Keinginan perempuan itu makin kuat untuk merendamkan diri dalam bathtub justru ketika suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya karena hari sudah malam.
“Keramas malam-malam tak bagus untuk kesehatan,” kata suaminya.
“Oya?” celetuk perempuan itu datar ala kadarnya. Perempuan itu merasa senang atas peringatan suaminya. Berarti suaminya memerhatikannya. Memerhatikan kesehatannya.
“Ya. Gara-gara sering mandi malam, suami teman sekantorku kena paru-paru basah,” kata suaminya menjelaskan.
“Ooo, kan dia mandi malam. Bukan keramas,” pancing perempuan itu. Peringatan suaminya, dia maknai sebagai bentuk perhatian yang memang membuat hatinya berkembang-kembang.
“Lha, mandi saja kena paru-paru basah, apalagi keramas. Kan kulit kepala lebih rentan dibanding badan,” kata suaminya masih membeberkan.
Perempuan itu makin yakin bahwa dia tidak salah telah memilih lelaki itu sebagai pendamping dalam hidupnya. Perempuan itu makin merasa tak bersalah langkah meninggalkan lelaki lain yang menjadi kekasihnya sekalipun para kekasih itu telah lebih dulu mengisi rongga hatinya, jauh sebelum lelaki yang kini menjadi suaminya itu dia kenal.
Perempuan itu bersetuju dengan yang diomongkan suaminya: batok kepala-sebetapa pun kerasnya, termasuk keras kepala- teramat mudah untuk disergap demam atau rasa sakit lainnya. Jangankan terkena air hujan, rincik hujan yang menempas dan memercik kepala suaminya pun sudah bisa menjadikan kepala suaminya berdentam-dentam seperti digodam-godam. Namun, diam-diam perempuan itu merumuskan: rambut boleh sama hitam, tapi kekuatan tengkorak kepala bisa berlain-lainan. Buktinya, perempuan itu bahkan senang berhujan-hujan. Dan itu bukan semata dia lakukan saat dia masih kanak-kanak di desanya, melainkan juga senantiasa ingin dia lakukan bahkan ketika dia sudah pindah ke Ibu Kota, memiliki kekasih, dan kemudian menikah. Dia bahkan kurang berkenan jika hanya rintik hujan yang menitik.
Karena perkiraan ketebalan tulang kepalanya berbeda dibandingkan dengan tengkorak kepala suaminya itulah diam-diam pula perempuan itu melanggar peringatan suaminya. Dia tetap saja membasahi kepalanya, meraup lendiran sampo, dan meruapkannya ke sela-sela rambutnya. Itu dia lakukan terutama jika dia benar-benar merasa gerah-jika tak keramas, saat tidur dia malah menjadi digusah gelisah. Tetap, untuk menghindari kemungkinan pertanyaan suaminya, dia senantiasa lebih dulu mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Perempuan itu tak akan meninggalkan kamar mandi sebelum rambutnya benar-benar kering. Untuk waktu lama yang dia gunakan di dalam kamar mandi, suaminya tak pernah mempertanyakan karena sejak mereka masih berpacaran lelaki itu tahu benar bahwa perempuan itu senantiasa banyak menghabiskan waktunya dalam kamar mandi. Memang, perempuan itu jauh lebih bergegas saat berdandan di depan meja rias ketimbang berendam dalam kamar mandi.
Suaminya sangat memahami perempuan itu. Itu sebabnya saat merenovasi rumah mereka, suaminya merancang kamar mandi ber-bathtub, tak hanya ber-shower.
“Air yang memancur memang lebih mirip air yang menggerojok dari talang rumah waktu kamu berhujan-hujan dulu, waktu kanak-kanak. Tapi, aku ingin kamu lebih menikmati berendam dalam bathtub…,” kilah suaminya saat perempuan itu bertanya kenapa kamar mandinya harus juga ber-bathtub. Perempuan itu tahu, suaminya tak menyelesaikan kalimatnya karena tak ingin menyinggung perasaan istrinya. Istrinya paham bahwa suaminya paham pula saat di desa dulu -saat perempuan itu masih kanak-kanak- juga kerap berendam di kolam mirip kubangan bersama-sama kerbau milik tetangganya yang digembala kawan sekolahnya.
Di kemudian hari, setelah rumah mereka selesai direnovasi, perempuan itu tak hanya berendam dalam bak mandi, tetapi juga sekaligus menyalakan shower-nya sehingga dia merasa berendam dalam kubangan di dalam guyuran air hujan.
Suaminya tak pernah mempersoalkan perempuan itu hanya berendam ataukah hanya membiarkan dirinya diguyur air pancuran kamar mandi atau mempergunakan dua-duanya dan lantai kamar mandi bukan saja basah -melainkan cipratan air juga menggenang menggeremang- karenanya. Suaminya hanya berkomentar: “Jangan mandi, apalagi keramas, malam-malam; nanti kedinginan. Nanti bisa sakit.”
