I
Pada mulanya
Hanya sabda, “Hai, Aku!”
Tersamar gema
Yang bergeletar
Terdengar seperti “Kun!”
Pada telinga
Serupa telur
Sunyi pecah, menjelma
Ruh yang pertama
Di bawah bulan
Burung gagak terdiam
Terpukau dosa
Sedangkan kita
Getir menafsir waktu
Diusir takdir
“Tapi,” katamu
“Kita tak pernah siap
Dihapus senyap.”
Angin bergegas
Sebelum nujum timpas
Cemas pun tuntas
Sedingin kabut
Maut berdenyut lembut
Dan tak tersebut
Di pohon zaitun
Sepasang mata ular
Sehitam zakar
Cahaya memar
Bintang zohar
Bergeletar dan pudar
Lalu kusentuh
Namamu dengan doa
Di keheningan
Tuhan yang tak bernama
Yang berdiam di
Sabda dan dosa:
“Berikan aku
Nikmat yang kekal itu
Bukan di surga.”
“Biarkan kami
Menikmati yang dosa
Dengan bahagia.”
Bukan karena ular
Dan buah itu
Kita tergoda
Kita pilih dunia
Karena surga
Hanyalah dusta
Ke dalam peluk
Kaucoba tolak kutuk
Dan nasib buruk
“Dekaplah aku
Dan sembunyikan aku
Dalam dosaMu.”
“Sungguh, cintaku
Maut tak lebih nikmat
Dari senggama.”
II
Reranting kering
Lengking seekor anjing
Moksa ke hening
Sekukuh iman
Malaikat pun berjaga
Di gerbang surga
Sebelum lengkap ayat
Bahkan malaikat
Pun berkhianat
Kita mengingat:
Mephisto yang jatuh
Ke lembab kitab
Juga Arakiel
Yang mensucikan diri
Ke arak api
Sebab yang suci
Bukanlah yang ilahi
Tak terpahami
“Tuhan hanyalah
Yang tak ada, tetapi
Kita percaya.”
Kita bukanlah
Pemberontak pertama
Yang menyangsikan
Janganlah getir
Kita tidak terusir
Karena takdir
Maka, cintaku
Neraka hanya ada
Di ketakutan
Di jantung langit
Seiris bulan sabit
Dan sisa jerit
Detik melambat
Kukenang dalam khidmat
Yang kan terlewat
III
Kukenang kamu
Di fotosfera senja
Seindah luka
Aku melihat
Kepala bayi mati
Dalam selokan
Wajah wanita
Yang mati diperkosa
Sepucat mawar
Udara tuba
Penuh hujah
Oranng-orang berjubah
Sedang gerimis
Seperti bedak tumpah
Di langit merah
Bagai peronda
Kematian berjaga
Di sudut kota
Dan bayanganMu
Megah berjubah kubah
Sehitam Ka’bah
Seekor burung
Dengan sayap berkobar
Terbang bergegas
“Tuhan yang kudus
Kusembunyikan
Namamu dalam cemas.”
Masih telanjang
Kita memandang
Kota rungsang dan sungsang
Rasanya belum lama
Kita nikmati
Dosa pertama
Di kota kita
Dusta lebih dipuja
Dari yang dosa
Dan kau lihatlah
Tuhan dijual murah
Serta ketengan
“Jangan kautakut
Segala bisa kata
Para pendusta
Tak perlu kaujeritkan
Kecemasanmu
Ke dalam doa.
Sentuhkan saja
Tangan lembutmu itu
Pada cahaya
Dekatkanlah jantungmu
Sedekat detak
Jantungku, Cinta.”
(2013)
Sumber: Wordpress 2013.
Pada mulanya
Hanya sabda, “Hai, Aku!”
Tersamar gema
Yang bergeletar
Terdengar seperti “Kun!”
Pada telinga
Serupa telur
Sunyi pecah, menjelma
Ruh yang pertama
Di bawah bulan
Burung gagak terdiam
Terpukau dosa
Sedangkan kita
Getir menafsir waktu
Diusir takdir
“Tapi,” katamu
“Kita tak pernah siap
Dihapus senyap.”
Angin bergegas
Sebelum nujum timpas
Cemas pun tuntas
Sedingin kabut
Maut berdenyut lembut
Dan tak tersebut
Di pohon zaitun
Sepasang mata ular
Sehitam zakar
Cahaya memar
Bintang zohar
Bergeletar dan pudar
Lalu kusentuh
Namamu dengan doa
Di keheningan
Tuhan yang tak bernama
Yang berdiam di
Sabda dan dosa:
“Berikan aku
Nikmat yang kekal itu
Bukan di surga.”
“Biarkan kami
Menikmati yang dosa
Dengan bahagia.”
Bukan karena ular
Dan buah itu
Kita tergoda
Kita pilih dunia
Karena surga
Hanyalah dusta
Ke dalam peluk
Kaucoba tolak kutuk
Dan nasib buruk
“Dekaplah aku
Dan sembunyikan aku
Dalam dosaMu.”
“Sungguh, cintaku
Maut tak lebih nikmat
Dari senggama.”
II
Reranting kering
Lengking seekor anjing
Moksa ke hening
Sekukuh iman
Malaikat pun berjaga
Di gerbang surga
Sebelum lengkap ayat
Bahkan malaikat
Pun berkhianat
Kita mengingat:
Mephisto yang jatuh
Ke lembab kitab
Juga Arakiel
Yang mensucikan diri
Ke arak api
Sebab yang suci
Bukanlah yang ilahi
Tak terpahami
“Tuhan hanyalah
Yang tak ada, tetapi
Kita percaya.”
Kita bukanlah
Pemberontak pertama
Yang menyangsikan
Janganlah getir
Kita tidak terusir
Karena takdir
Maka, cintaku
Neraka hanya ada
Di ketakutan
Di jantung langit
Seiris bulan sabit
Dan sisa jerit
Detik melambat
Kukenang dalam khidmat
Yang kan terlewat
III
Kukenang kamu
Di fotosfera senja
Seindah luka
Aku melihat
Kepala bayi mati
Dalam selokan
Wajah wanita
Yang mati diperkosa
Sepucat mawar
Udara tuba
Penuh hujah
Oranng-orang berjubah
Sedang gerimis
Seperti bedak tumpah
Di langit merah
Bagai peronda
Kematian berjaga
Di sudut kota
Dan bayanganMu
Megah berjubah kubah
Sehitam Ka’bah
Seekor burung
Dengan sayap berkobar
Terbang bergegas
“Tuhan yang kudus
Kusembunyikan
Namamu dalam cemas.”
Masih telanjang
Kita memandang
Kota rungsang dan sungsang
Rasanya belum lama
Kita nikmati
Dosa pertama
Di kota kita
Dusta lebih dipuja
Dari yang dosa
Dan kau lihatlah
Tuhan dijual murah
Serta ketengan
“Jangan kautakut
Segala bisa kata
Para pendusta
Tak perlu kaujeritkan
Kecemasanmu
Ke dalam doa.
Sentuhkan saja
Tangan lembutmu itu
Pada cahaya
Dekatkanlah jantungmu
Sedekat detak
Jantungku, Cinta.”
(2013)
Sumber: Wordpress 2013.