenyap, meski tertahan sejenak. Ia mengadu untung dengan pencabut nyawa. Digenggamnya obor, berdiri goyah. Tubuhnya kuyup. Pikirnya ia bakal mati berdiri.
Sambil menangis menahan siksa lelaki itu menempuh tegalan, menuju rumah dukun. Obor di depan rumahnya serasa ujung dunia, apinya meliuk meledek. Hanya si dukun yang memiliki batu penangkal bisa ular, dan hanya si dukun bisa mengusir maut dari jempolnya. Tak peduli ia muak dengan bau mulut dan mata binalnya.
Ketika tiba di teras rumah si dukun, ia hampir sekarat. Tubuhnya ambruk di undakan, meraung-raung menggedor pintu. Gedorannya melemah dan tangannya terkulai ketika si dukun membuka pintu, berdiri menahan kabut tidur. Kemudian perempuan itu berdiri di belakang si dukun. Kedua bocah penuh ingus juga terbangun dan berdiri di samping mereka.
“Bisa ular melumat tubuhku,” kata si orang sekarat sambil acungkan jempol kaki.
“Tampaknya begitu,” kata si dukun. Perempuan dan kedua anak itu lenyap ke dalam rumah sementara si dukun mengambil obor memeriksa jempol lelaki itu. Biru dan koyak. Si perempuan muncul dengan buntalan kecil kain mori sebelum ditelan gelap di belakang si dukun yang mengeluarkan batu menangkal ularnya. Si orang sekarat menunggu dengan cemas dukun itu mencabut maut dari jempolnya, tetapi malahan si dukun bertanya, “Dengan apa kau hendak bayar?”
Mendengus, si orang sekarat menjawab, “Ambil kambing buntingku.”
Si dukun menggeleng, “Aku ingin bikin bunting lesung pipit anak gadismu.”
Si lesung pipit umur empat belas, molek tak ada ampun. Si dukun telah lama berkehendak kepadanya, tak peduli ia telah ada bini di delapan arah angin. Si ayah tak berdaya, tahu betul segala kehendak si dukun tak terbantah sebab ia kebal senjata dan penuh muslihat pelet dan santet. Ia hanya bisa mengulur waktu, berharap tiba kala si dukun mati atau lupa pada si lesung pipit, dengan terus mengelak, “Ia masih bocah bau kencur.”
Tetapi kini si bocah yang menenteng lesung pipit di sepasang pipi ranumnya mesti ia serahkan pada si dukun, atau bisa jahanam akan merenggut jiwa dari tubuhnya, menggelosor seperti sarung yang tanggal. Lelaki itu menangis, antara siksa sekarat dan ratap nasib anak gadisnya.
“Ambillah gadis itu,” katanya, berserah.
Si dukun tersenyum melontarkan bau busuk. Tetapi bukannya mengobati lelaki itu, ia malahan berdiri berbalik dan pergi masuk ke dalam rumah. Si orang sekarat meraung-raung tercekik, melafal nama si dukun bergantian tobat berulang-ulang. Tak berapa lama si dukun muncul lagi menenteng sesuatu.
“Ulangi di hadapannya,” kata si dukun mengacungkan kitab suci.
Lelaki itu tahu si dukun tak pernah membacanya, bahkan menyentuhnya pun hanya sedikit kali. Tetapi si sekarat menghormatinya, tak pernah menentengnya dengan cara sembrono, malahan meletakkannya di atas kepala, mencium sampulnya, membuka halamannya perlahan, dan membacanya dalam keadaan tubuh tanpa noda. Ia memandang si dukun dengan napas tersengal.
“Demi kitab suci,” katanya parau, “Kuberikan si lesung pipit anak gadisku jadi istrimu.”