Ujaran suaminya yang bernada larangan itu tak semata diucapkan sebelum perempuan itu masuk kamar mandi, tetapi bahkan juga setelah perempuan itu selesai mandi. Jika perempuan itu sudah selesai mandi, untuk apa pula peringatan dan larangan itu?
Keinginan perempuan itu makin mendesak-desak untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi justru karena suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya -dengan alasan: hari sudah larut malam.
Perempuan itu ingin mengenang makna peringatan suaminya sebagai bentuk lain dari rasa sayang. Perempuan itu merasa sudah kehilangan makna peringatan suaminya sebagai rasa cinta yang tak pernah bisa ditakar dan ditimbang-timbang. Dia merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. “Atau yang berubah justru diriku sendiri?” Perempuan itu menggumam.
Perempuan itu merasa, jangankan peringatan, perhatian dari suaminya pun makin dia rasakan sebagai bentuk lain pelarangan.
“Suamiku makin menyia-nyiakan enerjinya untuk hal-hal yang tak perlu,” katanya suatu kali pada karibnya, yang juga karib suaminya. Mereka sedang mencuri kesempatan untuk bisa bersama dalam istirahat jam kantor.
“Memperingatkan kamu untuk enggak keramas itu bukan larangan, dong. Kalaupun larangan, itu justru menunjukkan dia sayang kamu,” kata karibnya menanggapi.
“Ya, tapi kalau omongan itu terus diulang-ulang, bukan lagi kasih sayang namanya. Itu rutinitas. Itu mesin. Mechanical. Enggak ada yang spesial,” bantah perempuan itu.
“Lho, kamu memilih yang mana? Pilih dia diam saja tak memerhatikan atau pilih dia bicara memperingatkan?” sergah karibnya -yang juga perempuan.
“Kamu lebih pilih yang kedua?” perempuan itu balik bertanya.
“Sejujurnya, honestly, aku pilih suamiku mengomeli aku daripada sama sekali bungkam. Justru dengan begitu, aku merasa suamiku ada. He is exist beside me!”
Perempuan itu, waktu itu, membatin: hanya lantaran ingin menunjukkan dirinya ada, suamiku terus saja melarang-larangku. Padahal, tanpa omong sehuruf pun aku tahu dia ada bersamaku.
Belakang hari, perempuan itu mencoba menimbang-nimbang bahwa suaminya sesungguhnya tak ada bersamanya, justru karena itu suaminya ingin menunjuk-nunjukkan diri bahwa dirinya senantiasa ada dengan cara melarang dan melarang-larang perempuan itu, istrinya, untuk berkeramas di malam hari. Apalagi menjelang tidur.
Perempuan itu makin yakin bahwa suaminya tak ada bersamanya -yang ada hanya raganya, sementara hatinya entah berada di titik koordinat mana- ketika suatu kali telinganya menerima bisikan karibnya bahwa suaminya kerap berjalan bersama dengan lain perempuan.
“Apakah aku mengenal perempuan lain itu?” tanya perempuan itu pada karib yang membisikinya.
“Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal perempuan itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan kan?” ujar karibnya.
“Ya, tapi apa salahnya berjalan bersama sih?” perempuan itu mencoba menghibur diri. Dia merasa, dia hanya membatin, namun ternyata karibnya mendengar kalimat penghibur itu. Apakah aku tak sekadar membatin, tapi malah melisankan suara batinku? Atau kawanku yang justru bisa mendengar suara batinku?
“Tak ada yang salah memang. Tapi kalau selalu bersama -bukan hanya sesekali- apa namanya?” karibnya berucap datar. Tak ada niat untuk membakar-bakar.
Karib itu kemudian menambahkan: dia tak hanya sekali melihat suami sahabatnya itu makan siang bersama di sebuah resto bersamaan dengan jam istirahat siang. Bahkan, sahabatnya mengaku pernah memergoki suaminya bersama perempuan lain itu di sebuah hotel di saat senja menjelang temaram malam.
“Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” sergah perempuan itu.
“Apakah kamu melihat suamiku dan perempuan itu masuk kamar hotel?”
“Terus terang, aku tak melihatnya. Tapi….”
Itulah awal mula perempuan itu merasa jengah saat saban kali suaminya mengingatkannya agar dia tak mengeramasi kepalanya jika hari sudah semakin malam. Perempuan itu bahkan terang-terangan menanggapi omongan suaminya tanpa sama sekali menahan gemuruh kecurigaan yang dalam dadanya tak mungkin luruh atau dia tanggalkan.
v “Kepala ini kepalaku sendiri, rambut ini rambutku sendiri. Risikonya jadi tanggunganku sendiri,” katanya sambil menuju pintu kamar mandi. Perempuan itu berharap sebelum dia kuakkan pintu kamar mandi, suaminya segera menambahi omongan atau menimpali. Ternyata, suaminya hanya sedikit mengangkat bahu -yang kira-kira bisa dimaknakan: ada apa dengan istriku?- itu pun tak diketahui perempuan itu karena suaminya ada di belakangnya dalam posisi yang tak terekam mata perempuan itu, selain di hadapan perempuan itu tiada cermin yang bisa memantulkan bayangan gerak-gerik suaminya.
