Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih ingat bentuk awan pagi itu. Kita berdua di depan rumahmu, kamu dengan tas gunung di punggung. Aku, yang masih mencoba setengah mati untuk menahan kamu pergi, kamu yang malah membahas awan.
‘Lihat deh awan itu, bentuknya kayak apa?’ tanya kamu.
Aku melihat ke arah langit biru, ke arah ujung telunjukmu. Aku jawab jujur, ‘Kayak gumpalan lemak.’
‘Enggak dong, Momo,’ katamu. ‘Itu lihat, kaya kucing ya.’
Aku melihat kembali ke arah awan, lalu aku bilang, ‘Iya, kalau kucingnya terjepit di antara gumpalan lemak.’
‘Ada apa sih dengan kamu dan lemak?’ tanya kamu kesal. ‘Udah ya, ceweknya mau pergi naik gunung dulu.’
‘Harus banget?’ tanyaku.
‘Aku kan udah bilang dari minggu yang lalu.’ Dia tersenyum. ‘Jangan kangen-kangen amat ya.’ Seandainya aku tahu, setelah ini aku tidak akan pernah mendengar suaramu lagi.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih menyalahkan diriku. Kenapa aku tidak ikutan naik gunung? Cowok macam apa yang tidak menemani ceweknya mendaki? Cowok macam aku, mungkin, bernama Momo, yang memang gak diperbolehkan orangtuanya naik gunung, karena punya masalah dengan jantungnya dari lahir. Momo, yang namanya saja seperti nama perempuan. Momo, yang kesal waktu main ke pet shop ada hamster albino diajak ngobrol sama majikannya, ‘Momo, ini kandang baru kamu, Momo.’
Nasib punya nama yang terlalu imut.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih penasaran bagaimana kamu bisa hilang. Kata teman-temanmu, kamu berusaha untuk lebih cepat dari yang lainnya. Kamu memang terkenal tangguh, tim kapten futsal cewek, tapi rasanya gak perlu mendaki dengan tergesa-gesa, meninggalkan teman lain yang kecapean kan? Karena ketika kamu ke atas sendirian, lalu hilang tidak kembali, aku yang sekarang sendirian. Kami yang sekarang sendirian. Kami yang masih menunggumu pulang.
Tim pencarian tidak menemukan apa-apa, dan setelah sekian lama, mereka akhirnya berhenti. Aku masih ingat tanya ibumu kepada mereka, ‘Jadi sekarang Nadia, anak saya, bagaimana?’ Tim pencarian tidak bisa menjawab, bingung cara menyampaikan kemungkinan besar kamu tidak selamat.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih pergi ke tempat favorit kita dulu. Aku masih datang ke Bartos Cafe, dekat rumahmu. Memesan satu es teh manis tanpa gula. Minum dari gelas langsung, padahal sedotan ada di dalamnya. Itu yang kamu kesalkan biasanya, bukan?
Katamu dulu, ‘Itu ada sedotan, kok malah minumnya gitu?’
‘Biar diperhatiin aja,’ kataku.
‘Masih kurang?’ tanyamu.
‘Selalu kurang,’ kataku.
Lalu kamu senyum merasa geli. Tapi jujur, gombalanku cukup dahsyat kan? Percayalah, aku punya lebih banyak lagi, ketika kamu pulang nanti.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih mampir setiap minggu di ujung jalan rumahmu. Melihat awan, memandangi pagar rumahmu, berusaha berpegangan kepada penggalan cerita kita dulu, yang semakin hari terasa semakin samar.
Hari ini, di ujung jalan, aku mencoba menebak apa bentuk awan hari itu. Kadang seperti roti, kadang seperti kapas, tapi kenapa yang terlihat di kepalaku tidak pernah seperti kucing. Sebuah suara lirih memecahkan lamunanku, ‘Meong.’
Di selokan dekat rumahmu aku melihat ada kucing kecil di dalamnya. Matanya tertutup. Badannya ringkih, dia sudah pasti akan mati jika aku tinggalkan.
‘Eh, kucing. Kamu kenapa?’ kataku kepada kucing itu.
Aku juga tidak tahu kenapa aku bertanya dengan Bahasa Indonesia ke kucing ini. Jika kucing ini bisa menjawab, ‘Gak apa-apa, cuy.’ Pasti aku langsung bikin channel Youtube sendiri, minta kucing ajaib ini nge-vlog.
