Sekitar sepuluh tahunan yang lalu, di sebuah kota nan damai, seorang anak manusia yang masih berseragam abu-abu memiliki predikat di masyarakat sebagai seorang pejalan kaki. Pagi hari ketika berangkat, ia menikmati setiap langkah yang ia tapaki di trotoar tempat ia berjalan, ia mengetahui setiap detail kondisi trotoar tersebut, dengan cekatan ia akan menghindari trotoar yang berlubang, sesekali ia berhenti sambil duduk dan bersender pada dinding bangunan atau ia akan berlari kencang di atasnya tatkala berangkat kesiangan.
Begitupula saat senja tiba, dengan jalan santai ia menikmati perjalanan pulang sekolah, menikmati sinar sore sembari sesekali berhenti melihat aktivitas masyarakat sepanjang perjalanan tersebut. Di hatinya tumbuh ikatan batin, ia sempat ragu menamainya "cinta", namun ia semakin merasa nyaman setiap jalan di trotoar tersebut, ia iri dengan teman-temannya yang punya cinta pertama seorang gadis jelita atau bintang sekolah, ia menyangkal bahwa trotoar tersebut merupakan cinta pertamanya.
Namun, begitulah kenyataannya...... Si Trotoar tetap setia menemani hari-hari si Pejalan Kaki, ia tidak berubah dan tidak bergeser sedikitpun, seolah dengan sukarela menyerahkan dirinya hanya untuk si Pejalan Kaki.
Hingga tiga tahun lamanya,,,, waktunya tiba lulus SMA. Si Pejalan Kaki dilanda gelisah karena ia harus memutuskan untuk pergi ke luar kota. Sempat ia urung, namun masa depan tetap harus di tempuhi, cita-cita tinggi tidak berarti jika ia urung diri dan menjelmakan dirinya menjadi hamba kota. Maka ia putuskan meninggalkan kota, meninggalkan kisah cintanya untuk pergi jauh menuntut ilmu di luar kota kecil tersebut.
Si Trotoar tetap setia ada, meski Pejalan Kaki sudah tidak lagi menemani hari-harinya, ia mencoba untuk berpaling ke lain orang, namun tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar menjadikan trotoar sebagai bagian dari jiwanya.
Sepuluh tahun kemudian, ketika Pejalan Kaki sudah merasa ideal dan sempurna hidupnya, ia putuskan kembali ke kota asalnya, ingin mengulang hari di mana saat dulu kesederhanaan membuat dirinya bahagia, ia merasa rindu menimati berjalan kaki di trotoar yang sering ia lalui, cintanya memang tidak ada lagi sebab ia sudah tumpahkan semua pada seorang gadis Ayu di luar kota sana.
Namun, tidak seperti yang ia harapkan, trotoar sudah tidak rupawan sebagaimana dulu ia melihatnya, sepanjang jalan dipenuhi para pedagang kaki lima, tidak menyisakan sedikitpun ruang untuknya berjalan. "Apakah ia begitu kecewa padaku?" tanya si Pejalan Kaki dalam hati. Rupanya ia beralih fungsi, para Pejalan Kaki jadi tersingkir, ia harus kasak kusuk di antara para pembeli atau mengalah berjalan di jalanan aspal sambil berharap tidak mati ditabrak para pengendara.
Berakhirlah kisah cinta Pejalan Kaki dan trotoar, hanya tinggal kenangan.
Begitupula saat senja tiba, dengan jalan santai ia menikmati perjalanan pulang sekolah, menikmati sinar sore sembari sesekali berhenti melihat aktivitas masyarakat sepanjang perjalanan tersebut. Di hatinya tumbuh ikatan batin, ia sempat ragu menamainya "cinta", namun ia semakin merasa nyaman setiap jalan di trotoar tersebut, ia iri dengan teman-temannya yang punya cinta pertama seorang gadis jelita atau bintang sekolah, ia menyangkal bahwa trotoar tersebut merupakan cinta pertamanya.
Namun, begitulah kenyataannya...... Si Trotoar tetap setia menemani hari-hari si Pejalan Kaki, ia tidak berubah dan tidak bergeser sedikitpun, seolah dengan sukarela menyerahkan dirinya hanya untuk si Pejalan Kaki.
Si Trotoar tetap setia ada, meski Pejalan Kaki sudah tidak lagi menemani hari-harinya, ia mencoba untuk berpaling ke lain orang, namun tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar menjadikan trotoar sebagai bagian dari jiwanya.
Sepuluh tahun kemudian, ketika Pejalan Kaki sudah merasa ideal dan sempurna hidupnya, ia putuskan kembali ke kota asalnya, ingin mengulang hari di mana saat dulu kesederhanaan membuat dirinya bahagia, ia merasa rindu menimati berjalan kaki di trotoar yang sering ia lalui, cintanya memang tidak ada lagi sebab ia sudah tumpahkan semua pada seorang gadis Ayu di luar kota sana.
Namun, tidak seperti yang ia harapkan, trotoar sudah tidak rupawan sebagaimana dulu ia melihatnya, sepanjang jalan dipenuhi para pedagang kaki lima, tidak menyisakan sedikitpun ruang untuknya berjalan. "Apakah ia begitu kecewa padaku?" tanya si Pejalan Kaki dalam hati. Rupanya ia beralih fungsi, para Pejalan Kaki jadi tersingkir, ia harus kasak kusuk di antara para pembeli atau mengalah berjalan di jalanan aspal sambil berharap tidak mati ditabrak para pengendara.
Berakhirlah kisah cinta Pejalan Kaki dan trotoar, hanya tinggal kenangan.