Bau busuk kembali terlontar. Si dukun mengangkat separuh kaki lebam itu, pemiliknya meraung lebih kencang. Ikatan gombal dibukanya, meninggalkan jejak pasi hampir mati, mengikatnya lagi di tempat lebih tinggi. Batu penangkal bisa digosokkan ke bekas luka gigitan, si orang sekarat melolong dibalas anjing-anjing di ujung kampung. Batu kembali digosok, disertai jampi-jampi mantra. Orang sekarat menggelinjang, memekik di fajar yang pekat, hingga suaranya lenyap ditelan ketidaksadaran.
Waktu ia siuman, lelaki itu menemukan dirinya di bilik rumah sendiri. Penuh rasa dosa ia memanggil si lesung pipit dan berkata padanya, “Nak, kau bakal kawin dengan dukun bau busuk itu.”
Masih dikenangnya kala lelaki itu membawanya ke rumah tersebut, memperkenalkannya pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu. Ia enggan, tetapi lelaki itu menyeretnya sepanjang jalan kampung, di sore yang ajaib, di muka tatap anak-anak gembala dan para pembajak sawah. Ia belum pernah datang ke rumah itu, meski sejak lelaki itu memeluknya secara tiba-tiba selepas mandi di pancuran beberapa waktu sebelumnya, si lesung pipit tahu hidupnya akan berakhir di sarang guna-guna tersebut.
Ia bahkan merasa yakin semua tragedi ular berbisa itu tak lebih dari muslihat si lelaki. Barangkali itu ular siluman yang bersekutu dengannya untuk menaklukkan si penengok mata air, dan segala batu penangkal bisa tersebut tak lain tipu daya sihir hitam. Tapi sebagaimana ayahnya ia menghormati segala sumpah di bawah kitab suci, dan membiarkan tubuh belianya digiring menengok rumah masa depannya.
Perempuan dan dua bocah penuh ingus menanti mereka di beranda rumah, tegak bagai patok. Ia merasa jengah, memandang mata yang penuh tuduhan. Dikendalikan sikap kikuk yang menggenang, si lesung pipit tawarkan senyum manis miliknya, menggelembungkan rona merah di pipinya, dan lembah kembar berayun mencekam. Mereka tahu senyum itu palsu, pikirnya.
Si lelaki menyebut namanya, satu perkenalan singkat omong kosong sebab semua orang di permukiman mengenal namanya. Bahkan, seandainya perempuan dan dua bocah penuh ingus itu tak mengenalnya, ia tak yakin mereka mau mendengarnya, apalagi mengingat-ingat.
Ia bersimpuh di depan si perempuan, meraih tangannya dan menciumnya dalam, terbenam di bibirnya. Tangan itu sedingin kematian. Ia menghampiri si sulung, membelai rambutnya dan mencium kedua pipinya. Si sulung diam tak bergeming. Si kecil bahkan berusaha mengelak ketika ia menyentuhnya, menahannya, dan sedikit memaksanya kasih cium di kedua pipi. Semua itu serasa sandiwara murahan. Rasa takutnya berubah jadi kesedihan melata. Ia tak sanggup menatap wajah-wajah yang menuduh tersebut.
Wajah mereka menghantuinya di malam-malam penuh kepanikan. Malam-malam insomnia di tepi jendela ketika ia berharap bisa mencuri sayap burung hantu dan terbang ke bulan. Malam-malam ketika ayahnya tak mengizinkan si lesung pipit keluar rumah sebab ia bakal jadi pengantin.
Suatu malam dari balik jendela ia melihat empat orang pemuda di pos jaga ujung jalan. Di bawah lentera kecil mereka duduk berkeliling, memainkan kartu domino. Uap arak putih mengapung kepala mereka, diembuskan malam yang membawanya ke wajah si lesung pipit. Satu pikiran melintas di kepalanya. Kini ia tahu bagaimana membebaskan diri dari lelaki bau busuk penuh jampi-jampi itu.
Si lesung pipit menyelinap dan berdiri di samping pos jaga. Keempat pemuda berhenti melempar kartu dan minum arak, memandang si gadis dalam tatapan tanya. Itu dini hari yang menusuk, semua orang tenggelam dalam selimut, kecuali mereka.
“Kemarilah,” kata si lesung pipit sambil berlalu ke balik pos jaga.
