di dada udara, mulailah ia berkayuh
meniti daun-daun, gelombang musim dan cuaca
membawanya mendaki dan menurun; bintik-bintik sinar lentera
berpijar di bulir embun, dan iapun bernyanyi, menabuh dinding-dinding batu
“wahai, suara itu, begitu merdu meliku antara rusuk ranting bambu”
dalam malam, dihimbaunya purnama, cahaya telungkup
di atas alunan gendang kecapi: “puji syukur ya Allah”
suara-suara tengadah, antara kabut, menjengkal jalan yang islah
berdiri di satu sudut, hijau pemandangan ditebal lumut
di sini, di kaki lembah cahaya yang putih, pohon-pohon bertasbih
dan angin; suaranya timbul tenggelam, pelayaran kian jauh
menembus warna-warna musim, di kelopak hari-hari yang tenang
“wahai, betapa anggun: suaramu menyulam jiwaku gurun!”
maka iapun terus merayap, ke gunung-gunung paling sunyi
tapal dari seluruh pengembaraan
amsal dari segala gerak perjalanan
“wahai, dalam telaga dermagamu, aku jalin dendangmu!”
dan angin tersipu; memisahkan mimpi dengan waktu
dalam hidup, sepanjang tidurku.
(Dangau: Ramadhan, 11)
meniti daun-daun, gelombang musim dan cuaca
membawanya mendaki dan menurun; bintik-bintik sinar lentera
berpijar di bulir embun, dan iapun bernyanyi, menabuh dinding-dinding batu
“wahai, suara itu, begitu merdu meliku antara rusuk ranting bambu”
dalam malam, dihimbaunya purnama, cahaya telungkup
di atas alunan gendang kecapi: “puji syukur ya Allah”
suara-suara tengadah, antara kabut, menjengkal jalan yang islah
berdiri di satu sudut, hijau pemandangan ditebal lumut
di sini, di kaki lembah cahaya yang putih, pohon-pohon bertasbih
dan angin; suaranya timbul tenggelam, pelayaran kian jauh
menembus warna-warna musim, di kelopak hari-hari yang tenang
“wahai, betapa anggun: suaramu menyulam jiwaku gurun!”
maka iapun terus merayap, ke gunung-gunung paling sunyi
tapal dari seluruh pengembaraan
amsal dari segala gerak perjalanan
“wahai, dalam telaga dermagamu, aku jalin dendangmu!”
dan angin tersipu; memisahkan mimpi dengan waktu
dalam hidup, sepanjang tidurku.
(Dangau: Ramadhan, 11)