Si kucing ringkih gemetaran, mencoba berjalan, seperti agar-agar di tengah siang hari bolong. Dia lalu tergeletak, lemah. Aku membawanya pulang, membungkusnya dengan baju ganti di dalam tas, aku bilang kepada kucing itu, ‘Mulai hari ini nama kamu Awan.’
Jujur, aku gak suka kucing. Menurutku mereka makhluk egois yang terlihat sombong. Kata orang lucu, tapi menurutku pandangan mereka terlalu dingin. Seolah ada hal jahat yang mereka rencanakan setiap hari. Seolah mereka merasa lebih baik dari manusia.
Tapi aku belajar menyayangi Awan, karena aku yakin ada yang mengatur pertemuan kami hari itu. Pelan-pelan, aku belajar soal kucing. Awan suka mendengkur keras ketika dielus, awalnya aku bingung, sampai harus bertanya kepada teman yang memelihara kucing, ‘Eh, ini kucing gue kok menggeram keras banget. Dia mau bunuh gue apa gimana ya?’ ‘Engga,’ kata temanku. ‘Kucing kalau mendengkur artinya dia sayang.’
‘Cara yang aneh untuk menunjukkan rasa sayang,’ kataku.
‘Lah kalau ada kucing yang tiba-tiba bisa cium pipi pasti lebih aneh lagi,’ kata temanku.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih suka membaca history chat kita di handphone. Awan duduk di pangkuan, sambil melihat baris demi baris chat kita saling berbalas. Malam itu aku sedang membaca chatmu kepadaku, tentang kamu mengingatkan agar aku jangan sering-sering makan mie instan malam-malam yang aku balas ‘oke’, terus kamu nanya, ‘oke doang?’ lalu aku teruskan ‘oke sayang.’ dan kamu balas ‘bagus.’ Lalu aku balas, ‘bagus doang?’ dan kamu jawab, ‘bagus sayang.’ Betapa hal-hal remeh seperti ini bisa membuatku rindu sampai susah tidur.
Awan jadi teman terbaik buat aku menjalani hari tanpa kamu. Paling tidak, di kantor ada kegiatan tambahan. Di dalam kubikel kecilku itu, di tengah-tengah jam gabut aku bisa Google ‘Cara Merawat Kucing’ atau ’10 Tanda Kucing Mau Kawin’ atau ‘Apakah Kucing Hendak Menguasai Dunia?’
Teman kantorku melihat ini dengan positif. ‘Bagus deh lo jadi pelihara kucing,’ kata dia. ‘Biar lo gak galau melulu. Biar lo cepet gemuk lagi.’
Memang, patah hati adalah diet yang terbaik.
Tidak semua temen kantorku seperti ini. Ada juga yang seenaknya bilang, ‘Lo kenapa sih udah setahun masih ngarep aja? Gak mau cari cewek lain?’
Biasanya aku hanya membalas singkat, ‘Engga.’
Dia malah bilang, ‘Udahlah, anggep aja diputusin.’
Aku tidak menjawab.
Seandainya dia tahu, ini tidak seperti diputusin. Ini jauh lebih sakit. Kalau diputusin, ditinggalkan, diselingkuhi, kita tahu orang itu tidak akan balik. Tapi, kalau orangnya hilang, kita bisa apa? Ada dilema antara menunggu atau berhenti berharap, antara maju kembali atau diam di tempat. Kadang ada sih harapan kamu tiba-tiba datang mengetuk pintu di suatu sore dan bilang ini semua hanya prank.
Keterlaluan sih, kalau begitu.
Prank yang sangat niat, tapi tetap keterlaluan.
Ada juga saudara jauh datang ke aku, dan bilang, ‘Momo, gue tahu kok rasanya kaya gimana.’ Lagi-lagi aku diam. Dia tidak tahu rasanya gimana. Orang bisa menunjukkan empatinya, tapi tidak ada yang tahu rasanya. Aku saja masih merasa kehilangan kamu sesuatu yang asing. Sesuatu yang aku tidak siap untuk rasakan. Bagaimana orang bisa merasa paham?
Suatu sore Awan sakit. Dia terlihat lesu, lebih malas dari biasanya. Dia gak mau main, bahkan mainan favoritnya, yaitu kaos kaki bekasku yang sering dia gigit-gigit, juga tidak dia gubris. Aku sempat berpikir jangan-jangan bau kakiku yang membuat dia sakit seperti ini, tapi sepertinya problemnya jauh lebih parah dari itu. Takut Awan kenapa-kenapa, aku bawa dia ke dokter.