Itu sebabnya, usai mandi, perempuan itu tak ingin berlama-lama memendam tanda tanya penuh penasaran atas suaminya. Perempuan itu membiarkan handuk masih menggelung kepalanya. Perempuan itu mau menunjukkan bahwa dia habis keramas. Perempuan itu ingin menandaskan bahwa larangan suaminya kali ini terang-terangan -tak lagi diam-diam- dia langgar.
“Habis keramas?” tanya suaminya sambil memandang gelungan handuk di kepalanya. Perempuan itu kecewa, suaminya tak menunjukkan amarah dalam kalimat tanya itu. Perempuan itu ingin suaminya murka sehingga dia mempunyai alasan untuk juga murka dan mengerkah suaminya dengan deretan pertanyaan perihal perempuan lain yang senantiasa makan siang dan masuk hotel bersama itu.
“Kamu enggak marah aku keramas?” pancing perempuan itu.
v “Aku pernah marah sama kamu?” suaminya balik bertanya. Benar, suamiku tak pernah marah padaku. Apa pun musababnya. Itu sebabnya aku merasa bersyukur menjadi pilihan hidupnya.
“Kita sudah deal tak akan membawa problem kantor ke dalam kehidupan rumah tangga kita kan?” kata suaminya.
Perempuan itu masih ingat, itu kesepakatan bersama mereka. Bahkan perempuan itu sendiri yang merumuskan kalimat kesepakatan itu. Tapi, apakah makan siang dan masuk hotel bersama itu termasuk pekerjaan kantor suamiku?
“Ada persoalan pekerjaan yang mendesak untuk di-share bersama, Meisj?” kata suaminya yang dirasakan perempuan itu benar-benar penuh perhatian. Perhatian yang penuh dari suaminya itu pula yang kerap dengan cepat membuat hati perempuan itu menjadi trenyuh dan tenteram. Itu pula yang kemudian membuat perempuan itu merontokkan gemuruh kemurkaan dalam dadanya, sekalipun tetap saja dia melaporkan bisikan karib mereka perihal kebersamaan suaminya dengan lain perempuan.
“Siapa yang memberi informasi itu, Meisj? Aku mengenalnya?”
“Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal pemberi informasi itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan antara kamu mengenal dan tidak kan?” ucap perempuan itu. Dia sadar, itu kalimat karibnya yang dia kutip begitu saja dan apa adanya.
“Ya, apa salahnya berjalan bersama sih?” kata suaminya. Ah, kalimat yang sama pula yang kulontarkan pada karib kami!
“Tak ada yang salah memang. Tapi kalau tak hanya sesekali -tapi selalu- bersama, namanya apa itu, Schaat?” perempuan itu menyergah, tetapi dengan irama yang tetap tak sedang terbakar kemungkinan kemurkaan.
“Apakah mata informanmu itu benar-benar melihatku booking dan ngamar di hotel itu, Meisj?” masih dalam irama terjaga suaminya berucap.
Diam-diam perempuan itu mencatat, dialog dengan suaminya begitu bersejajar dengan dialognya dengan karib mereka. Hanya pengucapnya yang berbeda. Kalimat yang dia lontarkan pada sahabatnya, kini kalimat itu justru diucapkan suaminya. Kami benar-benar bersehati. Bukan sebatas berkumpulan dan bersekalimat! Itu juga yang pernah dikatakan suamiku.
“Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” tiba-tiba kalimat suaminya memenggal pengembaraan perempuan itu pada permenungan singkat masa silam mereka.
“Maafkan aku, Schaat. Aku sudah salah sangka terhadapmu.”
Perempuan itu kemudian membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan suaminya yang dengan serta-merta menjemba dan merengkuhnya. Perempuan itu meminta maaf karena merasa terlalu simplistis menafsirkan sebuah informasi yang belum terbuktikan kebenarannya. Memang, tak ada yang salah dengan makan siang bersama. Perempuan itu juga pernah melakukan hal sama dengan teman lelaki sekantornya dan suaminya tahu itu karena dia memberi tahu lebih dulu suaminya sebelum dia berangkat menuju tempat makan siang di sebuah mal. Suaminya juga pernah makan siang bersama karib mereka yang menginformasikan perihal kebersamaan suaminya dengan perempuan lain-dan perempuan itu tahu karena suaminya meneleponnya lebih dulu.
Perempuan itu juga pernah ke sebuah hotel bersama lelaki sekantor lainnya. Mereka mengudap menu di sebuah kafe yang ada dalam bangunan hotel itu. Mereka menunggu longgarnya lalu lintas jalanan yang senantiasa mampet saban jam-jam pulang kantor. Suaminya tahu itu. Bahkan, suaminya kemudian menjemput perempuan itu dan perempuan itu memperkenalkan suaminya kepada lelaki sekantornya. Sama dengan yang pernah dilakukan perempuan itu saat menjemput suaminya di sebuah resto di simpang sembilan jalan. Hanya saja perempuan itu tak dikenalkan pada perempuan yang minum-minum bersama suaminya di saat senja itu lantaran mereka sudah saling kenal. Perempuan yang bersama suaminya adalah kawan karib mereka berdua.