Keempat pemuda saling menoleh, bergumam tak mesti, sebelum seseorang turun dan menyelinap ke arah si gadis lenyap, diikuti ketiga kawanan. Di sana mereka melihatnya telah telanjang, disorot bias cahaya lentera.
“Untuk kalian,” katanya canggung, “mari bercinta.”
Undangan itu seperti kata-kata sihir tak terpahami. Mereka masih menanggul menggigil. Pemuda penuh inisiatiflah yang pertama tersadar, tubuhnya mulai hangat, tangannya terulur pada tubuh si gadis, meraba dadanya yang buncah, sebelum secara sembrono melucuti pakaian sendiri. Sama-sama polos ia menggiringnya ke semak pandan, merebahkannya di sana, dan merobeknya. Tiga yang lain memperoleh giliran tak lama selepas itu, bikin si lesung pipit pulang mengangkang.
“Lebih bagus aku sundal,” katanya selang dua malam, tak lama setelah si lelaki jatuhkan tiga talak berturut- turut. Ia keluar kamar menenteng buntalan pakaian, tak pamit pada si lelaki yang mondar-mandir menahan geram. Pun tidak pada perempuan dan dua bocah penuh ingus yang penuh kemenangan. Ia berjalan terseok membelah kampung, dengan sakit di pangkal pahanya. Tak ada tempat pulang sebab semua pintu tak bakal menerimanya kembali. Tidak pula ayahnya.
Ia pergi ke suatu tempat entah. Tak apalah daripada merampok lelaki bau busuk dari siapa pun, meski tak bakal membatalkan kesedihan yang terlanjur jatuh. Jika tampak suatu bebayang hitam menari di puncak bukit pada malam-malam tertentu, itulah si lesung pipit. Sebab kemudian ia kawin dengan bulan sepenggal di suatu malam. * (2004)
Ada di dengarnya suara langkah lelaki itu di balik pintu, keplak-keplak, tak sabar. Ada dikenangnya lelaki itu menelanjanginya sebelum menelanjangi diri sendiri, sejenak lalu. Si lesung pipit beku sementara lelaki itu terbakar. Ganas si lesung pipit ditikam, sebelum si lelaki mengisut sebentar. Tak lama, tetapi cukup bagi si lesung pipit bertanya tanpa suara, Mengapa? Terlampau mudah, Tuan? Jawaban si lelaki adalah percintaan yang bergegas, membikin ranjang berderak serupa pelepah kelapa dihantam badai. Lalu adalah waktu bagi keduanya tergolek, banjir keringat dan napas satu-satu.
Si lelaki masih terbakar, bukan sebab berahi, tetapi amarah. Ia lemparkan selimut ke atas tubuh si lesung pipit, turun dari tempat tidur dan mengenakan kolornya. Tanpa sudi memberi pandang ia mengumpat sebelum mengakhiri segala ikatan di antara mereka dan keluar kamar pengantin membanting pintu, “Sundal!”
PEREMPUAN itu dan kedua bocah penuh ingusnya menatap mereka dengan pandangan bengis, saat penghulu menjeratkan nasib si lesung pipit pada lelaki itu. Si lesung pipit tak kuasa menentang tatap kedengkian tersebut, tercebur dalam riuh pesta perkawinan, serasa hilang nyawa berkali-kali.
Ia hampir limbung waktu orang-orang berleret menyalami mereka, menjebloskan amplop putih bergaris tepi warna merah-biru ke dalam kotak. Setiap persentuhan telapak tangan memberinya hawa dingin yang mengapungkan, sekali-kali membuatnya hilang ingatan, dan setiap cium pipi dari para perempuan memberinya gejolak liar yang mengempas-empas tatapannya.
