Dengan pakaian berwarna kita bergaya.
Beriring dalam barisan bebek.
Kita kembali sebagai anak pada karnaval hari-hari besar.
Wajah bercahaya mulut penuh gula-gula.
Hari-hari tinggal canda
Siapa punya air mata?
Di sini tak ada kata bernama duka.
Mimpi dan imaji mengalahkan luka derita ibarat bahasa karangan bunga.
Kepedihan hanya milik pejuang di medan perang.
Kesedihan melayang.
Dunia dihiasi lampu dan umbul-umbul pesta terus dirayakan.
Karnaval masih berjalan parade bergerak lamban.
Penyair memilih diam:
Siapa punya air mata? Siapa lebih suka tangisan?
(1995)
Sumber: “Penunggu Makam” (Pustaka Jaya, 2003)
Beriring dalam barisan bebek.
Kita kembali sebagai anak pada karnaval hari-hari besar.
Wajah bercahaya mulut penuh gula-gula.
Hari-hari tinggal canda
Siapa punya air mata?
Di sini tak ada kata bernama duka.
Mimpi dan imaji mengalahkan luka derita ibarat bahasa karangan bunga.
Kepedihan hanya milik pejuang di medan perang.
Kesedihan melayang.
Dunia dihiasi lampu dan umbul-umbul pesta terus dirayakan.
Karnaval masih berjalan parade bergerak lamban.
Penyair memilih diam:
Siapa punya air mata? Siapa lebih suka tangisan?
(1995)
Sumber: “Penunggu Makam” (Pustaka Jaya, 2003)