Sesampainya di dokter hewan, dokter bertanya, ‘’Namanya kucingnya siapa?’
‘Awan,’ kataku.
‘Nama kucingnya Awan?’ tanya dokter hewan. Dia tersenyum. ‘Nama suami saya Awan juga lho.’
‘Oh, ya? Nama saya Momo, saya pasti sering juga kok jadi nama kucing.’
‘Nah, ada satu kucing bandel banget langganan di sini, namanya Momo. Kalau mau divaksin harus dibantu semua orang disini. Kebetulan kucingnya Taurus, jadi agak susah diatur.’
‘Ngaruh emang ya?’ tanyaku.
Dokter hewan tertawa. ‘Ya enggak lah, Mas-nya serius banget? Capricorn ya?’
Dokter hewan mengecek semuanya, dan berkata, ‘Awan hanya dehidrasi. Dia kurang minum aja.’ Dokter hewan lalu memberikan saran mengganti makanan Awan dengan makanan basah. Dia juga menganjurkan agar sering mengganti air minum Awan dengan air bersih. Kami lalu pulang dari sana. Setelah membayar itu semua, sambil melihat belanjaan dari klinik, aku bilang kepada Awan, ‘Kenapa mahalan makanan lo daripada makanan gue, Wan?’ Awan tidak membalas apa-apa, karena dia tidak bisa Bahasa Indonesia.
Malam harinya aku tidur di depan kandang Awan. Menjaganya dari sore hingga malam. Tidur di lantai membuat aku kedinginan. Ibu datang membawakan selimut, menaruhnya di atas badanku.
‘Nak, ayo tidur di kamar, yuk,’ kata Ibu.
Aku setengah terbangun melihat Ibu ada di depan mata. Aku berkata sambil menarik selimut, ‘Aku mau jagain dia, Bu. Di sini aja.’
‘Udah gak apa-apa dia baik-baik aja kok,’ kata Ibu.
‘Kita gak pernah tahu, Bu. Aku gak mau ninggalin dia.’
Ibu mengelus punggungku, dan dia berkata, pelan sekali, ‘Mo, kucing itu bukan Nadia.’
Aku tidak menjawab apa-apa.
Ibu lalu pergi meninggalkan aku.
Aku memejamkan mata. Sudah setahun kamu hilang, kamu masih bisa bikin aku menangis sambil menunggu ngantuk.
***
Seminggu kemudian, Awan sudah sembuh seperti sediakala. Seminggu kemudian, seperti biasa, aku ada di depan jalan rumahmu. Tidak seperti biasanya, ibumu muncul dari dalam rumah. Dia melihat aku dari jauh. Aku buru-buru membalikkan badan, hendak pergi dari sana. Terlambat, ibumu menanggil namaku.
‘Momo,’ katanya. ‘Jangan pergi.’
Aku memutar kembali badanku, berjalan ke arah rumahmu. ‘Ya tante?’
Aku sudah lama sekali tidak bicara dengannya.
‘Tante tahu kamu tiap minggu ada di ujung jalan,’ katanya. ‘Kenapa gak mampir aja?’
‘Enggak tante, gak perlu mampir,’ kataku.
Sejujurnya aku tidak berani untuk bertemu dengan ibumu lagi. Rasa bersalah yang ada di dadaku ini seperti jangkar yang memberatkan langkah. Seharusnya aku, laki-laki yang nanti akan dititipkan untuk menjagamu, bisa menjagamu dari gunung itu. Gunung yang seperti seorang pesulap handal, punya trik hebat menghilangkan orang, yang tidak bisa dibongkar oleh netizen jahil di kolom komentar Youtube sekalipun.
‘Kali ini aja, masuk ya,’ kata ibumu.
‘Enggak deh, tante, aku-’
Ibumu melihat tajam ke arah mataku. ‘Tante mau kamu masuk. Ya.’
Aku mengangguk pelan, masuk ke dalam.
Sudah setahun kamu hilang, tapi ruang tamu rumahmu masih seperti yang aku ingat. Foto keluargamu dalam figura kayu, dengan noda kopi di sudut kanan atas. Masih ada piano sumbang yang keluargamu selalu tunda untuk benarkan. Hal yang berbeda paling sepeda roda tiga milik adikmu, ada di pojok yang berbeda dengan biasanya. Warnanya juga sudah pudar, berganti dari merah ke merah muda.
