Hatiku terbaring telanjang di meja
di atas piring
di samping pisau, senduk, dan garpu,
selagi aku duduk di kursi putih
dengan koran tak bisa dibaca
di pangkuanku.
Pintu balkon yang terbuka
menampakkan terali yang hitam
serta langit yang tua renta.
Bayangan gelas dan teko porselin
dipantulkan kaca pintu.
Kemudian nampak pula diriku;
Wajahku yang sepi setelah dicuci,
hatiku yang rewel dan manja.
Siapa pula aku tunggu?
Siapa atau apa?
Perawat datang dengan wajah yang heran.
Ia menggelengkan kepala:
"Kamerad tak makan?
"Lyuda, aku tak bisa makan.
Tak bisa kumakan wajah kekasih
tak bisa kuminum ibuku bersama susu
dan tak bisa kuusap mata adik dengan mentega!"
Ia mengangkat bahu dan bertanya.
Ah, ia toh tak tahu bahasa rindu!
Apabila ia lenyap dari pintu
dengan langkah lunak di atas permadani
ia tak akan tahu
bahwa waktu pernah beku dan berhenti
segala bunyi dan warna tanpa makna
dan bahkan
bagi mimpi, duka, derita, maupun kebahagiaan
tak ada pintu yang membuka.
di atas piring
di samping pisau, senduk, dan garpu,
selagi aku duduk di kursi putih
dengan koran tak bisa dibaca
di pangkuanku.
Pintu balkon yang terbuka
menampakkan terali yang hitam
serta langit yang tua renta.
Bayangan gelas dan teko porselin
dipantulkan kaca pintu.
Kemudian nampak pula diriku;
Wajahku yang sepi setelah dicuci,
hatiku yang rewel dan manja.
Siapa pula aku tunggu?
Siapa atau apa?
Perawat datang dengan wajah yang heran.
Ia menggelengkan kepala:
"Kamerad tak makan?
"Lyuda, aku tak bisa makan.
Tak bisa kumakan wajah kekasih
tak bisa kuminum ibuku bersama susu
dan tak bisa kuusap mata adik dengan mentega!"
Ia mengangkat bahu dan bertanya.
Ah, ia toh tak tahu bahasa rindu!
Apabila ia lenyap dari pintu
dengan langkah lunak di atas permadani
ia tak akan tahu
bahwa waktu pernah beku dan berhenti
segala bunyi dan warna tanpa makna
dan bahkan
bagi mimpi, duka, derita, maupun kebahagiaan
tak ada pintu yang membuka.