Mengenakan kemeja dan celana pendek putih, Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya, bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat, kemudian berderap ke dalam matanya yg hangat dan terang.
Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya: “Hai umatku tercinta, dlm diriku ada seorang presiden yang telah kuperintahkan utk turun tahta, sebab tubuhku terlalu lapang baginya. Hal-hal yg menyangkut pemberhentiannya, akan kubereskan sekarang juga.”
Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya. Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya, ke arah ribuan orang yg mengelu-elukannya dari seberang.
Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur. Dalam dirimu ada seorang pujangga yg tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yg ingin membangun kembali, puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yg teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden, baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya, bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat, kemudian berderap ke dalam matanya yg hangat dan terang.
Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya: “Hai umatku tercinta, dlm diriku ada seorang presiden yang telah kuperintahkan utk turun tahta, sebab tubuhku terlalu lapang baginya. Hal-hal yg menyangkut pemberhentiannya, akan kubereskan sekarang juga.”
Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya. Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya, ke arah ribuan orang yg mengelu-elukannya dari seberang.
Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur. Dalam dirimu ada seorang pujangga yg tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yg ingin membangun kembali, puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yg teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden, baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.