"Seseorang yang tepat tak selalu datang tepat waktu. Kadang ia datang setelah kau lelah disakiti oleh seseorang yang tidak tahu cara menghargaimu."
"Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan yang memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus."
"Lagi-lagi imajinasi menertawakanku karena selalu berhasil menemuimu. Sementara realitas? Dalam realitas kita berdua hanyalah dua orang yang berlari. Aku sibuk mengejarmu, kau sibuk menghindariku. Oh, tenang. Aku tidak lelah. Justru, aku menikmati prosesnya."
"Pertama kau kenal orangnya, lalu kau kenal sahabatnya, lalu kau kenal keluarganya, lalu kau menjadi bagian dari hidupnya, indah..."
"Tak perlu menyeragamkan diri dengan kebanyakan orang. Tak perlu kekinian (karena yang kekinian akan alay pada waktunya). Tak perlu repot-repot menyamakan diri dengan orang lain. Kau diciptakan untuk menjadi unik. Sudah terlalu banyak orang yang sama seperti kebanyakan orang."
"Lambat laun kusadari, beberapa rindu memang harus sembunyi-sembunyi. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat doa. Beberapa rasa memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk diutarakan, hanya untuk disyukuri keberadaannya."
"Biarlah "Apa kabar?" menjadi pengganti "Aku rindu"; "Jaga dirimu baik-baik" menjadi pengganti "Aku sayang kamu"; Tangannya menjadi pengganti tanganku untuk menuntumu. Pundaknya menjadi pengganti pundakku untukmu bersandar. Biarlah gemercik gerimis, carik senja, secangkir teh, dan bait lagu menjadi penggantimu."
"Aku tidak mahir mengejar, tapi aku tahu cara menunggumu. Aku tidak mahir berkata-kata, tapi aku tahu cara mendoakanmu. Aku tidak mahir memberi saran, tapi aku tahu cara mendengarkanmu. Aku tidak mahir melawak, tapi aku tahu cara membuatmu bahagia. Aku tidak mahir memimpin, tapi aku tahu cara menuntunmu. Aku tidak mahir untuk rela mati, tapi aku tahu cara hidup denganmu. Aku tidak tahu di mana ujung perjalanan ini, aku tidak bisa menjanjikan apapun. Tapi, selama aku mampu, mimpi-mimpi kita adalah prioritas."
Sumber: Buku "Garis Waktu" Karya Fiersa Besari.
"Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan yang memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus."
"Lagi-lagi imajinasi menertawakanku karena selalu berhasil menemuimu. Sementara realitas? Dalam realitas kita berdua hanyalah dua orang yang berlari. Aku sibuk mengejarmu, kau sibuk menghindariku. Oh, tenang. Aku tidak lelah. Justru, aku menikmati prosesnya."
"Pertama kau kenal orangnya, lalu kau kenal sahabatnya, lalu kau kenal keluarganya, lalu kau menjadi bagian dari hidupnya, indah..."
"Tak perlu menyeragamkan diri dengan kebanyakan orang. Tak perlu kekinian (karena yang kekinian akan alay pada waktunya). Tak perlu repot-repot menyamakan diri dengan orang lain. Kau diciptakan untuk menjadi unik. Sudah terlalu banyak orang yang sama seperti kebanyakan orang."
"Lambat laun kusadari, beberapa rindu memang harus sembunyi-sembunyi. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat doa. Beberapa rasa memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk diutarakan, hanya untuk disyukuri keberadaannya."
"Biarlah "Apa kabar?" menjadi pengganti "Aku rindu"; "Jaga dirimu baik-baik" menjadi pengganti "Aku sayang kamu"; Tangannya menjadi pengganti tanganku untuk menuntumu. Pundaknya menjadi pengganti pundakku untukmu bersandar. Biarlah gemercik gerimis, carik senja, secangkir teh, dan bait lagu menjadi penggantimu."
"Aku tidak mahir mengejar, tapi aku tahu cara menunggumu. Aku tidak mahir berkata-kata, tapi aku tahu cara mendoakanmu. Aku tidak mahir memberi saran, tapi aku tahu cara mendengarkanmu. Aku tidak mahir melawak, tapi aku tahu cara membuatmu bahagia. Aku tidak mahir memimpin, tapi aku tahu cara menuntunmu. Aku tidak mahir untuk rela mati, tapi aku tahu cara hidup denganmu. Aku tidak tahu di mana ujung perjalanan ini, aku tidak bisa menjanjikan apapun. Tapi, selama aku mampu, mimpi-mimpi kita adalah prioritas."
Sumber: Buku "Garis Waktu" Karya Fiersa Besari.