Ketika engkau sudah bisa membaca nasehat ini, anakku, tentu keadaan dunia telah banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah seorang calon penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali orang di Lampung, dan di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau membaca nasehat ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bis sampai tiga jam di Salemba, jalan di mana ayahmu pernah menanti bis sampai tiga jam lebih di hujan dan di panas.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk makan tiga kali satu hari dan harga beras itu dua puluh lima rupiah satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bis kedua yang datang sejam kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bis itu seperti ikan pepesan layaknya. Bis ketiga datang yang terlambat setengah jam dari semestinya karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak sebuah truk. Kemudian, lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa oto pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Dan karena itu, bis- bis, becak-becak yang ditarik manusia dan mobil-mobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal itu, sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya namun menimpa kepala orang lain.
Tentu pada saat engkau membaca nasehatku ini, anakku, jalan-jalan sudah tak sempit lagi, bis-bis rakyat tentu sudah banyak, dan becak-becak pun Ayah kira sudah tak ditarik oleh manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu lagi naik becak atau naik bis, tiap-tiap keluarga sudah mempunyai mobil sendiri sebab tambang emas, dan tambang-tambang yang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini anakku, yaitu pada waktu Ayahmu membikin nasehat ini, adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada hari itulah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium karangan yang berjumlah dua ratus rupiah. Biarpun nilai sebuah cerita pendek di masa Ayah membikin nasehat ini cuma berharga beras delapan kilo, namun Ayahmu tetap bergembira, Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahunmu,” kata teman Ayah.
“Terima kasih,“ jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang sedang pesta. Pesanlah makananan dan minuman apa saja yang enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah.” kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum tetapi sebenarnya dia kelaparan, dia pengarang juga tetapi ia benar- benar pengarang yang menggantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil karangan. Kereana itu, engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia, kerena dia jadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang yang realis yang menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa dia satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena dengan sikap keluarganya itu ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini, merdeka di dunia ini, biarpun kemerdekaan ini cuma angan-angannya saja. Tetapi waktu itu Ayah berpikir demikian: yang penting adalah manusia dan kemerdekaan hanya sebahagiaan saja dari manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri. Suatu kepuasan duniawi yang mengauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia sekarang kata Ayah, dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati: karena itu aku bertambah mengasihi manusia.
”Kapan bukumu terbit?” tanya temanku itu.
Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu jaman itu manusia harus lekas-lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya sereduaratus saja. Beda waktunya.
“Bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“Aku mau beli sebuah arloji,” jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?”
“Dengan arloji sebenarya orang bisa menghitung waktu,”
“Kenapa harus menghitung waktu?” tanyanya.
“Dengan menghitung waktu, orang tau berapa jam lagi hari malam. berapa jam lagi hari siang, lama-lama ia pun tahu, berapa lama lagi ia akan bisa mempertahankan hidup,” kataku.
“Apa lagi yang kau beli?”
“Sebuah buku harian,” jawabku.
“Sebuah buku harian?”
“Ya, sebuah buku harian, sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi, dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja, yang bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa, atau ditangkap oleh tulisan itu. aku bisa memaki langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang dari tingkat dan pangkat apapun juga. Juga dengan buku harian itu aku kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka daripada kau. Biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk diriku sendiri saja,” kataku.
“Apalagi?”
“Jangan memotong dulu,” kataku.
“Masih perlu disambung dalam buku harian itu juga bisa kucatat hutang dan puitangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa mengatur prekonomian dirinya sendiri, itu berarti ia telah ikut menyumbang perekonomian negaranya. Biarpun sumbangan itu cuma sepersembilan puluh juta,“ kataku.
“Kau tentu bisa jadi menteri perekonomian.” katanya.
“Aku tentu tak bisa menjabat jabatan itu. kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian diriku sendiri dan tidak untuk perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli sembilan puluh juta arloji, untuk semua orang di dunia dan sembilan puluh juta buku. Buku harian dan sembilan puluh juta pinsil. Atau pulpen. Aku tak mau jabatan itu, biarpun ditawarkan karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian ia bertanya, “Apalagi yang akan kau beli?”
“Kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,” jawabku.
“Aku mau coba untung di sana,” sambungku.
Ia tetawa terkekeh dan orang-orang sekeliling itu menonton ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti orang-orang betul ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasehat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulang tahun Ayahmu, Ayah menerima kabar dari seseorang, bahwa teman Ayahku itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. Hal ini amat memalukan sekali. Sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi, “Aku, sudah malu padaMu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang kau firmankan.”
Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan mayat kawanku ke dalam bumi ini. Buatku sendiri kematiannya tak begitu menyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian di zamanku.
Sebenarnya nasehat ini, anakku, belum tentu ada, jika temanku itu tidak bunuh diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku. Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu itu gagal sehingga kau dilontarkan kembali ke bumi dengan selamat, janganlah engkau malu. Sekiranya engkau menjadi supir truk dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga kepalamu hancur.
Ayahmu yakin pada waktu kau membaca nasehatku ini, kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja anakku. Tetapi janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engkau ke perpustakaan dan melihat cerita pendek di mana tertulis nama Ayahmu dan bergerak hatimu ingin berbuat hal yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu, anakku. Tapi hanya beberapa alasan yang bisa kusebutkan seorang pengarang yang baik selalu mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan dengan kenyataan dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin tidak benar anakku, karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai pengarang, ia cuma membutuhkan dua macam benda yang akan dibelinya pada saat ini yaitu sebuah arloji dan sebuah buku harian. Tetapi Ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua buah benda itu dia dapat membuktikan kebenaran itu, kebenaran yang dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku.” jawab Ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk membeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa diambil lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah kadaluwarsa. Tapi kalau punya uang kau bisa membelinya di toko-toko,” kataku.
“Dan buku harian itu apakah isinya?”
“Macam-macam di antaranya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak dapat digadaikan dan yang kau baca ini adalah kutipan dari salah sebuah dari lembaran-lembaran buku harian itu, yang bertanggal dua puluh satu November tepat pada hari ulang tahunku kedua puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasehat-nasehatku ini, pada waktu ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul: bagaimana kalau kau berusaha untuk jadi insinyur pertambangan saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai dengan kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk makan tiga kali satu hari dan harga beras itu dua puluh lima rupiah satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bis kedua yang datang sejam kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bis itu seperti ikan pepesan layaknya. Bis ketiga datang yang terlambat setengah jam dari semestinya karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak sebuah truk. Kemudian, lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa oto pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Dan karena itu, bis- bis, becak-becak yang ditarik manusia dan mobil-mobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal itu, sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya namun menimpa kepala orang lain.
Tentu pada saat engkau membaca nasehatku ini, anakku, jalan-jalan sudah tak sempit lagi, bis-bis rakyat tentu sudah banyak, dan becak-becak pun Ayah kira sudah tak ditarik oleh manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu lagi naik becak atau naik bis, tiap-tiap keluarga sudah mempunyai mobil sendiri sebab tambang emas, dan tambang-tambang yang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini anakku, yaitu pada waktu Ayahmu membikin nasehat ini, adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada hari itulah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium karangan yang berjumlah dua ratus rupiah. Biarpun nilai sebuah cerita pendek di masa Ayah membikin nasehat ini cuma berharga beras delapan kilo, namun Ayahmu tetap bergembira, Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahunmu,” kata teman Ayah.
“Terima kasih,“ jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang sedang pesta. Pesanlah makananan dan minuman apa saja yang enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah.” kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum tetapi sebenarnya dia kelaparan, dia pengarang juga tetapi ia benar- benar pengarang yang menggantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil karangan. Kereana itu, engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia, kerena dia jadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang yang realis yang menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa dia satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena dengan sikap keluarganya itu ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini, merdeka di dunia ini, biarpun kemerdekaan ini cuma angan-angannya saja. Tetapi waktu itu Ayah berpikir demikian: yang penting adalah manusia dan kemerdekaan hanya sebahagiaan saja dari manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri. Suatu kepuasan duniawi yang mengauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia sekarang kata Ayah, dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati: karena itu aku bertambah mengasihi manusia.
