Bu...
anakmu gagal.
Lagi-lagi dipencundangi kehidupan.
Semua terasa kacau.
Karier, asmara.
Ingin kumuntahkan segala keluh kesah, tapi yang terucap cuma, "Bu, ada yang rame di tv?"
Kau, seperti biasa, membalas dengan deretan sinetron kesukaanmu, lantas bertanya kabarku dengan antusias.
Seolah-olah, satu-satunya kisah yang bisa mengalahkan sinetron favoritmu hanyalah tentang hidupku, dan aku adalah jagoanmu.
Kau tidak tahu bahwa anakmu belum sempat tidur;
patah, dikecewakan dunia.
"Kamu baik-baik aja, Nak?" tanyamu, menelisik lingkar mataku yang menghitam.
"Bu, kenapa hatiku sakit?" aku balas bertanya.
"Tandanya Tuhan peduli padamu."
"Lalu, kenapa ada rasa sakit?"
"Supaya kita bisa lebih bersyukur saat sehat."
Ibu selalu saja punya jawabannya.
Kau lanjut bertanya perihal ini-itu;
berusaha mengorekku lebih dalam.
Dulu, rasanya malas sekali kalau ditanya-tanya olehmu.
Sekarang, tiap ada apa-apa, selalu menyempatkan cerita padamu.
Aku tahu Ibu tidak mengerti aku ngomong apa.
Tapi, melihatmu antusias, rasanya hangat sekali.
Kemudian, kulihat kau dengan lebih saksama.
Rambutmu yang kian memutih, wajahmu yang kian berhiaskan keriput.
Di lelahmu, masih saja kau pikirkan kebahagiaanku.
Kau meminta air hangat.
Kuambilkan.
Akhir-akhir ini kusadari, kau sudah tidak bebas bergerak,
kerap terduduk letih di kursi favoritmu.
Kau kemudian bercerita tentang masa mudamu dulu,
tentang perjalanan hidup hingga akhirnya aku lahir.
katamu, aku anugerah, yang kian dewasa kian pintar melawanmu.
Tapi masih saja kau sayangi sepenuh hati.
Seakan-akan, berapa pun banyak dosaku, tak pernah sebanyak doamu.
Berapa pun banyaknya salahku, tak pernah sebanyak pintu maafmu.
Ah, Ibu.
Setua apapun aku, akan tetap menjadi anak kecil di matamu.
Apa-apa yang kuperbuat, pasti ada saja yang Ibu komentari.
Bukan karena aku salah.
Melainkan karena Ibu tidak mau sekadar duduk di bangku penonton,
melihat anaknya menjauh,
sementara dirinya sendiri merasa tidak berguna.
Dan hari ini, aku yang merasa tidak berguna.
"Bu..., anakmu gagal."
Akhirnya, aku berani mengucapkan itu.
Kau mengusap rambutku sembari tersenyum.
"Kan, masih ada lain hari."
"Nanti, coba lagi, ya."
"Sekarang, istirahat dulu."
Aku ikut tersenyum.
Kau selalu saja bisa menyederhanakan apa-apa yang rumit.
Terima kasih, ya, Bu.
anakmu gagal.
Lagi-lagi dipencundangi kehidupan.
Semua terasa kacau.
Karier, asmara.
Ingin kumuntahkan segala keluh kesah, tapi yang terucap cuma, "Bu, ada yang rame di tv?"
Kau, seperti biasa, membalas dengan deretan sinetron kesukaanmu, lantas bertanya kabarku dengan antusias.
Seolah-olah, satu-satunya kisah yang bisa mengalahkan sinetron favoritmu hanyalah tentang hidupku, dan aku adalah jagoanmu.
Kau tidak tahu bahwa anakmu belum sempat tidur;
patah, dikecewakan dunia.
"Kamu baik-baik aja, Nak?" tanyamu, menelisik lingkar mataku yang menghitam.
"Bu, kenapa hatiku sakit?" aku balas bertanya.
"Tandanya Tuhan peduli padamu."
"Lalu, kenapa ada rasa sakit?"
"Supaya kita bisa lebih bersyukur saat sehat."
Ibu selalu saja punya jawabannya.
Kau lanjut bertanya perihal ini-itu;
berusaha mengorekku lebih dalam.
Dulu, rasanya malas sekali kalau ditanya-tanya olehmu.
Sekarang, tiap ada apa-apa, selalu menyempatkan cerita padamu.
Aku tahu Ibu tidak mengerti aku ngomong apa.
Tapi, melihatmu antusias, rasanya hangat sekali.
Kemudian, kulihat kau dengan lebih saksama.
Rambutmu yang kian memutih, wajahmu yang kian berhiaskan keriput.
Di lelahmu, masih saja kau pikirkan kebahagiaanku.
Kau meminta air hangat.
Kuambilkan.
Akhir-akhir ini kusadari, kau sudah tidak bebas bergerak,
kerap terduduk letih di kursi favoritmu.
Kau kemudian bercerita tentang masa mudamu dulu,
tentang perjalanan hidup hingga akhirnya aku lahir.
katamu, aku anugerah, yang kian dewasa kian pintar melawanmu.
Tapi masih saja kau sayangi sepenuh hati.
Seakan-akan, berapa pun banyak dosaku, tak pernah sebanyak doamu.
Berapa pun banyaknya salahku, tak pernah sebanyak pintu maafmu.
Ah, Ibu.
Setua apapun aku, akan tetap menjadi anak kecil di matamu.
Apa-apa yang kuperbuat, pasti ada saja yang Ibu komentari.
Bukan karena aku salah.
Melainkan karena Ibu tidak mau sekadar duduk di bangku penonton,
melihat anaknya menjauh,
sementara dirinya sendiri merasa tidak berguna.
Dan hari ini, aku yang merasa tidak berguna.
"Bu..., anakmu gagal."
Akhirnya, aku berani mengucapkan itu.
Kau mengusap rambutku sembari tersenyum.
"Kan, masih ada lain hari."
"Nanti, coba lagi, ya."
"Sekarang, istirahat dulu."
Aku ikut tersenyum.
Kau selalu saja bisa menyederhanakan apa-apa yang rumit.
Terima kasih, ya, Bu.