Aku tengah mengaduk sesak sembari mengiris senja di pelantaran logika.
Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyummu yang dulu biasa kini tiada.
Menggantung hebat penasaran yang terbias tenggelamnya kehadiran, kini adanya hanya bisa tergambar oleh mimpi dan lamunan.
Rona jingga pun menyingkap langit, waktu memukulku seraya membisikkan kenyataan pahit, bahwa...
Kau mencintainya.
Kau bahagia dengannya.
Padamu kepergian, inikah sepenggal rasa di bebunyian sangkakala.
Langit mementahkan gemuruh, ketiadaanmu membuatku semakin rapuh.
Langkahpun melupakan pijakan, harapku tertatih dimakan penyesalan.
Merayap tanpa ampun mengunci segala embun.
Pagi tak akan pernah cerah tanpa ucapan pemulai harimu, dan malam tak pernah anggun tanpa bisikan lembut dari bibir mungilmu.
Aku merindukanmu bagai hujan yang merindukan pelangi, iya menyebar indah menyelimuti bumi dengan aku satu-satunya cahaya yang berpendar menjadikannya warna.
Sebelum akhirnya aku terhentak, secuil kangen yang terbalas pun tidak, itu karena...
Kau mencintainya.
Kau bahagia dengannya.
Ketiadaanmu mengisi sepi, mengurai segala warasku hingga kegilaan menyelimuti.
Bersamamu hitungan waktu hanyalah omong kosong, bahkan rotasi bumi terhenti hingga semesta berteriak minta tolong.
Sebab jarum jam terlalu cemburu melihat senyummu, tanpa celah duka, mengeja setiap pelukanku, tanpa sesal percuma.
Aku masih ingat rengekan manjamu kala memintaku tak lekas pergi, dan bagaimana bisa aku menolak itu?
Cinta adalah alasan bertahan, walau rasa sakit semakin tak tertahankan.
Karena kamu adalah bahagiaku, menjadi teman hidupmu adalah selayaknya tugasku. Hingga akhirnya...
Kau mencintainya.
Kau bahagia dengannya.
Paru-paruku sesak akibat tiada lagi sisa kehadiranmu yang bisa aku hirup.
Kabar tentangmu hanya membuat cemburu semakin meletup.
Hatiku berpijar menyala, membakar semua janji manismu di awal cerita kita.
Mengurai duka, ketiadaanmu menggiring hatiku pada setiap luka.
Membekas atas nama tidak terima, jeratan sesal mengepung seiring kepergianmu kerelung hatinya.
Melihatmu, pemandangan terindah yang membuat hatiku semakin berdarah.
Mendengarmu, alunan nada paling merdu membuas cuaca semakin sendu. Mengingatmu, penyiksaan terbaik yang membuat air mata deras menitik.
Meraba pelukanmu, cambukan teristimewa membuat ragaku sakit oleh kecewa.
Merapal jejakmu, langkah paling tepat menginjak lara yang semakin pekat.
Dan mengikhlaskan kepergianmu, sebuah prestasi yang masih sebatas mimpi.
Sebab seribu pelukan akan tetap menguap dihadapkan sebuah kepergian.
Tuhan, bila mendambanya adalah sebuah sakit, maka jangan pernah beri aku sembuh.
Bila menyayanginya adalah kesalahan, maka jangan pernah tunjukkan aku sebuah kebenaran.
Bila mencintainya adalah sebuah dosa, maka berikan tempat terindah bagiku di neraka.
Berbahagialah dalam janjimu, wahai hati yang tak pernah bisa aku miliki.
Selamat menempuh hubunganmu dengannya, dari aku yang gagal untuk mempertahankanmu.
Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyummu yang dulu biasa kini tiada.
Menggantung hebat penasaran yang terbias tenggelamnya kehadiran, kini adanya hanya bisa tergambar oleh mimpi dan lamunan.
Rona jingga pun menyingkap langit, waktu memukulku seraya membisikkan kenyataan pahit, bahwa...
Kau mencintainya.
Kau bahagia dengannya.
Padamu kepergian, inikah sepenggal rasa di bebunyian sangkakala.
Langit mementahkan gemuruh, ketiadaanmu membuatku semakin rapuh.
Langkahpun melupakan pijakan, harapku tertatih dimakan penyesalan.
Merayap tanpa ampun mengunci segala embun.
Pagi tak akan pernah cerah tanpa ucapan pemulai harimu, dan malam tak pernah anggun tanpa bisikan lembut dari bibir mungilmu.
Aku merindukanmu bagai hujan yang merindukan pelangi, iya menyebar indah menyelimuti bumi dengan aku satu-satunya cahaya yang berpendar menjadikannya warna.
Sebelum akhirnya aku terhentak, secuil kangen yang terbalas pun tidak, itu karena...
Kau mencintainya.
Kau bahagia dengannya.
Ketiadaanmu mengisi sepi, mengurai segala warasku hingga kegilaan menyelimuti.
Bersamamu hitungan waktu hanyalah omong kosong, bahkan rotasi bumi terhenti hingga semesta berteriak minta tolong.
Sebab jarum jam terlalu cemburu melihat senyummu, tanpa celah duka, mengeja setiap pelukanku, tanpa sesal percuma.
Aku masih ingat rengekan manjamu kala memintaku tak lekas pergi, dan bagaimana bisa aku menolak itu?
Cinta adalah alasan bertahan, walau rasa sakit semakin tak tertahankan.
Karena kamu adalah bahagiaku, menjadi teman hidupmu adalah selayaknya tugasku. Hingga akhirnya...
Kau mencintainya.
Kau bahagia dengannya.
Paru-paruku sesak akibat tiada lagi sisa kehadiranmu yang bisa aku hirup.
Kabar tentangmu hanya membuat cemburu semakin meletup.
Hatiku berpijar menyala, membakar semua janji manismu di awal cerita kita.
Mengurai duka, ketiadaanmu menggiring hatiku pada setiap luka.
Membekas atas nama tidak terima, jeratan sesal mengepung seiring kepergianmu kerelung hatinya.
Melihatmu, pemandangan terindah yang membuat hatiku semakin berdarah.
Mendengarmu, alunan nada paling merdu membuas cuaca semakin sendu. Mengingatmu, penyiksaan terbaik yang membuat air mata deras menitik.
Meraba pelukanmu, cambukan teristimewa membuat ragaku sakit oleh kecewa.
Merapal jejakmu, langkah paling tepat menginjak lara yang semakin pekat.
Dan mengikhlaskan kepergianmu, sebuah prestasi yang masih sebatas mimpi.
Sebab seribu pelukan akan tetap menguap dihadapkan sebuah kepergian.
Tuhan, bila mendambanya adalah sebuah sakit, maka jangan pernah beri aku sembuh.
Bila menyayanginya adalah kesalahan, maka jangan pernah tunjukkan aku sebuah kebenaran.
Bila mencintainya adalah sebuah dosa, maka berikan tempat terindah bagiku di neraka.
Berbahagialah dalam janjimu, wahai hati yang tak pernah bisa aku miliki.
Selamat menempuh hubunganmu dengannya, dari aku yang gagal untuk mempertahankanmu.