”Kapan bukumu terbit?” tanya temanku itu.
Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu jaman itu manusia harus lekas-lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya sereduaratus saja. Beda waktunya.
“Bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“Aku mau beli sebuah arloji,” jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?”
“Dengan arloji sebenarya orang bisa menghitung waktu,”
“Kenapa harus menghitung waktu?” tanyanya.
“Dengan menghitung waktu, orang tau berapa jam lagi hari malam. berapa jam lagi hari siang, lama-lama ia pun tahu, berapa lama lagi ia akan bisa mempertahankan hidup,” kataku.
“Apa lagi yang kau beli?”
“Sebuah buku harian,” jawabku.
“Sebuah buku harian?”
“Ya, sebuah buku harian, sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi, dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja, yang bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa, atau ditangkap oleh tulisan itu. aku bisa memaki langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang dari tingkat dan pangkat apapun juga. Juga dengan buku harian itu aku kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka daripada kau. Biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk diriku sendiri saja,” kataku.
“Jangan memotong dulu,” kataku.
“Masih perlu disambung dalam buku harian itu juga bisa kucatat hutang dan puitangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa mengatur prekonomian dirinya sendiri, itu berarti ia telah ikut menyumbang perekonomian negaranya. Biarpun sumbangan itu cuma sepersembilan puluh juta,“ kataku.
“Kau tentu bisa jadi menteri perekonomian.” katanya.
“Aku tentu tak bisa menjabat jabatan itu. kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian diriku sendiri dan tidak untuk perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli sembilan puluh juta arloji, untuk semua orang di dunia dan sembilan puluh juta buku. Buku harian dan sembilan puluh juta pinsil. Atau pulpen. Aku tak mau jabatan itu, biarpun ditawarkan karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian ia bertanya, “Apalagi yang akan kau beli?”
“Kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,” jawabku.
“Aku mau coba untung di sana,” sambungku.
Ia tetawa terkekeh dan orang-orang sekeliling itu menonton ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti orang-orang betul ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasehat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulang tahun Ayahmu, Ayah menerima kabar dari seseorang, bahwa teman Ayahku itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. Hal ini amat memalukan sekali. Sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi, “Aku, sudah malu padaMu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang kau firmankan.”
Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan mayat kawanku ke dalam bumi ini. Buatku sendiri kematiannya tak begitu menyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian di zamanku.
Sebenarnya nasehat ini, anakku, belum tentu ada, jika temanku itu tidak bunuh diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku. Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu itu gagal sehingga kau dilontarkan kembali ke bumi dengan selamat, janganlah engkau malu. Sekiranya engkau menjadi supir truk dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga kepalamu hancur.
Ayahmu yakin pada waktu kau membaca nasehatku ini, kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja anakku. Tetapi janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engkau ke perpustakaan dan melihat cerita pendek di mana tertulis nama Ayahmu dan bergerak hatimu ingin berbuat hal yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu, anakku. Tapi hanya beberapa alasan yang bisa kusebutkan seorang pengarang yang baik selalu mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan dengan kenyataan dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin tidak benar anakku, karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai pengarang, ia cuma membutuhkan dua macam benda yang akan dibelinya pada saat ini yaitu sebuah arloji dan sebuah buku harian. Tetapi Ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua buah benda itu dia dapat membuktikan kebenaran itu, kebenaran yang dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku.” jawab Ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk membeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa diambil lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah kadaluwarsa. Tapi kalau punya uang kau bisa membelinya di toko-toko,” kataku.
“Dan buku harian itu apakah isinya?”
“Macam-macam di antaranya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak dapat digadaikan dan yang kau baca ini adalah kutipan dari salah sebuah dari lembaran-lembaran buku harian itu, yang bertanggal dua puluh satu November tepat pada hari ulang tahunku kedua puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasehat-nasehatku ini, pada waktu ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul: bagaimana kalau kau berusaha untuk jadi insinyur pertambangan saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai dengan kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia.
Karya Motinggo Boesje