Dengan kelelahan yang luar biasa, gadis itu menidurkan dirinya di kursi malas. Kelelahannya bukanlah kelelahan lahir, tetapi kelelahan batin yang melumpuhkan urat-uratnya. Di dadanya yang indah dan luruh itu sudah lama terjadi perkelahian yang hebat. Perkelahian yang setiap kali terjadi bila seseorang hendak menetapkan suatu niat yang penting.
Dan, terengah-engahlah dadanya karena perempuan menimbang lebih dengan dada daripada dengan kepalanya. Dengan mata yang tertenung dada pada satu titik, ia membelai perutnya yang mengembang tiada beberapa, tapi penuh, lunak, dan subur. Sambil membelai ia mengeluh. Perlahan, tetapi keluhnya pergi jauh sekali.
Manisku, manisku, mengapa benar engkau harus datang?
Ia memejamkan matanya dengan setitik air bening di sudut pelupuknya, ketika pada matanya datang kembali gambaran dokter yang bertanya kepadanya dengan muka yang tegang.
“Nona sudah ada suami?”
“Belum.”
“Memang sudah kusangka, dari kemudaan Nona dan ketika saya periksa.”
“Mengapa dokter?”
“Nona mengandung dua bulan.”
Ah, waktu itu betapa dingin dirasa badannya dan betapa tangisnya terisak-isak.
Mengapa hal itu harus terjadi? Mengapa harus? Mengapa?
Teringat ia perbuatannya dengan Narso pada suatu hari di perkebunan tebu. Ah, mengapa benar ia kerjakan itu? Bukankah itu yang membuka jalan pada candu yang menyebabkan mereka saling mengerjakan perbuatan yang tadi berkali-kali?
Betapa benar ia mencinta Narso, meskipun ia tahu Narso tidak pernah mencintainya. Namun, selalu ia berusaha merebut cinta Narso.
Ia ingat bagaimana pertemuannya yang pertama dengan pemuda itu. Sebelumnya ia sudah banyak mendengar dari teman-teman gadisnya betapa kurang ajarnya Narso dan bagaimana riwayatnya. Orangtuanya pindah dari Yogya ke Solo. Namun, Narso masih tetap sekolah di Yogya pada perguruan tinggi. Hanya saja ia kerap kali datang ke Solo menghabiskan semua hari liburnya.
Pemuda itu belajar sedikit saja. Ia mempunyai otak yang tajam dan memakai sebagian besar waktunya untuk bersenang-senang melulu. Ia sangat suka bercinta dan gadisnya di Yogya saja ada lima (dalam hal ini kita mengecualikan yang bekas dan yang calon karena masih dalam proses pengisi waktu). Tokoh dan tampang buaya ini sebetulnya tidak seberapa, tetapi pancaran wajah dan gerak-geriknya bisa memberi daya fantasi pada gadis-gadis. Dan, inilah yang menjadi daya penariknya. Dan, yang juga sangat mengikat hatinya sejak pertemuan mereka yang pertama itu. Itu terjadi di pesta ulang tahun temannya.
Ketika ia datang, Narso memandangnya seperti ular dengan matanya yang menenung itu. Ia kesipu-sipuan, tetapi sekali-sekali ia mencuri pandang juga kepada pemuda itu. Ia tak tahu mengapa Narso tertarik kepadanya. Memang banyak orang mengatakan ia menarik, tetapi ia merasa dirinya tidak cantik sekali. Di pesta itu memang ia yang tercantik, tetapi itu karena teman-temannya yang lebih cantik tidak hadir.
Kemudian karena Narso buaya dan ia sendiri mengagumi Narso dengan pandangan seorang yang lebih rendah daripadanya maka mudahlah terjadi hubungan yang istimewa antara keduanya.
Ciuman demi ciuman, cumbu demi cumbu mengikatnya lebih erat kepada pemuda itu. Kemudian terjadilah perbuatan di hari Minggu itu. Semula ia menolaknya.
“Narso, segalanya akan kuberikan, tapi jangan itu.” Akan tetapi, ciuman Narso yang panas dan memeras tuntas itu melemahkan dirinya. Dengan tak diketahuinya sendiri napasnya turun naik dengan dahsyat. Dan, tahu-tahu tangan Narso bergerak tanpa sadar.
“Jangan, Narso, aku takut akibatnya.”
“Omong kosong! Sebentar nanti makanlah banyak-banyak merica. Mesti akan beres semuanya.”
