Di sebuah perpustakaan
di sebuah penderitaan
seorang-orang tua
resah tersandar ke kaca meja. Ia tak bermahkota
dan aku tak mengenalnya,
tapi ku beri ia tabik
dan kami pun ke jalan-jalan raya.
Lihatlah, Karl, kemerdekaan ini diperjuangkan
dengan empat lobang kantong
yang pipih kosong
dan seorang anak yang menggantung mati kelaparan.
Hari itu kita masih ingat: tulisan cakar-ayam
di sebuah buku lusuh
yang ditinggalkan orang:
Bersatulah buruh dunia, bersatulah!
Kita yang dimiskinkan...
Kita melihat jam besar di dinding pabrik itu
gemetar
dan buruh-buruh yang pucat
penyap tersandar.
Kemarin tidak pernah kita rancangkan kehidupan
tapi hari ini adalah lain:
Dunia telah terlepas dari hambatan yang abadi, terasing
dari hukum hari tadi.
Daulat telah diserahkan
kepada kehidupan
dan bumi adalah takhta maha baik
yang dimenangkan.
Banyak lagi yang akan dikerjakan
setelah sepanjang jalan
orang bertempur
tanpa pembunuhan
Biarlah pasukan ini tersaruk-saruk, dalam lumpur
dan menembak. Di sana tak ada Musuh dan Dendam.
Tinggal penyaliban.
Sebab kita tak akan bikin pahlawan-pahlawan
dan prajurit timah
dalam impian.
Sebab jumlah kita banyak dan kapan saja
manusia bangkit tiap hari.
Hari ini terkabar
seorang raja turun dari takhta
menyebrangi selat, dan memacu kudanya ke angkasa.
Hari ini baginya tidak ada lagi remah roti:
tinggal perdamaian ditawarkan dari langit
ke atas tanah, bumi yang berdandan
Rakyat pun kini bersembahyang di dalam hari
sebelum Tuhan
kita arcakan.
Dan daun-daun alam yang runtuh ke ubun-ubunnya
memahkotainya
dalam Cinta.
Esok hari mungkin salah seorang dari kita
berkhianat
dan merancangkan Kiamat lagi. Nanti malam
ia akan merangkak ke jendela, membunuh kita.
Tapi kita masih punya anak-anak, beribu generasi:
hakim-hakim kita yang akan melemparkan kita
dalam peti museum
Tidak apa.
Karena mereka adalah setia, sedang kita tak lagi setia
dan tak lagi bisa rindu.
Di dalam mausoleumnya Stalin pun rindu
dan menggaritkan kakinya menulis sajak.
Di luar kaca ia melihat bumi, bumi yang bersalju:
sepi, sepi ... tak beranjak.
Tapi adakah ia mengerti
bahwa ia telah terlambat semalam tadi
sebab di pagi itu
serombongan anak-anak muda
datang mengangkat tubuhnya, dari sini:
dan sajak di hatinya
tak pernah diselesaikan
seperti Fir'aun
di tengah Laut Merah
tak juga selesai: Ilahi, Ilahi, Ilahi ...
Maka marilah bicara dari kesunyian dan kelaparan
karena keduanyalah senantiasa
milik kita.
Sebelum terlambat.
Seperti di pagi ini
ketika seseorang membacakan sajak-sajak
bagi anak-anak muda di dunia,
karena mereka adalah setia, wakil sunyi dan lapar
semesta kita.
Demikianlah dahulu
ketika aku bertemu
dengan seseorang-orang tua
yang resah tersandar ke kaca meja, yang tak bermahkota
tapi kuberi tabik
sebagai sahabatnya.
(1964)
di sebuah penderitaan
seorang-orang tua
resah tersandar ke kaca meja. Ia tak bermahkota
dan aku tak mengenalnya,
tapi ku beri ia tabik
dan kami pun ke jalan-jalan raya.
Lihatlah, Karl, kemerdekaan ini diperjuangkan
dengan empat lobang kantong
yang pipih kosong
dan seorang anak yang menggantung mati kelaparan.
Hari itu kita masih ingat: tulisan cakar-ayam
di sebuah buku lusuh
yang ditinggalkan orang:
Bersatulah buruh dunia, bersatulah!
Kita yang dimiskinkan...
Kita melihat jam besar di dinding pabrik itu
gemetar
dan buruh-buruh yang pucat
penyap tersandar.
Kemarin tidak pernah kita rancangkan kehidupan
tapi hari ini adalah lain:
Dunia telah terlepas dari hambatan yang abadi, terasing
dari hukum hari tadi.
Daulat telah diserahkan
kepada kehidupan
dan bumi adalah takhta maha baik
yang dimenangkan.
Banyak lagi yang akan dikerjakan
setelah sepanjang jalan
orang bertempur
tanpa pembunuhan
Biarlah pasukan ini tersaruk-saruk, dalam lumpur
dan menembak. Di sana tak ada Musuh dan Dendam.
Tinggal penyaliban.
Sebab kita tak akan bikin pahlawan-pahlawan
dan prajurit timah
dalam impian.
Sebab jumlah kita banyak dan kapan saja
manusia bangkit tiap hari.
Hari ini terkabar
seorang raja turun dari takhta
menyebrangi selat, dan memacu kudanya ke angkasa.
Hari ini baginya tidak ada lagi remah roti:
tinggal perdamaian ditawarkan dari langit
ke atas tanah, bumi yang berdandan
Rakyat pun kini bersembahyang di dalam hari
sebelum Tuhan
kita arcakan.
Dan daun-daun alam yang runtuh ke ubun-ubunnya
memahkotainya
dalam Cinta.
Esok hari mungkin salah seorang dari kita
berkhianat
dan merancangkan Kiamat lagi. Nanti malam
ia akan merangkak ke jendela, membunuh kita.
Tapi kita masih punya anak-anak, beribu generasi:
hakim-hakim kita yang akan melemparkan kita
dalam peti museum
Tidak apa.
Karena mereka adalah setia, sedang kita tak lagi setia
dan tak lagi bisa rindu.
Di dalam mausoleumnya Stalin pun rindu
dan menggaritkan kakinya menulis sajak.
Di luar kaca ia melihat bumi, bumi yang bersalju:
sepi, sepi ... tak beranjak.
Tapi adakah ia mengerti
bahwa ia telah terlambat semalam tadi
sebab di pagi itu
serombongan anak-anak muda
datang mengangkat tubuhnya, dari sini:
dan sajak di hatinya
tak pernah diselesaikan
seperti Fir'aun
di tengah Laut Merah
tak juga selesai: Ilahi, Ilahi, Ilahi ...
Maka marilah bicara dari kesunyian dan kelaparan
karena keduanyalah senantiasa
milik kita.
Sebelum terlambat.
Seperti di pagi ini
ketika seseorang membacakan sajak-sajak
bagi anak-anak muda di dunia,
karena mereka adalah setia, wakil sunyi dan lapar
semesta kita.
Demikianlah dahulu
ketika aku bertemu
dengan seseorang-orang tua
yang resah tersandar ke kaca meja, yang tak bermahkota
tapi kuberi tabik
sebagai sahabatnya.
(1964)