Malam itu, perempuan itu sangat ingin berkeramas sebagai bentuk pemberontakan pada suaminya. Keinginan memberontak itu begitu mendesak-desak. Tapi suaminya belum pulang dari dinas luar kota. Bahkan luar pulau. Perempuan itu tak lagi ingat jam berapa hari ini suaminya akan mendarat di bandara. Sepanjang jam telepon seluler suaminya gagal dia hubungi. Setiap kali dia kontak ke nomor suaminya, jawabanya selalu: “Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar service area….”
Senja itu, dalam perjalanan pulang kantor, karib yang memberi informasi perihal suaminya yang jalan bersama perempuan lain itu bersemobil dengan perempuan itu.
v “Ada yang ingin kuinformasikan padamu,” ucap karibnya di telepon sebelum menyatakan hendak menemani perempuan itu pulang kantor.
v “Tapi, aku enggak mampir kafe, lho. Aku mau langsung pulang,” jelas perempuan itu.
“Enggak apa-apa. Aku juga enggak bawa mobil kok. Mobilku sedang turun mesin. Gampang, kau turunkan aku di mana, nanti aku sambung pakai taksi saja,” kata karibnya sebelum mengatupkan gagang telepon.
Tak penting benar bagaimana rincian skenario karibnya pulang ke rumahnya yang lokasinya memang bertolak jauh dari rumah perempuan itu. Yang penting adalah yang diinformasikan karib itu perihal perempuan yang senantiasa bersama dengan suaminya.
“Perempuan lain itu kamu sangat kenal,” kata karibnya membuka informasi.
“Oya?” kata perempuan itu berdebar. Bersamaan dengan itu, sepeda motor tanpa pelat nomor polisi yang bergegas melintas nyaris menyenggol moncong mobilnya.
“Ya. Perempuan itu, aku….”
Perempuan itu menganggap karibnya sedang mencandainya. Ketika karibnya kemudian menyebutkan bahwa dia tahu persis letak bekas tancapan kuku di pinggul suaminya, barulah perempuan itu tersadarkan bahwa suaminya telah benar-benar mengkhianatinya. Bekas tancapan kuku di pinggul itu begitu tersembunyi letaknya. Bahkan suaminya sendiri selalu gagal untuk menengok dan memastikan rinciannya. Perempuan itu tahu benar detailnya karena kuku-kuku tangannya sendiri yang menancapnya saat dia menggapai gemuruh magma dalam persekelaminan pada malam pertama mereka.
Keinginan perempuan itu tak lagi meletup-letup untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi. Perempuan itu merasa dirinya tak lagi punya arti. Bukan saja suaminya yang telah mengkhianatinya, tapi juga sahabat karibnya yang sekaligus karib suaminya itu yang mengadalinya. Jika tak lagi punya makna dalam hidup ini, untuk apa pula aku hidup?
Perempuan itu tak lagi ingin mengeramasi rambutnya karena dia memang baru saja selesai membilas-bilas rambutnya. Dia tak merendamkan diri di bak mandi rumahnya. Dia tak mengguyur kepalanya dengan air pancuran di kamar mandinya.
Sebuah cottage di sebuah pantai di pinggiran kota, kamar mandinya penuh bercak merah. Dalam bak mandi maupun lantainya. Bak mandinya sengaja ditutup katupnya, lubang aliran pembuangan di lantai kamar mandi juga tertutup entah apa sehingga bercak-bercak merah itu tetap menggenang. Ada yang usai keramas di kamar mandi itu. Bukan sampo yang diraup dan diruapkan ke rambut kepala seseorang yang usai berkeramas. Yang dikeramaskan adalah gumpalan darah dari sepasang manusia yang kini terkapar di kamar tidur di sebelah kamar mandi.
Yang usai mengeramasi rambutnya adalah seorang perempuan yang pernah membaca legenda tentang perempuan yang moksa setelah mengeramasi rambutnya dengan darah seorang lelaki yang pernah memerkosanya.
Perempuan itu merasa sudah saatnya moksa. Perempuan itu merasa kinilah saatnya dia bertemu Tuhan. Dua malam lampau, dalam tidur lelap lantaran lelah menunggu suaminya yang tak juga pulang dari luar pulau, perempuan itu bermimpi ketemu Tuhan dan Tuhan berkata: “Sucikanlah dirimu sebelum Kujemput pulang.”
Perempuan itu merasa habis menyucikan dirinya dengan mengeramasi rambut, kepala, dan seluruh tubuhnya dengan darah suami dan kekasihnya.
Perempuan itu menyimpulkan: hidup dan mati hanyalah untuk Tuhan. Dia pernah mendengar kalimat itu -entah di mana. Hidupku selama ini hanya untuk urusan duniawi. Urusan duniawi terpuncakku adalah menggorok suami dan perempuan -kekasihnya. Perempuan itu merasa puncak keduniawian itulah titik untuk menyucikan diri dan meniti jalanan Tuhan. Perempuan itu kini meniti jalanan kota yang dipadati kendaraan yang lalu lalang dan basah karena guyuran hujan.