Lalu, muka Narso yang berlabuh di lehernya itu menundukkan dalam penyerahan dan pejam mata. Waktu itu apalagi yang akan dikerjakannya lain daripada itu. Ia tak berdaya apa-apa. Ia bertindak atas naluri dan detak jantungnya. Sesuatu yang telah ia bawa sejak lahir dan kini tiba-tiba menuntut jalannya keluar. Begitu mendesak dan segalanya itu di luar kuasanya. Dan, cintanya yang besar makin memudahkan ia luruh dalam penyerahan yang bulat tanpa tanggung-tanggung.
Karena terapung oleh kebahagiaan yang belum pernah dirasainya, sejak itu ia tak pernah memikirkan akibat yang semula ditakutkannya. Pada hari-hari yang berikut, tiada apa yang dirasainya selain nyanyi yang tersimpan di dada, jam-jam yang penuh dengan tertawa, dan keriaan yang seolah tak akan padam.
Mulai pada suatu hari ia merasa lesu dan terkadang pening kepalanya. Pinggulnya terasa pegal dan sering kali ia muntah-muntah. Ia merasa badannya tidak sehat.
Dan, ketika sudah sebulan lebih ia tidak bisa datang bulan, pergilah ia ke dokter demi kesehatannya. Namun, dokter lekas tahu segalanya, dan lalu datanglah keterangan yang sangat mengejutkan itu.
Ah, mengapa itu terjadi? Ia sendiri tidak menduga bahwa ia mengandung. Perutnya biasa saja tidak terlalu besar, cuma saja tampak lebih sehat dan segar mengembang. Dapat dibayangkan bagaimana nanti perutnya akan tambah mengembang dan mengembang hingga bulat seperti buah semangka yang ranum. Semua orang akan memandang kepadanya dengan berbisik-bisik dan, o, betapa mengerikannya.
Waktu ia pulang, ia dapati Narso menunggu di rumahnya dengan mata ketagihan. Ia menceritakan semua apa yang terjadi. Dengan bingung lelaki itu bangkit dan akhirnya meledaklah ia.
“Bangsat!”
Makian itu tak tentu arah, guna, dari arti dan nilainya.
Ia menangis tersedu-sedu dan berkata, “Engkau harus mengawini aku!”
Narso terjingkat, bersuara seperti neraka ada di dadanya. “Apa?”
“Engkau tak pernah mencintaiku bukan?”
“Tidak! Engkau tahu, aku tak pernah mencintaimu. Bagiku engkau ini api. Engkau membakar aku. Tapi, aku tahu api ini sekali waktu akan padam.”
“Ya, padaku engkau tak ada cinta yang tidak bisa padam bilamanapun juga. Engkau harus mengawini aku, meskipun tanpa cinta. Engkau tidak boleh lari. Buah yang kukandung ini kita berdua yang menanamnya.”
Tiba-tiba muka pemuda itu jadi berubah, sedikit tenang, “Dengar, aku takkan lari. Aku akan berusaha menghindarkan perkawinan kita, tapi kalau gagal dan tak ada lain jalan kuberanikan diriku mengawini kau.”
Dengan cepat-cepat Narso meninggalkan rumah itu dan ia sendiri tenggelam dalam sedu-sedan. Orangtuanya menanyakan tentang halnya, tetapi ia tak berani berkata sepatah kata tentang kandungan itu. Ia akan mencari persiapan dulu untuk mengabarkannya.
Hari yang berikutnya Narso datang. Ia kelihatan lesu, berkeringat, dan seolah dari perjalanan ke sana kemari. Kepadanya Narso memberikan sebungkus pil. Ketika ia selesai membuka bungkusan itu, ia menangis.
“Tidak Narso, aku tidak akan menelannya. Itu dosa!”
“Aku tidak memaksamu. Ingatlah, aku tak pernah mencintaimu. Kalau engkau nekat mengajak aku kawin, aku tidak membantah. Tapi, itu berarti engkau nekat meninggalkan kedamaian hidup dan memasuki kehidupan yang tertindas dan mengurung diri dalam satu nestapa. Kalau tak ada jalan lain, aku sendiri akan nekat memasukinya.”
“Tapi itu pembunuhan! Itu dosa!”
“Ya, itu pembunuhan. Dan, semua pembunuhan itu kejam. Tapi, ingatlah hari depan dari benih yang di kandunganmu itu. Ingatlah, kekejaman itu bermaksud kepentingannya juga. Bayangkan bagaimana nanti hidupnya dalam ketidakcintaan kita berdua. Aku tak sanggup jadi suami setia dan juga bapak yang baik baginya. Aku mungkin membencinya karena ia telah mengubah seluruh perjalanan hidup yang kusukai.”