Terutama ketika perempuan dengan dua bocah penuh ingus itu menghampirinya. Menyalami, mencium, dan memeluknya. Si lesung pipit dibuat takjub betapa mereka sanggup tak berair mata, sementara matanya sendiri mulai bocor tak karuan. Perempuan itu menghapus sungai-sungai kecil di pipinya, yang memorak-porandakan seluruh rias mukanya, dengan selendangnya sendiri. Itu malahan bikin si lesung pipit tambah cengeng. Ia mulai beringus dan mengusap wajahnya dengan ujung lengan kebaya.
Tukang foto datang menenteng kamera. Mereka berdiri berderet. Lelaki itu menggenggam tangannya, si lesung pipit ingin ngompol. Perempuan itu tersenyum sementara si tukang foto kasih aba-aba, satu-dua-tiga, demikian pula kedua bocah. Bam! Senyum itu bakalan abadi, tetapi si lesung pipit tahu senyum itu dusta. Sedusta tatapan akrab mereka yang sesungguhnya menyimpan bengis.
Ia masih melihat pandangan mereka, berhias kobaran api tak tertanggungkan, saat si lelaki menggiringnya ke kamar pengantin. Walau ia berpaling, panasnya masih membakar rongga dadanya. Maka sebelum lenyap ditelan pintu, ia berjanji pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu, “Segera akan kukembalikan.” Walau tanpa suara.
DI suatu malam keparat, ayahnya pergi ke mata air menjelang subuh. Mata air itu beriak di kaki bukit, dibentengi belukar dan kabut maharaja. Arusnya mengalir sepanjang parit kecil yang mengepung permukiman, di sana-sini membelah bercecabang, memberi petak-petak sawah sumber kehidupan. Airnya deras, mengayun hijau lumut, mengikis batu warna-warni, mengantar irama, dan bertamasya bersama ikan kecil, belut, dan kecubung. Bergantian para kepala keluarga menengoknya setiap menjelang fajar, atau lumpur bakal menyumbat, dan jika itu terjadi bersiaplah padi tak kuning di tempo yang diharapkan. Tetapi malam itu keparat, sebab seekor ular jahanam menggigit jempol kakinya.
Lelaki itu belum juga tiba di mata air. Ia kelojotan di setapak dengan sepotong kaki panas menyengat. Jempolnya merah diterpa bulan, ditentang cahaya obor yang empas ke rerumputan. Panas itu menjalar perlahan, serasa memenggal kakinya sejengkal demi sejengkal. Ia tahu tak berapa lama akan kehilangan jempolnya, tersisa biru yang busuk. Kemudian sepotong kakinya bakal lenyap, menyusul pula tubuhnya, dan lalu jiwanya.
Ia teringat pada bininya, terkenang pada anak gadis satu-satunya. Ia belum hendak mati. Dibakarnya jempol itu, lalu dibebat betisnya dengan lengan kemeja yang disobek. Panasnya yang menyiksa itu tak juga lenyap, meski tertahan sejenak. Ia mengadu untung dengan pencabut nyawa. Digenggamnya obor, berdiri goyah. Tubuhnya kuyup. Pikirnya ia bakal mati berdiri.
Sambil menangis menahan siksa lelaki itu menempuh tegalan, menuju rumah dukun. Obor di depan rumahnya serasa ujung dunia, apinya meliuk meledek. Hanya si dukun yang memiliki batu penangkal bisa ular, dan hanya si dukun bisa mengusir maut dari jempolnya. Tak peduli ia muak dengan bau mulut dan mata binalnya.
Ketika tiba di teras rumah si dukun, ia hampir sekarat. Tubuhnya ambruk di undakan, meraung-raung menggedor pintu. Gedorannya melemah dan tangannya terkulai ketika si dukun membuka pintu, berdiri menahan kabut tidur. Kemudian perempuan itu berdiri di belakang si dukun. Kedua bocah penuh ingus juga terbangun dan berdiri di samping mereka.
“Bisa ular melumat tubuhku,” kata si orang sekarat sambil acungkan jempol kaki.
Mendengus, si orang sekarat menjawab, “Ambil kambing buntingku.”
Si dukun menggeleng, “Aku ingin bikin bunting lesung pipit anak gadismu.”