Perempuan itu sedari kanak-kanak suka berhujan-hujan.
Perempuan itu: aku….
“Keramas malam-malam tak bagus untuk kesehatan,” kata suaminya.
“Oya?” celetuk perempuan itu datar ala kadarnya. Perempuan itu merasa senang atas peringatan suaminya. Berarti suaminya memerhatikannya. Memerhatikan kesehatannya.
“Ya. Gara-gara sering mandi malam, suami teman sekantorku kena paru-paru basah,” kata suaminya menjelaskan.
“Ooo, kan dia mandi malam. Bukan keramas,” pancing perempuan itu. Peringatan suaminya, dia maknai sebagai bentuk perhatian yang memang membuat hatinya berkembang-kembang.
“Lha, mandi saja kena paru-paru basah, apalagi keramas. Kan kulit kepala lebih rentan dibanding badan,” kata suaminya masih membeberkan.
Perempuan itu makin yakin bahwa dia tidak salah telah memilih lelaki itu sebagai pendamping dalam hidupnya. Perempuan itu makin merasa tak bersalah langkah meninggalkan lelaki lain yang menjadi kekasihnya sekalipun para kekasih itu telah lebih dulu mengisi rongga hatinya, jauh sebelum lelaki yang kini menjadi suaminya itu dia kenal.
Perempuan itu bersetuju dengan yang diomongkan suaminya: batok kepala-sebetapa pun kerasnya, termasuk keras kepala- teramat mudah untuk disergap demam atau rasa sakit lainnya. Jangankan terkena air hujan, rincik hujan yang menempas dan memercik kepala suaminya pun sudah bisa menjadikan kepala suaminya berdentam-dentam seperti digodam-godam. Namun, diam-diam perempuan itu merumuskan: rambut boleh sama hitam, tapi kekuatan tengkorak kepala bisa berlain-lainan. Buktinya, perempuan itu bahkan senang berhujan-hujan. Dan itu bukan semata dia lakukan saat dia masih kanak-kanak di desanya, melainkan juga senantiasa ingin dia lakukan bahkan ketika dia sudah pindah ke Ibu Kota, memiliki kekasih, dan kemudian menikah. Dia bahkan kurang berkenan jika hanya rintik hujan yang menitik.
Karena perkiraan ketebalan tulang kepalanya berbeda dibandingkan dengan tengkorak kepala suaminya itulah diam-diam pula perempuan itu melanggar peringatan suaminya. Dia tetap saja membasahi kepalanya, meraup lendiran sampo, dan meruapkannya ke sela-sela rambutnya. Itu dia lakukan terutama jika dia benar-benar merasa gerah-jika tak keramas, saat tidur dia malah menjadi digusah gelisah. Tetap, untuk menghindari kemungkinan pertanyaan suaminya, dia senantiasa lebih dulu mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Perempuan itu tak akan meninggalkan kamar mandi sebelum rambutnya benar-benar kering. Untuk waktu lama yang dia gunakan di dalam kamar mandi, suaminya tak pernah mempertanyakan karena sejak mereka masih berpacaran lelaki itu tahu benar bahwa perempuan itu senantiasa banyak menghabiskan waktunya dalam kamar mandi. Memang, perempuan itu jauh lebih bergegas saat berdandan di depan meja rias ketimbang berendam dalam kamar mandi.
Suaminya sangat memahami perempuan itu. Itu sebabnya saat merenovasi rumah mereka, suaminya merancang kamar mandi ber-bathtub, tak hanya ber-shower.
“Air yang memancur memang lebih mirip air yang menggerojok dari talang rumah waktu kamu berhujan-hujan dulu, waktu kanak-kanak. Tapi, aku ingin kamu lebih menikmati berendam dalam bathtub…,” kilah suaminya saat perempuan itu bertanya kenapa kamar mandinya harus juga ber-bathtub. Perempuan itu tahu, suaminya tak menyelesaikan kalimatnya karena tak ingin menyinggung perasaan istrinya. Istrinya paham bahwa suaminya paham pula saat di desa dulu -saat perempuan itu masih kanak-kanak- juga kerap berendam di kolam mirip kubangan bersama-sama kerbau milik tetangganya yang digembala kawan sekolahnya.
Di kemudian hari, setelah rumah mereka selesai direnovasi, perempuan itu tak hanya berendam dalam bak mandi, tetapi juga sekaligus menyalakan shower-nya sehingga dia merasa berendam dalam kubangan di dalam guyuran air hujan.
Suaminya tak pernah mempersoalkan perempuan itu hanya berendam ataukah hanya membiarkan dirinya diguyur air pancuran kamar mandi atau mempergunakan dua-duanya dan lantai kamar mandi bukan saja basah -melainkan cipratan air juga menggenang menggeremang- karenanya. Suaminya hanya berkomentar: “Jangan mandi, apalagi keramas, malam-malam; nanti kedinginan. Nanti bisa sakit.”
