Ada denyut sesak saat mendengar kabarmu sekarang, bahwa kau telah menemukan seseorang, dan bersamanya kalian saling mengikat sayang.
Kau mengabariku untuk datang, berkunjung pada singgasana yang membuat kalian menjadi raja dan ratu semalam.
Aku terdiam, seperti yang kau lakukan dulu saat aku mengungkapkan rasa padamu.
Bahwa sesungguhnya aku tidak terima atas segala bahagiamu, karena aku selalu yakin aku yang paling bisa membahagiakanmu.
Namun terlambat, padanya cintamu telah tertambat.
Kau tak pernah memberikan kesempatan, menjadikanku teman cerita sudah cukup membuatmu nyaman.
Sedetik saja sungguh aku ingin memilikimu, walau tak selamanya paling tidak, bisa mewarnai sebuah cerita.
Karena kini tentangmu hanyalah perih, dan penyesalan yang terucap lirih.
Isi kepalaku masih saja tentangmu, namun ketiadaanku di hatimu membuatnya pilu.
Satu hal yang masih membuatku tersenyum adalah anugerah kehormatan yang kau berikan atas hancurnya segala perasaan.
Namun tersenyum, hanya kamuflase kesedihan dari rasa sakit yang begitu ranum.
Ditemani kepulan penyesalan dari rokok yang aku bakar dengan kecemburuan, aku merayakan kepergianmu bersama air mata yang merintik bersamaan.
Di tempat berbeda pun kita bercerita, kau dan dia berpelukan dalam ikatan pernikahan,
Aku di sini berpelukan dengan kesendirian.
Cintamu resmi dia miliki, dengan segala ucapan selamat yang mengiringi kalian dalam ikatan suci.
Namun terserah, mimpiku tentangmu telah berubah.
Aku adalah secangkir teh yang kau lewatkan di lain meja, yang tak diaduk menjadi dingin dalam hambar yang sempurna.
Terlalu sering kau lupa, sering pula kau jadikan bahan bercanda, yang akhirnya kau hubungi saat tangismu mendera.
Sebelum akhirnya tenggelam ditelan diam, mulutmu hanya berbicara tentang lain pertemuan, padahal di depanmu aku melebarkan telinga menunggu jawaban.
Terkumpul kekecewaan, kau semakin tak wajar membicarakan orang lain di depan hati yang jelas-jelas mendamba kepastian.
Tak perlu terkau pikirkan perasaan orang lain, terlihat jelas bahagiamu terlalu egois untuk dibagi.
Aku pun tak terima jika nantinya aku hidup dengan seorang pematah janji;
Maka bersenang-senanglah dengan dia yang kau pilih untuk menemanimu sampai tua, hingga suatu hari nanti mendengar namaku akan membuatmu terbunuh tepat di dada.
Penyesalan akan mengerogoti perasaanmu, ucapan maaf akan kau teriakan dalam setiap doa, dan tangisan akan menyelimuti setiap malammu penuh nelangsa.
Namun sia-sia, pada hari itu rasaku padamu telah tiada.
Sebab aku memutuskan pergi, karena ternyata hatiku terlalu mulia untuk kau tinggali.
Dan bila nantinya hatimu diselimuti oleh kerinduan, menangislah karena kau telah kulupakan.
Kau mengabariku untuk datang, berkunjung pada singgasana yang membuat kalian menjadi raja dan ratu semalam.
Aku terdiam, seperti yang kau lakukan dulu saat aku mengungkapkan rasa padamu.
Bahwa sesungguhnya aku tidak terima atas segala bahagiamu, karena aku selalu yakin aku yang paling bisa membahagiakanmu.
Namun terlambat, padanya cintamu telah tertambat.
Kau tak pernah memberikan kesempatan, menjadikanku teman cerita sudah cukup membuatmu nyaman.
Sedetik saja sungguh aku ingin memilikimu, walau tak selamanya paling tidak, bisa mewarnai sebuah cerita.
Karena kini tentangmu hanyalah perih, dan penyesalan yang terucap lirih.
Isi kepalaku masih saja tentangmu, namun ketiadaanku di hatimu membuatnya pilu.
Satu hal yang masih membuatku tersenyum adalah anugerah kehormatan yang kau berikan atas hancurnya segala perasaan.
Namun tersenyum, hanya kamuflase kesedihan dari rasa sakit yang begitu ranum.
Ditemani kepulan penyesalan dari rokok yang aku bakar dengan kecemburuan, aku merayakan kepergianmu bersama air mata yang merintik bersamaan.
Di tempat berbeda pun kita bercerita, kau dan dia berpelukan dalam ikatan pernikahan,
Aku di sini berpelukan dengan kesendirian.
Cintamu resmi dia miliki, dengan segala ucapan selamat yang mengiringi kalian dalam ikatan suci.
Namun terserah, mimpiku tentangmu telah berubah.
Aku adalah secangkir teh yang kau lewatkan di lain meja, yang tak diaduk menjadi dingin dalam hambar yang sempurna.
Terlalu sering kau lupa, sering pula kau jadikan bahan bercanda, yang akhirnya kau hubungi saat tangismu mendera.
Sebelum akhirnya tenggelam ditelan diam, mulutmu hanya berbicara tentang lain pertemuan, padahal di depanmu aku melebarkan telinga menunggu jawaban.
Terkumpul kekecewaan, kau semakin tak wajar membicarakan orang lain di depan hati yang jelas-jelas mendamba kepastian.
Tak perlu terkau pikirkan perasaan orang lain, terlihat jelas bahagiamu terlalu egois untuk dibagi.
Aku pun tak terima jika nantinya aku hidup dengan seorang pematah janji;
Maka bersenang-senanglah dengan dia yang kau pilih untuk menemanimu sampai tua, hingga suatu hari nanti mendengar namaku akan membuatmu terbunuh tepat di dada.
Penyesalan akan mengerogoti perasaanmu, ucapan maaf akan kau teriakan dalam setiap doa, dan tangisan akan menyelimuti setiap malammu penuh nelangsa.
Namun sia-sia, pada hari itu rasaku padamu telah tiada.
Sebab aku memutuskan pergi, karena ternyata hatiku terlalu mulia untuk kau tinggali.
Dan bila nantinya hatimu diselimuti oleh kerinduan, menangislah karena kau telah kulupakan.