Timur, Timur Langit, anakku.
Ini Ayahmu, sedang sendiri di Ohlala. Sedang tiba-tiba inget kamu. Inget puisi yang kamu bikin kemarin lusa. Puisi yang kamu bikin untuk tugas PR sekolahmu. Kamu bikin sendiri dan kemudian kamu kasih ayah lihat.
Ayah ketawa membaca puisimu itu, ibu juga sama ketawa ya. Lalu Ayah bilang ke kamu dan juga kepada ibumu: “Ini Puisi”. Puisi yang bagus, pasti dapat nilai bagus. Lalu kamu senang atau Ayah lihat kamu seperti senang.
Wahai Timur, seandainya kamu bisa membaca perasaan orang, pada saat itu ayah sangat sedang terpesona oleh puisimu. Bukan karena ayah bapakmu, bahkan jika yang bikin puisinya anak musuh Ayah, Ayah juga akan dirundung perasaan yang sama.
Lalu kamu simpan buku yang ada puisimu itu, ke dalam tas sekolahmu. Kamu tidur lekas-lekas. Tidur dengan seolah-olah berharap pagi bisa lekas akan datang, karena ingin segera pergi sekolah, untuk segera kamu perlihatkan puisimu itu kepada gurumu. Guru Bahasa Indonesiamu. Ini Ayah tulis lagi puisimu di sini:
AYAMKU.
Aku punya ayam lima.
Yang satu betina
Yang satu lagi jantan
Yang satu lagi digoreng
Yang satu lagi ulang tahun
Yang satu lagi sedang flu.
Sekarang Ayah di sini, di tempat Ayah harus menunggu kawan Ayah yang janji jumpa. Ayah sedang ketawa tetapi juga sekaligus sedih. Ketawa, karena Ayah terkenang kembali akan kalimat puisimu. Sedih, karena Ayah tahu ternyata puisi kamu dapat nilai lima setengah.
katamu, mengadu kepada Ayah, gurumu bilang itu bukan puisi. Oh, Timur, kamu tahu? Setelah itu Ayah sedih? Dan juga kuatir bahwa kamu akan menuduh ayah sudah bohong karena kemarin Ayah bilang :”Ini Puisi” dan bagus. Tidak, Timur, jujur, Ayah jujur, itu puisi. Ayah serius.
Ayah tidak tahu harus bilang apa pada waktu Ayah melihat matamu seperti kecewa, meskipun kemudian akhirnya bisa kamu lupakan dengan gembira bermain PS. Tapi Ayah tiba-tiba seperti bisa mendengar bahwa seolah-olah kamu berkata: “Wahai Alam Raya, saksikanlah, ini aku, kini sudah tahu, ternyata hanya bisa bermain game, tidak bisa bikin puisi. Dan maaf, juga sekarang kau harus tahu, aku tidak suka puisi”.
Timur, Timurku, Ayah tahu nilai bukan hal utama yang paling penting. Tapi, Timur, kamu masih kecil untuk bisa memahaminya. Kamu harus tahu bagaimana Ayah sekarang di sini, iya, Timur, Ayah sedang merasa seolah-olah hanya ayah saja, di dunia ini, yang lagi lesu karena sedih dan kecewa.
Ini Ayahmu, sedang sendiri di Ohlala. Sedang tiba-tiba inget kamu. Inget puisi yang kamu bikin kemarin lusa. Puisi yang kamu bikin untuk tugas PR sekolahmu. Kamu bikin sendiri dan kemudian kamu kasih ayah lihat.
Ayah ketawa membaca puisimu itu, ibu juga sama ketawa ya. Lalu Ayah bilang ke kamu dan juga kepada ibumu: “Ini Puisi”. Puisi yang bagus, pasti dapat nilai bagus. Lalu kamu senang atau Ayah lihat kamu seperti senang.
Wahai Timur, seandainya kamu bisa membaca perasaan orang, pada saat itu ayah sangat sedang terpesona oleh puisimu. Bukan karena ayah bapakmu, bahkan jika yang bikin puisinya anak musuh Ayah, Ayah juga akan dirundung perasaan yang sama.
Lalu kamu simpan buku yang ada puisimu itu, ke dalam tas sekolahmu. Kamu tidur lekas-lekas. Tidur dengan seolah-olah berharap pagi bisa lekas akan datang, karena ingin segera pergi sekolah, untuk segera kamu perlihatkan puisimu itu kepada gurumu. Guru Bahasa Indonesiamu. Ini Ayah tulis lagi puisimu di sini:
AYAMKU.
Aku punya ayam lima.
Yang satu betina
Yang satu lagi jantan
Yang satu lagi digoreng
Yang satu lagi ulang tahun
Yang satu lagi sedang flu.
Sekarang Ayah di sini, di tempat Ayah harus menunggu kawan Ayah yang janji jumpa. Ayah sedang ketawa tetapi juga sekaligus sedih. Ketawa, karena Ayah terkenang kembali akan kalimat puisimu. Sedih, karena Ayah tahu ternyata puisi kamu dapat nilai lima setengah.
katamu, mengadu kepada Ayah, gurumu bilang itu bukan puisi. Oh, Timur, kamu tahu? Setelah itu Ayah sedih? Dan juga kuatir bahwa kamu akan menuduh ayah sudah bohong karena kemarin Ayah bilang :”Ini Puisi” dan bagus. Tidak, Timur, jujur, Ayah jujur, itu puisi. Ayah serius.
Ayah tidak tahu harus bilang apa pada waktu Ayah melihat matamu seperti kecewa, meskipun kemudian akhirnya bisa kamu lupakan dengan gembira bermain PS. Tapi Ayah tiba-tiba seperti bisa mendengar bahwa seolah-olah kamu berkata: “Wahai Alam Raya, saksikanlah, ini aku, kini sudah tahu, ternyata hanya bisa bermain game, tidak bisa bikin puisi. Dan maaf, juga sekarang kau harus tahu, aku tidak suka puisi”.
Timur, Timurku, Ayah tahu nilai bukan hal utama yang paling penting. Tapi, Timur, kamu masih kecil untuk bisa memahaminya. Kamu harus tahu bagaimana Ayah sekarang di sini, iya, Timur, Ayah sedang merasa seolah-olah hanya ayah saja, di dunia ini, yang lagi lesu karena sedih dan kecewa.