Ujaran suaminya yang bernada larangan itu tak semata diucapkan sebelum perempuan itu masuk kamar mandi, tetapi bahkan juga setelah perempuan itu selesai mandi. Jika perempuan itu sudah selesai mandi, untuk apa pula peringatan dan larangan itu?
Keinginan perempuan itu makin mendesak-desak untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi justru karena suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya -dengan alasan: hari sudah larut malam.
Perempuan itu ingin mengenang makna peringatan suaminya sebagai bentuk lain dari rasa sayang. Perempuan itu merasa sudah kehilangan makna peringatan suaminya sebagai rasa cinta yang tak pernah bisa ditakar dan ditimbang-timbang. Dia merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. “Atau yang berubah justru diriku sendiri?” Perempuan itu menggumam.
Perempuan itu merasa, jangankan peringatan, perhatian dari suaminya pun makin dia rasakan sebagai bentuk lain pelarangan.
“Suamiku makin menyia-nyiakan enerjinya untuk hal-hal yang tak perlu,” katanya suatu kali pada karibnya, yang juga karib suaminya. Mereka sedang mencuri kesempatan untuk bisa bersama dalam istirahat jam kantor.
“Memperingatkan kamu untuk enggak keramas itu bukan larangan, dong. Kalaupun larangan, itu justru menunjukkan dia sayang kamu,” kata karibnya menanggapi.
“Ya, tapi kalau omongan itu terus diulang-ulang, bukan lagi kasih sayang namanya. Itu rutinitas. Itu mesin. Mechanical. Enggak ada yang spesial,” bantah perempuan itu.
“Lho, kamu memilih yang mana? Pilih dia diam saja tak memerhatikan atau pilih dia bicara memperingatkan?” sergah karibnya -yang juga perempuan.
“Kamu lebih pilih yang kedua?” perempuan itu balik bertanya.
“Sejujurnya, honestly, aku pilih suamiku mengomeli aku daripada sama sekali bungkam. Justru dengan begitu, aku merasa suamiku ada. He is exist beside me!”
Perempuan itu, waktu itu, membatin: hanya lantaran ingin menunjukkan dirinya ada, suamiku terus saja melarang-larangku. Padahal, tanpa omong sehuruf pun aku tahu dia ada bersamaku.
Belakang hari, perempuan itu mencoba menimbang-nimbang bahwa suaminya sesungguhnya tak ada bersamanya, justru karena itu suaminya ingin menunjuk-nunjukkan diri bahwa dirinya senantiasa ada dengan cara melarang dan melarang-larang perempuan itu, istrinya, untuk berkeramas di malam hari. Apalagi menjelang tidur.
Perempuan itu makin yakin bahwa suaminya tak ada bersamanya -yang ada hanya raganya, sementara hatinya entah berada di titik koordinat mana- ketika suatu kali telinganya menerima bisikan karibnya bahwa suaminya kerap berjalan bersama dengan lain perempuan.
“Apakah aku mengenal perempuan lain itu?” tanya perempuan itu pada karib yang membisikinya.
“Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal perempuan itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan kan?” ujar karibnya.
“Ya, tapi apa salahnya berjalan bersama sih?” perempuan itu mencoba menghibur diri. Dia merasa, dia hanya membatin, namun ternyata karibnya mendengar kalimat penghibur itu. Apakah aku tak sekadar membatin, tapi malah melisankan suara batinku? Atau kawanku yang justru bisa mendengar suara batinku?
“Tak ada yang salah memang. Tapi kalau selalu bersama -bukan hanya sesekali- apa namanya?” karibnya berucap datar. Tak ada niat untuk membakar-bakar.
Karib itu kemudian menambahkan: dia tak hanya sekali melihat suami sahabatnya itu makan siang bersama di sebuah resto bersamaan dengan jam istirahat siang. Bahkan, sahabatnya mengaku pernah memergoki suaminya bersama perempuan lain itu di sebuah hotel di saat senja menjelang temaram malam.
“Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” sergah perempuan itu.
“Apakah kamu melihat suamiku dan perempuan itu masuk kamar hotel?”
“Terus terang, aku tak melihatnya. Tapi….”
v “Kepala ini kepalaku sendiri, rambut ini rambutku sendiri. Risikonya jadi tanggunganku sendiri,” katanya sambil menuju pintu kamar mandi. Perempuan itu berharap sebelum dia kuakkan pintu kamar mandi, suaminya segera menambahi omongan atau menimpali. Ternyata, suaminya hanya sedikit mengangkat bahu -yang kira-kira bisa dimaknakan: ada apa dengan istriku?- itu pun tak diketahui perempuan itu karena suaminya ada di belakangnya dalam posisi yang tak terekam mata perempuan itu, selain di hadapan perempuan itu tiada cermin yang bisa memantulkan bayangan gerak-gerik suaminya.
Itu sebabnya, usai mandi, perempuan itu tak ingin berlama-lama memendam tanda tanya penuh penasaran atas suaminya. Perempuan itu membiarkan handuk masih menggelung kepalanya. Perempuan itu mau menunjukkan bahwa dia habis keramas. Perempuan itu ingin menandaskan bahwa larangan suaminya kali ini terang-terangan -tak lagi diam-diam- dia langgar.
