Inilah tangan seorang mahasiswa,
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu:
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor.
(TIM, 3 Juli 1977)
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu:
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor.
(TIM, 3 Juli 1977)