Basuh aku dengan percik air matamu.
Rindu akan menjentik jarum waktu
sebelum tulang usiamu bungkuk
atau tiang-tiang rumah mulai lapuk.
Ingatlah hal ini, bukan dengan hati pedih,
bukan juga kenangan bagi si mardan[1]
yang lupa rahim kampung halaman.
Maka izinkan selat itu kuseberangi
meski kelapa diparut berkali-kali, meski sedap
kuah sayur daun tumbuk, tak jua habis
mengenangmu bermangkuk-mangkuk.
Di lambungku telah kekal jerih-garammu
juga babiat yang menggaris silsilah, hulu ke hilir
yang diwarisi ayah ke jantungku dan
jejaknya bersarang. Tetapi kau menghalau
setenang suara ragu: hidup sama artinya
menghadapi pemburu. Sesaat aku tertahan,
ada sisa getir andaliman di lidah. Di jalan
setapak itu, yang berpasir dan berdebu
terluncur kakiku bagai beban seekor lembu
seakan kersik abu padi di piring melamin
digosok tanganmu yang dingin
memisahkan jamuan dari meja makan
melepaskan aku dari sebuah ucapan.
(2016)
Rindu akan menjentik jarum waktu
sebelum tulang usiamu bungkuk
atau tiang-tiang rumah mulai lapuk.
Ingatlah hal ini, bukan dengan hati pedih,
bukan juga kenangan bagi si mardan[1]
yang lupa rahim kampung halaman.
Maka izinkan selat itu kuseberangi
meski kelapa diparut berkali-kali, meski sedap
kuah sayur daun tumbuk, tak jua habis
mengenangmu bermangkuk-mangkuk.
Di lambungku telah kekal jerih-garammu
juga babiat yang menggaris silsilah, hulu ke hilir
yang diwarisi ayah ke jantungku dan
jejaknya bersarang. Tetapi kau menghalau
setenang suara ragu: hidup sama artinya
menghadapi pemburu. Sesaat aku tertahan,
ada sisa getir andaliman di lidah. Di jalan
setapak itu, yang berpasir dan berdebu
terluncur kakiku bagai beban seekor lembu
seakan kersik abu padi di piring melamin
digosok tanganmu yang dingin
memisahkan jamuan dari meja makan
melepaskan aku dari sebuah ucapan.
(2016)