“Habis keramas?” tanya suaminya sambil memandang gelungan handuk di kepalanya. Perempuan itu kecewa, suaminya tak menunjukkan amarah dalam kalimat tanya itu. Perempuan itu ingin suaminya murka sehingga dia mempunyai alasan untuk juga murka dan mengerkah suaminya dengan deretan pertanyaan perihal perempuan lain yang senantiasa makan siang dan masuk hotel bersama itu.
“Kamu enggak marah aku keramas?” pancing perempuan itu.
v “Aku pernah marah sama kamu?” suaminya balik bertanya. Benar, suamiku tak pernah marah padaku. Apa pun musababnya. Itu sebabnya aku merasa bersyukur menjadi pilihan hidupnya.
“Kita sudah deal tak akan membawa problem kantor ke dalam kehidupan rumah tangga kita kan?” kata suaminya.
Perempuan itu masih ingat, itu kesepakatan bersama mereka. Bahkan perempuan itu sendiri yang merumuskan kalimat kesepakatan itu. Tapi, apakah makan siang dan masuk hotel bersama itu termasuk pekerjaan kantor suamiku?
“Ada persoalan pekerjaan yang mendesak untuk di-share bersama, Meisj?” kata suaminya yang dirasakan perempuan itu benar-benar penuh perhatian. Perhatian yang penuh dari suaminya itu pula yang kerap dengan cepat membuat hati perempuan itu menjadi trenyuh dan tenteram. Itu pula yang kemudian membuat perempuan itu merontokkan gemuruh kemurkaan dalam dadanya, sekalipun tetap saja dia melaporkan bisikan karib mereka perihal kebersamaan suaminya dengan lain perempuan.
“Siapa yang memberi informasi itu, Meisj? Aku mengenalnya?”
“Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal pemberi informasi itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan antara kamu mengenal dan tidak kan?” ucap perempuan itu. Dia sadar, itu kalimat karibnya yang dia kutip begitu saja dan apa adanya.
“Ya, apa salahnya berjalan bersama sih?” kata suaminya. Ah, kalimat yang sama pula yang kulontarkan pada karib kami!
“Tak ada yang salah memang. Tapi kalau tak hanya sesekali -tapi selalu- bersama, namanya apa itu, Schaat?” perempuan itu menyergah, tetapi dengan irama yang tetap tak sedang terbakar kemungkinan kemurkaan.
“Apakah mata informanmu itu benar-benar melihatku booking dan ngamar di hotel itu, Meisj?” masih dalam irama terjaga suaminya berucap.
Diam-diam perempuan itu mencatat, dialog dengan suaminya begitu bersejajar dengan dialognya dengan karib mereka. Hanya pengucapnya yang berbeda. Kalimat yang dia lontarkan pada sahabatnya, kini kalimat itu justru diucapkan suaminya. Kami benar-benar bersehati. Bukan sebatas berkumpulan dan bersekalimat! Itu juga yang pernah dikatakan suamiku.
“Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” tiba-tiba kalimat suaminya memenggal pengembaraan perempuan itu pada permenungan singkat masa silam mereka.
“Maafkan aku, Schaat. Aku sudah salah sangka terhadapmu.”
Perempuan itu kemudian membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan suaminya yang dengan serta-merta menjemba dan merengkuhnya. Perempuan itu meminta maaf karena merasa terlalu simplistis menafsirkan sebuah informasi yang belum terbuktikan kebenarannya. Memang, tak ada yang salah dengan makan siang bersama. Perempuan itu juga pernah melakukan hal sama dengan teman lelaki sekantornya dan suaminya tahu itu karena dia memberi tahu lebih dulu suaminya sebelum dia berangkat menuju tempat makan siang di sebuah mal. Suaminya juga pernah makan siang bersama karib mereka yang menginformasikan perihal kebersamaan suaminya dengan perempuan lain-dan perempuan itu tahu karena suaminya meneleponnya lebih dulu.
Perempuan itu juga pernah ke sebuah hotel bersama lelaki sekantor lainnya. Mereka mengudap menu di sebuah kafe yang ada dalam bangunan hotel itu. Mereka menunggu longgarnya lalu lintas jalanan yang senantiasa mampet saban jam-jam pulang kantor. Suaminya tahu itu. Bahkan, suaminya kemudian menjemput perempuan itu dan perempuan itu memperkenalkan suaminya kepada lelaki sekantornya. Sama dengan yang pernah dilakukan perempuan itu saat menjemput suaminya di sebuah resto di simpang sembilan jalan. Hanya saja perempuan itu tak dikenalkan pada perempuan yang minum-minum bersama suaminya di saat senja itu lantaran mereka sudah saling kenal. Perempuan yang bersama suaminya adalah kawan karib mereka berdua.
