Waktu itu, kita duduk berduadi sebuah kedai.
Kupilih kedai tersebut, karena harga makanannya yang cocok dengan kantongku yang tipis.
Sepi, cuma ada beberapa pengunjung.
Obrolan kita diiringi lagu Bon Iver.
Aku yang banyak bicara, dan kau yang diam saja.
Aku yang tampil gugup, dan kau yang seolah cuek.
Tapi yang pasti, tidak ada hp di antara kita.
Hanya ada mata kita yang beradu, yang sesekali salah tingkah, kemudian menoleh ke arah lain.
Kita gibah perihal artis-artis ibu kota, yang tampil dengan angkuhnya.
Padahal kurasa, bukan mereka yang angkuh.
Kita saja yang iri.
Asap rokok berembus di sela canda.
Menguap ke angkasa yang mulai merah.
Tumben, langit cantik.
Biasanya kota ini muram.
Tapi, aku tidak begitu peduli dengan senja-senjaan.
Ada kau di depanku, apa yang lebih cantik dari itu?
Kau memintaku untuk bercerita lagi tentang Che Guevara, atau teori konspirasi: Kematian Hitler, Kurt Cobain yang tidak pernah benar-benar bunuh diri, CIA di balik tragedi 1965.
katamu, apapun itu, kau akan mendengarkan, walau tidak terlalu mengerti.
Yang terpenting, kita berbagi cerita, itu sudah lebih dari cukup.
Kemudian kita berdiri, keluar, menyusuri trotoar.
Tanganmu di dalam tanganku, langkahku menuntun langkahmu.
Kau tahu?
Aku merasa jadi manusia paling beruntung.
Tidak perlu jauh-jauh menyambangi gunung tertinggi, atau laut terdalam.
Denganmu, di jalanan kumuh sekalipun, sudah terasa indah buatku.
Kupasangkan helm-mu.
Kita naik motor tuaku.
Meski tidak bisa ngebut, kau melingkarkan tanganmu di perutku.
Kau berusaha menyandarkan kepala di punggungku,
membuat kepalaku harus miring karena helm kita beradu.
Biarpun pegal, tidak apa-apa.
Lalu kugaruk lututmu sembari melihat wajahmu di spion motor.
Kau tersenyum.
Kita melaju melintasi kota, menyeberangi sore, hingga langit berubah gelap.
Ciuman pertama kita, kau ingat?
Tidak diiringi kembang api, atau sorak-sorai kemenangan layaknya di film-film.
Hanya ada kau, aku, televisi yang menyala, juga alunan lagu seorang musisi yang sedang merintis karier.
Tapi, kita berdua sadar debarannya sekencang apa.
Kita tidak perlu mengucap apapun, sejak saat itu, kau dan aku tahu bahwa kita ditakdirkan bersama.
Tahun demi tahun berlalu.
Kita sudah banyak berubah.
Layaknya manusia biasa, kita melewati rasa jenuh,
kecewa, patah hati, pengkhianatan.
Semua pertengkaran itu, semua amarah dan tangis.
Kadang, aku ingin mengakhiri segalanya dan pergi,
jauh pergi.
Tapi, entah bagaimana,
aku selalu yakin kau adalah rumah, tempat aku pulang.
Segala yang hancur akan pulih jika kita berdua
yang menyusun kembali puing demi puing.
Dan aku tidak bisa melakukannya sendirian.
Aku tahu, kau pun butuh aku.
Kita sudah banyak berubah.
Tapi satu hal yang pasti, perasaan untukmu hanya bisa bertambah,
dan terus bertambah.
Percayalah, semuanya akan baik-baik saja.
Kita memiliki kita.
Kupilih kedai tersebut, karena harga makanannya yang cocok dengan kantongku yang tipis.
Sepi, cuma ada beberapa pengunjung.
Obrolan kita diiringi lagu Bon Iver.
Aku yang banyak bicara, dan kau yang diam saja.
Aku yang tampil gugup, dan kau yang seolah cuek.
Tapi yang pasti, tidak ada hp di antara kita.
Hanya ada mata kita yang beradu, yang sesekali salah tingkah, kemudian menoleh ke arah lain.
Kita gibah perihal artis-artis ibu kota, yang tampil dengan angkuhnya.
Padahal kurasa, bukan mereka yang angkuh.
Kita saja yang iri.
Asap rokok berembus di sela canda.
Menguap ke angkasa yang mulai merah.
Tumben, langit cantik.
Biasanya kota ini muram.
Tapi, aku tidak begitu peduli dengan senja-senjaan.
Ada kau di depanku, apa yang lebih cantik dari itu?
Kau memintaku untuk bercerita lagi tentang Che Guevara, atau teori konspirasi: Kematian Hitler, Kurt Cobain yang tidak pernah benar-benar bunuh diri, CIA di balik tragedi 1965.
katamu, apapun itu, kau akan mendengarkan, walau tidak terlalu mengerti.
Yang terpenting, kita berbagi cerita, itu sudah lebih dari cukup.
Kemudian kita berdiri, keluar, menyusuri trotoar.
Tanganmu di dalam tanganku, langkahku menuntun langkahmu.
Kau tahu?
Aku merasa jadi manusia paling beruntung.
Tidak perlu jauh-jauh menyambangi gunung tertinggi, atau laut terdalam.
Denganmu, di jalanan kumuh sekalipun, sudah terasa indah buatku.
Kupasangkan helm-mu.
Kita naik motor tuaku.
Meski tidak bisa ngebut, kau melingkarkan tanganmu di perutku.
Kau berusaha menyandarkan kepala di punggungku,
membuat kepalaku harus miring karena helm kita beradu.
Biarpun pegal, tidak apa-apa.
Lalu kugaruk lututmu sembari melihat wajahmu di spion motor.
Kau tersenyum.
Kita melaju melintasi kota, menyeberangi sore, hingga langit berubah gelap.
Ciuman pertama kita, kau ingat?
Tidak diiringi kembang api, atau sorak-sorai kemenangan layaknya di film-film.
Hanya ada kau, aku, televisi yang menyala, juga alunan lagu seorang musisi yang sedang merintis karier.
Tapi, kita berdua sadar debarannya sekencang apa.
Kita tidak perlu mengucap apapun, sejak saat itu, kau dan aku tahu bahwa kita ditakdirkan bersama.
Tahun demi tahun berlalu.
Kita sudah banyak berubah.
Layaknya manusia biasa, kita melewati rasa jenuh,
kecewa, patah hati, pengkhianatan.
Semua pertengkaran itu, semua amarah dan tangis.
Kadang, aku ingin mengakhiri segalanya dan pergi,
jauh pergi.
Tapi, entah bagaimana,
aku selalu yakin kau adalah rumah, tempat aku pulang.
Segala yang hancur akan pulih jika kita berdua
yang menyusun kembali puing demi puing.
Dan aku tidak bisa melakukannya sendirian.
Aku tahu, kau pun butuh aku.
Kita sudah banyak berubah.
Tapi satu hal yang pasti, perasaan untukmu hanya bisa bertambah,
dan terus bertambah.
Percayalah, semuanya akan baik-baik saja.
Kita memiliki kita.