Saya berdiri di bawah surya pukul 9:00 yang
menyenangkan di sebuah pagi di tahun 1962.
Pori-pori kulit serasa bergetar, ultraviolet matahari
meresap. Saya sendirian. Tapi burung-burung
gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran.
Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun
menyentuh tanah.
Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul
9, pohon yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya
telah melupakan pertanyaan macam itu. Bangun
pagi, berjalan siang, dan tidur malam saya tak
menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal-
ikhwal yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele.
Waktu itu Indonesia adalah arena kata-kata yang
membahana: “Revolusi,” “Sosialisme Indonesia,”
“Dunia Baru” – semuanya dengan huruf kapital,
semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras
suara, semuanya menggugah, menerobos jiwa.
Saya memandangi kembali burung-burung itu.
Tiba-tiba saya sadar, tak pernah saya terkesima
akan hal yang sebenarnya dahsyat tapi tersisih:
warna bulu yang menakjubkan itu, sepasang mata
yang seperti merjan jernih itu, sayap yang serba
sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya
waktu buat tetek-bengek. Kami hanya menyimak
soal-soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa
depan.
Ada yang salah agaknya. Masa depan hanya
berarti jika kita tak bilang “tidak” kepada burung
gereja di pelataran hari ini.
Sumber: Jendela Sastra.
menyenangkan di sebuah pagi di tahun 1962.
Pori-pori kulit serasa bergetar, ultraviolet matahari
meresap. Saya sendirian. Tapi burung-burung
gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran.
Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun
menyentuh tanah.
Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul
9, pohon yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya
telah melupakan pertanyaan macam itu. Bangun
pagi, berjalan siang, dan tidur malam saya tak
menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal-
ikhwal yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele.
Waktu itu Indonesia adalah arena kata-kata yang
membahana: “Revolusi,” “Sosialisme Indonesia,”
“Dunia Baru” – semuanya dengan huruf kapital,
semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras
suara, semuanya menggugah, menerobos jiwa.
Saya memandangi kembali burung-burung itu.
Tiba-tiba saya sadar, tak pernah saya terkesima
akan hal yang sebenarnya dahsyat tapi tersisih:
warna bulu yang menakjubkan itu, sepasang mata
yang seperti merjan jernih itu, sayap yang serba
sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya
waktu buat tetek-bengek. Kami hanya menyimak
soal-soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa
depan.
Ada yang salah agaknya. Masa depan hanya
berarti jika kita tak bilang “tidak” kepada burung
gereja di pelataran hari ini.
Sumber: Jendela Sastra.