Sebagai warna, kau ingin jadi apa?
Biru yang damaikah?
Atau merah yang bergairah?
Ayolah,
Kita sedang membicarakan cinta,
Bukan partai pengemis suara.
Kau bagian dari hidupku yang tak akan pernah bisa kuulang kembali..
Kau dokumentasi sejarah yang paling indah.
Yang kini, tersimpan abadi dalam sebuah ilusi.
Yang kutakuti dari mawar,
Kau tak lagi jadi wangi yang damai.
Namun menjadi duri yang menyakiti.
Jika mencintaimu adalah mata pelajaran, maka aku akan hadir; duduk paling depan.
Bagaimana mungkin kau kan percaya akan rindu ini..
Bila kau menganggap itu semua sebagai suatu hal yang palsu nan tabu.
Bisa tidak, kau pahami sedikit hatiku, aku bukan melebihkanmu tapi aku justru memperhatikanmu.
Menyukai orang sedingin kamu buat aku sadar, jika kamu menaruh perhatian tidak pada sembarang orang.
Kelelahan akan selalu datang untuk orang-orang yang tak mengerti arah, tak akan tahu dengan tujuannya, pun dengan diriku yang kini tak mengerti arah mana yang sedang kuperjuangkan, tujuan apa yang sedang kutempuh, tentangmu atau tidak sama sekali.
Senja tiba dengan rona bayangmu yang memenuhi semesta, sejauh mataku berkaca, wajahmu seperti lampu cahaya yang memenuhi segala.
Adalah kehilangan.
Segala yang seringkali terjadi tanpa diharapkan.
Pun bagian kehidupan yang terkadang melahirkan kedukaan.
Senyatanya sepi adalah aku, perempuan yang kerap ditinggalkan cinta dan rindu-rindu.
Kalau rindu itu peluru, engkau pasti penembak paling jitu.
Meski rinduku tak kau balas, meski rasa sayangku tak pernah kau anggap, tapi aku akan bertahan di atas segala perasaan yang sudah terlanjur kurawat, hanya Tuhan yang mampu membuatmu dekat.
Hingga hujan redah, kita masih ragu siapa yang ingin memulai.
Jarum jam terus berputar semakin mendesak tapi kau dan aku masih gengsi.
Hingga akhirnya rela menyiksa diri.
Malam semakin pekat dan kita tetap saling menunggu siapa yang memulai “aku mencintaimu”.
Mungkin di benakmu terselip sebuah rasa, tapi dalam pikirmu masih ada dia yang rela meninggalkanmu demi orang yang membuatnya buta dalam mencinta.
Biru yang damaikah?
Atau merah yang bergairah?
Ayolah,
Kita sedang membicarakan cinta,
Bukan partai pengemis suara.
Kau bagian dari hidupku yang tak akan pernah bisa kuulang kembali..
Kau dokumentasi sejarah yang paling indah.
Yang kini, tersimpan abadi dalam sebuah ilusi.
Yang kutakuti dari mawar,
Kau tak lagi jadi wangi yang damai.
Namun menjadi duri yang menyakiti.
Jika mencintaimu adalah mata pelajaran, maka aku akan hadir; duduk paling depan.
Bagaimana mungkin kau kan percaya akan rindu ini..
Bila kau menganggap itu semua sebagai suatu hal yang palsu nan tabu.
Bisa tidak, kau pahami sedikit hatiku, aku bukan melebihkanmu tapi aku justru memperhatikanmu.
Menyukai orang sedingin kamu buat aku sadar, jika kamu menaruh perhatian tidak pada sembarang orang.
Kelelahan akan selalu datang untuk orang-orang yang tak mengerti arah, tak akan tahu dengan tujuannya, pun dengan diriku yang kini tak mengerti arah mana yang sedang kuperjuangkan, tujuan apa yang sedang kutempuh, tentangmu atau tidak sama sekali.
Senja tiba dengan rona bayangmu yang memenuhi semesta, sejauh mataku berkaca, wajahmu seperti lampu cahaya yang memenuhi segala.
Adalah kehilangan.
Segala yang seringkali terjadi tanpa diharapkan.
Pun bagian kehidupan yang terkadang melahirkan kedukaan.
Senyatanya sepi adalah aku, perempuan yang kerap ditinggalkan cinta dan rindu-rindu.
Kalau rindu itu peluru, engkau pasti penembak paling jitu.
Meski rinduku tak kau balas, meski rasa sayangku tak pernah kau anggap, tapi aku akan bertahan di atas segala perasaan yang sudah terlanjur kurawat, hanya Tuhan yang mampu membuatmu dekat.
Hingga hujan redah, kita masih ragu siapa yang ingin memulai.
Jarum jam terus berputar semakin mendesak tapi kau dan aku masih gengsi.
Hingga akhirnya rela menyiksa diri.
Malam semakin pekat dan kita tetap saling menunggu siapa yang memulai “aku mencintaimu”.
Mungkin di benakmu terselip sebuah rasa, tapi dalam pikirmu masih ada dia yang rela meninggalkanmu demi orang yang membuatnya buta dalam mencinta.
- Anonim