Si lesung pipit umur empat belas, molek tak ada ampun. Si dukun telah lama berkehendak kepadanya, tak peduli ia telah ada bini di delapan arah angin. Si ayah tak berdaya, tahu betul segala kehendak si dukun tak terbantah sebab ia kebal senjata dan penuh muslihat pelet dan santet. Ia hanya bisa mengulur waktu, berharap tiba kala si dukun mati atau lupa pada si lesung pipit, dengan terus mengelak, “Ia masih bocah bau kencur.”
Tetapi kini si bocah yang menenteng lesung pipit di sepasang pipi ranumnya mesti ia serahkan pada si dukun, atau bisa jahanam akan merenggut jiwa dari tubuhnya, menggelosor seperti sarung yang tanggal. Lelaki itu menangis, antara siksa sekarat dan ratap nasib anak gadisnya.
“Ambillah gadis itu,” katanya, berserah.
Si dukun tersenyum melontarkan bau busuk. Tetapi bukannya mengobati lelaki itu, ia malahan berdiri berbalik dan pergi masuk ke dalam rumah. Si orang sekarat meraung-raung tercekik, melafal nama si dukun bergantian tobat berulang-ulang. Tak berapa lama si dukun muncul lagi menenteng sesuatu.
“Ulangi di hadapannya,” kata si dukun mengacungkan kitab suci.
Lelaki itu tahu si dukun tak pernah membacanya, bahkan menyentuhnya pun hanya sedikit kali. Tetapi si sekarat menghormatinya, tak pernah menentengnya dengan cara sembrono, malahan meletakkannya di atas kepala, mencium sampulnya, membuka halamannya perlahan, dan membacanya dalam keadaan tubuh tanpa noda. Ia memandang si dukun dengan napas tersengal.
“Demi kitab suci,” katanya parau, “Kuberikan si lesung pipit anak gadisku jadi istrimu.”
Bau busuk kembali terlontar. Si dukun mengangkat separuh kaki lebam itu, pemiliknya meraung lebih kencang. Ikatan gombal dibukanya, meninggalkan jejak pasi hampir mati, mengikatnya lagi di tempat lebih tinggi. Batu penangkal bisa digosokkan ke bekas luka gigitan, si orang sekarat melolong dibalas anjing-anjing di ujung kampung. Batu kembali digosok, disertai jampi-jampi mantra. Orang sekarat menggelinjang, memekik di fajar yang pekat, hingga suaranya lenyap ditelan ketidaksadaran.
Waktu ia siuman, lelaki itu menemukan dirinya di bilik rumah sendiri. Penuh rasa dosa ia memanggil si lesung pipit dan berkata padanya, “Nak, kau bakal kawin dengan dukun bau busuk itu.”
Masih dikenangnya kala lelaki itu membawanya ke rumah tersebut, memperkenalkannya pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu. Ia enggan, tetapi lelaki itu menyeretnya sepanjang jalan kampung, di sore yang ajaib, di muka tatap anak-anak gembala dan para pembajak sawah. Ia belum pernah datang ke rumah itu, meski sejak lelaki itu memeluknya secara tiba-tiba selepas mandi di pancuran beberapa waktu sebelumnya, si lesung pipit tahu hidupnya akan berakhir di sarang guna-guna tersebut.
Ia bahkan merasa yakin semua tragedi ular berbisa itu tak lebih dari muslihat si lelaki. Barangkali itu ular siluman yang bersekutu dengannya untuk menaklukkan si penengok mata air, dan segala batu penangkal bisa tersebut tak lain tipu daya sihir hitam. Tapi sebagaimana ayahnya ia menghormati segala sumpah di bawah kitab suci, dan membiarkan tubuh belianya digiring menengok rumah masa depannya.
Perempuan dan dua bocah penuh ingus menanti mereka di beranda rumah, tegak bagai patok. Ia merasa jengah, memandang mata yang penuh tuduhan. Dikendalikan sikap kikuk yang menggenang, si lesung pipit tawarkan senyum manis miliknya, menggelembungkan rona merah di pipinya, dan lembah kembar berayun mencekam. Mereka tahu senyum itu palsu, pikirnya.