Sambil menarik napas disabar-sabarkan, pemuda itu melanjutkan katanya.
“Pil itu boleh kau telan, boleh tidak, semaumu. Tapi, jangan mungkiri! Pikirkan dulu baik-baik.”
Kemudian pemuda itu pergi dan ditinggalkannya bungkusan pil itu di atas meja.
Semalam suntuk ia berpikir apa yang harus diperbuatnya. Dan, sekarang dengan berbaring di atas kursi malas itu, masih berlangsung di dadanya suatu pergulatan yang seru. Tangan yang satu membelai-belai perut dan tangan yang lain menggenggam bungkusan pil itu.
Ia tak mungkin lagi cinta Narso. Ia ingat, bahwa ia pernah dapat foto-foto dari gadis-gadis Narso di Yogya. Semuanya lebih cantik daripadanya. Terang diketahuinya bahwa ia tak mempunyai harapan lagi atas cinta Narso.
Kalau keduanya kawin, juga itu adalah semata-mata menepati susila yang justru akan memberi nestapa kepadanya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana suami itu malam-malam pergi menjalang dan setiap hari terjadi pertengkaran dalam rumahnya. Dan, pastilah suami itu nanti akan membenci anak mereka. Anak itu akan dimarahi setiap kali dan telantar pendidikannya. Kemudian anak itu akan hidup dalam suasana ketakutan. Dan, karena ketakutan itu, ia lalu akan sering berbohong, tak pernah berani berbuat dengan keyakinan dan sepanjang hidupnya akan selalu berada dalam dunia angan-angan.
Akan dibiarkankah hidup anaknya begitu? Mungkin ia akan berani bertindak secara lebih nekat dan kepahlawan-pahlawanan. Yaitu tidak akan minta dikawin Narso dan akan menanggung jawab sendiri kehadiran anaknya kelak. Namun, bagaimana kelak kalau anak itu menanyakan siapa bapaknya? Akan dikatakan terus terang, cerita tentang lahirnya anak itu? Lalu, kalau orang-orang lain tahu juga cerita itu, tentu akan malulah anaknya. Teman-temannya akan mengejeknya sebagai anak jadah, anak tak berayah. Tidak, itu tidak akan dibiarkannya.
Atau, akan berbohongkah ia nanti dengan mengatakan ayahnya meninggal atau tipuan semacam itu lainnya? Namun, hanya berapa lama dusta itu akan bisa tahan? Dan, kalau sampai ketahuan apa nanti yang akan terjadi, anak itu akan berdendam terhadap ayahnya? Dan, akan membalaskan dendam itu dengan pembunuhan atau yang semacam itu?
Kecuali itu, akan sanggupkah ia kelak mendidik anaknya sendiri? Dan, dari mana akan didatangkan hidupnya?
Ia teringat bagaimana malangnya anak-anak yang tidak berbapak, ada yang karena merasa lain dari kawan-kawannya lalu memencilkan diri. Merasa kurang harga diri dan gampang merasa dihinakan. Ada yang harus hidup dalam lingkungan orang kerja keras. Lalu watak mereka jadi kaku, kasar, dan kejam. Ada yang terdampar pada hidup kemelaratan dan karena desakan kekurangan, pergi mencuri dan membungai hidup mereka dengan perkelahian-perkelahian atau perzina-zinaan.
Tidak, ia tak akan membiarkan hidup anaknya kelak begitu! Itu mengerikan sekali.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat, lalu menangis tersedu-sedu. Ia takut menghadapi hari depan bakal anaknya dan ketakutan itu adalah hak setiap manusia karena itu telah diberikan kepadanya sejak lahir.
Tiba-tiba sedunya mengendur, lalu pelan-pelan matanya terbuka. Tenang ia bangkit. Dengan air muka yang sangat tegang, diambilnya air di gelas dan ditelannya pil itu, yang akan menggugurkan kandungan yang tak diharapkan, sebagai segumpal darah kental.
Kemudian ia tengadah, mencari wajah Tuhannya. Ia tak berani minta ampun. Menatap saja ia dengan matanya yang basah. Tuhan tahu segalanya karena itu terserahlah semua kepada-Nya.
Sumber: Buku Pacar Seorang Seniman.