Malam itu, perempuan itu sangat ingin berkeramas sebagai bentuk pemberontakan pada suaminya. Keinginan memberontak itu begitu mendesak-desak. Tapi suaminya belum pulang dari dinas luar kota. Bahkan luar pulau. Perempuan itu tak lagi ingat jam berapa hari ini suaminya akan mendarat di bandara. Sepanjang jam telepon seluler suaminya gagal dia hubungi. Setiap kali dia kontak ke nomor suaminya, jawabanya selalu: “Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar service area….”
Senja itu, dalam perjalanan pulang kantor, karib yang memberi informasi perihal suaminya yang jalan bersama perempuan lain itu bersemobil dengan perempuan itu.
v “Ada yang ingin kuinformasikan padamu,” ucap karibnya di telepon sebelum menyatakan hendak menemani perempuan itu pulang kantor.
v “Tapi, aku enggak mampir kafe, lho. Aku mau langsung pulang,” jelas perempuan itu.
“Enggak apa-apa. Aku juga enggak bawa mobil kok. Mobilku sedang turun mesin. Gampang, kau turunkan aku di mana, nanti aku sambung pakai taksi saja,” kata karibnya sebelum mengatupkan gagang telepon.
Tak penting benar bagaimana rincian skenario karibnya pulang ke rumahnya yang lokasinya memang bertolak jauh dari rumah perempuan itu. Yang penting adalah yang diinformasikan karib itu perihal perempuan yang senantiasa bersama dengan suaminya.
“Perempuan lain itu kamu sangat kenal,” kata karibnya membuka informasi.
“Oya?” kata perempuan itu berdebar. Bersamaan dengan itu, sepeda motor tanpa pelat nomor polisi yang bergegas melintas nyaris menyenggol moncong mobilnya.
“Ya. Perempuan itu, aku….”
Perempuan itu menganggap karibnya sedang mencandainya. Ketika karibnya kemudian menyebutkan bahwa dia tahu persis letak bekas tancapan kuku di pinggul suaminya, barulah perempuan itu tersadarkan bahwa suaminya telah benar-benar mengkhianatinya. Bekas tancapan kuku di pinggul itu begitu tersembunyi letaknya. Bahkan suaminya sendiri selalu gagal untuk menengok dan memastikan rinciannya. Perempuan itu tahu benar detailnya karena kuku-kuku tangannya sendiri yang menancapnya saat dia menggapai gemuruh magma dalam persekelaminan pada malam pertama mereka.
Keinginan perempuan itu tak lagi meletup-letup untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi. Perempuan itu merasa dirinya tak lagi punya arti. Bukan saja suaminya yang telah mengkhianatinya, tapi juga sahabat karibnya yang sekaligus karib suaminya itu yang mengadalinya. Jika tak lagi punya makna dalam hidup ini, untuk apa pula aku hidup?
Perempuan itu tak lagi ingin mengeramasi rambutnya karena dia memang baru saja selesai membilas-bilas rambutnya. Dia tak merendamkan diri di bak mandi rumahnya. Dia tak mengguyur kepalanya dengan air pancuran di kamar mandinya.
Sebuah cottage di sebuah pantai di pinggiran kota, kamar mandinya penuh bercak merah. Dalam bak mandi maupun lantainya. Bak mandinya sengaja ditutup katupnya, lubang aliran pembuangan di lantai kamar mandi juga tertutup entah apa sehingga bercak-bercak merah itu tetap menggenang. Ada yang usai keramas di kamar mandi itu. Bukan sampo yang diraup dan diruapkan ke rambut kepala seseorang yang usai berkeramas. Yang dikeramaskan adalah gumpalan darah dari sepasang manusia yang kini terkapar di kamar tidur di sebelah kamar mandi.
Yang usai mengeramasi rambutnya adalah seorang perempuan yang pernah membaca legenda tentang perempuan yang moksa setelah mengeramasi rambutnya dengan darah seorang lelaki yang pernah memerkosanya.
Perempuan itu merasa sudah saatnya moksa. Perempuan itu merasa kinilah saatnya dia bertemu Tuhan. Dua malam lampau, dalam tidur lelap lantaran lelah menunggu suaminya yang tak juga pulang dari luar pulau, perempuan itu bermimpi ketemu Tuhan dan Tuhan berkata: “Sucikanlah dirimu sebelum Kujemput pulang.”
Perempuan itu merasa habis menyucikan dirinya dengan mengeramasi rambut, kepala, dan seluruh tubuhnya dengan darah suami dan kekasihnya.
Perempuan itu menyimpulkan: hidup dan mati hanyalah untuk Tuhan. Dia pernah mendengar kalimat itu -entah di mana. Hidupku selama ini hanya untuk urusan duniawi. Urusan duniawi terpuncakku adalah menggorok suami dan perempuan -kekasihnya. Perempuan itu merasa puncak keduniawian itulah titik untuk menyucikan diri dan meniti jalanan Tuhan. Perempuan itu kini meniti jalanan kota yang dipadati kendaraan yang lalu lalang dan basah karena guyuran hujan.
Perempuan itu sedari kanak-kanak suka berhujan-hujan.
Perempuan itu: aku….