Ibumu datang membawakan satu gelas air. Bunyi jam mengiringi kesunyian yang kami bagi. Kami saling menunggu siapa yang akan memecahkan keheningan ini terlebih dahulu. Pada akhirnya, ibumu yang memulai, ‘Kamu baik-baik aja?’
‘Baik, semua, baik,’ kataku.
‘Masa?’ tanya ibumu.
‘Iya,’ kataku.
‘Tante masih suka ngobrol sama mama kamu lho. Telponan,’ kata ibumu.
Hening.
Suara jam kembali mengisi kesunyian.
‘Kami semua kangen sama Nadia,’ kata ibumu. ‘Kangen banget.’
Ibumu berusaha setengah mati untuk tidak menangis. ‘Tapi menunggu bukan berarti kamu harus menyiksa dirimu. Tante juga menunggu dalam cemas, tapi bukan berarti hidup kita tidak berlanjut.’
‘Iya, tante.’
‘Tante juga berharap dia ketemu, baik sehat maupun tidak. Meskipun menguburkan anak sendiri adalah hal paling ditakutkan semua orang tua.’
Aku hanya bisa mendengarkan.
‘Tante sama Om tahu kok, seminggu sekali kamu mampir di ujung jalan, seperti orang bingung memandang awan, melihat ke rumah kami. Kami tahu kok kamu orang terakhir yang ngobrol sama dia, sebelum dia berangkat. Kami tahu tahu kok, kalau di hati kamu, kamu merasa bertanggungjawab atas ini semua.’
Aku akhirnya membuka suara, ‘Aku cuma menyesal aku enggak bisa mengubah apa yang terjadi.’
‘Gak ada yang tahu apa yang terjadi. Kami bahkan tidak menyalahkan siapa-siapa, Mo. Kami bahkan tidak menyalahkan kamu, kenapa kamu menyalahkan diri kamu sendiri?’
Air mataku mulai terkumpul.
Ayahku pernah bilang, laki-laki gak boleh nangis, kecuali saat dia kecewa kepada dirinya sendiri.
‘Lia bilang kamu ngambil kucing yang ada di got itu ya?’ tanya ibumu. Lia adalah adikmu yang baru masuk SD. Ternyata dia tahu, entah dari mana, mungkin tetanggamu ada yang melihat dan memberitahunya.
‘Iya, aku rawat, Tante. Namanya Awan. Aku kasian, dia hampir mati di situ,’ jawabku.
Ibumu memajukan badannya ke depan, setengah tersenyum dia berkata, ‘Mo, kamu bisa memberikan hidup yang baru untuk kucing itu, kamu juga bisa memberikan hidup yang baru untuk diri kamu. Kamu bisa menolong dirimu sendiri.’
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku ingat kalimat ibumu ini mirip dengan yang kamu ucapkan. Aku ingat kita berdua selesai menonton Avengers, lalu kamu membuang plastik minum di tempat sampah. Lalu, masih terbawa action film tersebut, aku berkata kepadamu, ‘Kapan pun kamu dalam bahaya, aku pasti tolongin kamu.’ Kamu malah menjawab, ‘Coba aku mau tanya. Kalau misalnya kita keracunan nih, penawarnya cuma satu. Kamu mau kasih ke siapa obatnya?’
Aku jawab dengan gagah, ‘Ke kamu lah.’
Kamu malah tertawa. ‘Aku gak mau. Aku mau kamu menolong dirimu sendiri.’
‘Kenapa?’ tanyaku.
‘Karena aku sayang kamu,’ katamu, sambil tersenyum.
Setelah satu gelas air putih habis, aku keluar dari dalam rumahmu. Ibumu memeluk aku erat. Dia lalu masuk ke dalam, meninggalkan aku, berjalan menjauh dari rumahmu. Aku melangkah perlahan-lahan, sambil melihat sebongkah awan di atas langit biru.
Awan tersebut bergerak perlahan-lahan. Berarak-arak ditiup angin. Aku memicingkan mata, awan hari ini masih tidak terlihat seperti seekor kucing. Namun, hari ini awan terlihat seperti sesuatu yang pergi menjauh, meninggalkan beban yang selama ini membuatnya berhenti.