Datang sebuah surat magrib tadi
Tertera di muka: untuk penyair dari gerimis
Mungkin surat ini datang agak terlambat
Si pengantar tadi meminta maaf
Kuseruput teh yang masih mengepul di pinggir kasur
berebut hangat dengan cuaca yang kian dingin
Dan surat darinya kubaca:
Penyair, maaf mungkin agak terlambat kau menerima ini
namun bila kau masih ingat
tentulah ini tak bisa disebut terlambat
Seperti di tahun-tahun sebelumnya
kau diundang dalam pesta hujan
malam nanti, ya malam nanti
Bila sempat, gubahlah beberapa lembar puisi
Sayangnya malam ini tubuhku sedang gigil-gigilnya
meskipun bugilku telah dibaluri balsam
beberapa helai selimut kusam
pelukan bini yang wajahnya semakin masam
dan tiga bocah yang mulai mengigau macam-macam
Malam kian menjadi malam
dan rintik itu pun mulai terdengar mengundang
menabuhi dedaunan
memetik kabel-kabel listrik
menggesek dawai tali jemuran
menekan tuts-tuts kerikil jalanan
dan angin meniupi saxofon ventilasi kamar
Tumben, hujan tahun ini tak dangdutan
mungkin sudah bosan
menontonnya di tivi dan hajatan
Inginnya aku keluar
menyampaikan maaf tak bisa menikmati
hujan Jazz malam ini
namun tubuhku kian kaku
rasanya berdiri saja tak mampu
Hujan yang penasaran
melubangi atap hingga bocor
dan merasuk hingga ke kolor
ah, basahlah itu telor
Hujan berganti musik Betawi:
eh ujan gerimis aje
ikan bawal diasinin
Dia enggan melanjutkan
mungkin telah mengerti sakitku malam ini
dan seketika dia pergi
Hujan, biarlah aku yang melanjutkan nyanyianmu:
eh jangan menangis aje
bulan syawal mau dikawinin
Istriku terbangun, mengomel:
Ooo, jadi bener mau kawin lagi?
(Bekasi, 17 Desember 2015)
Tertera di muka: untuk penyair dari gerimis
Mungkin surat ini datang agak terlambat
Si pengantar tadi meminta maaf
Kuseruput teh yang masih mengepul di pinggir kasur
berebut hangat dengan cuaca yang kian dingin
Dan surat darinya kubaca:
Penyair, maaf mungkin agak terlambat kau menerima ini
namun bila kau masih ingat
tentulah ini tak bisa disebut terlambat
Seperti di tahun-tahun sebelumnya
kau diundang dalam pesta hujan
malam nanti, ya malam nanti
Bila sempat, gubahlah beberapa lembar puisi
Sayangnya malam ini tubuhku sedang gigil-gigilnya
meskipun bugilku telah dibaluri balsam
beberapa helai selimut kusam
pelukan bini yang wajahnya semakin masam
dan tiga bocah yang mulai mengigau macam-macam
Malam kian menjadi malam
dan rintik itu pun mulai terdengar mengundang
menabuhi dedaunan
memetik kabel-kabel listrik
menggesek dawai tali jemuran
menekan tuts-tuts kerikil jalanan
dan angin meniupi saxofon ventilasi kamar
Tumben, hujan tahun ini tak dangdutan
mungkin sudah bosan
menontonnya di tivi dan hajatan
Inginnya aku keluar
menyampaikan maaf tak bisa menikmati
hujan Jazz malam ini
namun tubuhku kian kaku
rasanya berdiri saja tak mampu
Hujan yang penasaran
melubangi atap hingga bocor
dan merasuk hingga ke kolor
ah, basahlah itu telor
Hujan berganti musik Betawi:
eh ujan gerimis aje
ikan bawal diasinin
Dia enggan melanjutkan
mungkin telah mengerti sakitku malam ini
dan seketika dia pergi
Hujan, biarlah aku yang melanjutkan nyanyianmu:
eh jangan menangis aje
bulan syawal mau dikawinin
Istriku terbangun, mengomel:
Ooo, jadi bener mau kawin lagi?
(Bekasi, 17 Desember 2015)