Si lelaki menyebut namanya, satu perkenalan singkat omong kosong sebab semua orang di permukiman mengenal namanya. Bahkan, seandainya perempuan dan dua bocah penuh ingus itu tak mengenalnya, ia tak yakin mereka mau mendengarnya, apalagi mengingat-ingat.
Ia bersimpuh di depan si perempuan, meraih tangannya dan menciumnya dalam, terbenam di bibirnya. Tangan itu sedingin kematian. Ia menghampiri si sulung, membelai rambutnya dan mencium kedua pipinya. Si sulung diam tak bergeming. Si kecil bahkan berusaha mengelak ketika ia menyentuhnya, menahannya, dan sedikit memaksanya kasih cium di kedua pipi. Semua itu serasa sandiwara murahan. Rasa takutnya berubah jadi kesedihan melata. Ia tak sanggup menatap wajah-wajah yang menuduh tersebut.
Wajah mereka menghantuinya di malam-malam penuh kepanikan. Malam-malam insomnia di tepi jendela ketika ia berharap bisa mencuri sayap burung hantu dan terbang ke bulan. Malam-malam ketika ayahnya tak mengizinkan si lesung pipit keluar rumah sebab ia bakal jadi pengantin.
Suatu malam dari balik jendela ia melihat empat orang pemuda di pos jaga ujung jalan. Di bawah lentera kecil mereka duduk berkeliling, memainkan kartu domino. Uap arak putih mengapung kepala mereka, diembuskan malam yang membawanya ke wajah si lesung pipit. Satu pikiran melintas di kepalanya. Kini ia tahu bagaimana membebaskan diri dari lelaki bau busuk penuh jampi-jampi itu.
Si lesung pipit menyelinap dan berdiri di samping pos jaga. Keempat pemuda berhenti melempar kartu dan minum arak, memandang si gadis dalam tatapan tanya. Itu dini hari yang menusuk, semua orang tenggelam dalam selimut, kecuali mereka.
“Kemarilah,” kata si lesung pipit sambil berlalu ke balik pos jaga.
Keempat pemuda saling menoleh, bergumam tak mesti, sebelum seseorang turun dan menyelinap ke arah si gadis lenyap, diikuti ketiga kawanan. Di sana mereka melihatnya telah telanjang, disorot bias cahaya lentera.
“Untuk kalian,” katanya canggung, “mari bercinta.”
Undangan itu seperti kata-kata sihir tak terpahami. Mereka masih menanggul menggigil. Pemuda penuh inisiatiflah yang pertama tersadar, tubuhnya mulai hangat, tangannya terulur pada tubuh si gadis, meraba dadanya yang buncah, sebelum secara sembrono melucuti pakaian sendiri. Sama-sama polos ia menggiringnya ke semak pandan, merebahkannya di sana, dan merobeknya. Tiga yang lain memperoleh giliran tak lama selepas itu, bikin si lesung pipit pulang mengangkang.
“Lebih bagus aku sundal,” katanya selang dua malam, tak lama setelah si lelaki jatuhkan tiga talak berturut- turut. Ia keluar kamar menenteng buntalan pakaian, tak pamit pada si lelaki yang mondar-mandir menahan geram. Pun tidak pada perempuan dan dua bocah penuh ingus yang penuh kemenangan. Ia berjalan terseok membelah kampung, dengan sakit di pangkal pahanya. Tak ada tempat pulang sebab semua pintu tak bakal menerimanya kembali. Tidak pula ayahnya.
Ia pergi ke suatu tempat entah. Tak apalah daripada merampok lelaki bau busuk dari siapa pun, meski tak bakal membatalkan kesedihan yang terlanjur jatuh. Jika tampak suatu bebayang hitam menari di puncak bukit pada malam-malam tertentu, itulah si lesung pipit. Sebab kemudian ia kawin dengan bulan sepenggal di suatu malam. * (2004)