Tamblingan: Siapa yang pernah menanam pohon
akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya
sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk
tanda dalam waktu.
Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang
masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan?
Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalin-
menjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar
pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang
entah sejak kapan menyembunyikan jalan setapak.
Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di
perbukitan Bali Utara itu, menembus semak,
entah berapa kilometer, dalam kesepian yang
hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di
timur, di tepi danau, tampak sebuah pura kecil
yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh
gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian
bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan-
akan bergetar di ruas batang trembesi.
Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu
pun berubah. Bagaikan sepetak tanah yang
gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar
akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap
diukur. Tamasya itu – hutan yang hilang, waktu
yang dirampat – tak lagi punya tuah. Ia hanya
punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal
telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan
kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga
“puak yang perkasa dan damai” itu – ungkapan
Marcel Proust tentang pohon-pohon – pun tak
dilahirkan kembali.
Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan
di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana
Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-
raja yang uzur menyingkir ke dalamnya sebagai
pertapa, untuk – seperti Destarastra, disertai
Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir
Mahabharata – menantikan mati. Para penguasa
yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat
menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba
menemui kembali pohon-pohon.
Sumber: Jendela Sastra.
akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya
sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk
tanda dalam waktu.
Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang
masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan?
Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalin-
menjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar
pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang
entah sejak kapan menyembunyikan jalan setapak.
Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di
perbukitan Bali Utara itu, menembus semak,
entah berapa kilometer, dalam kesepian yang
hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di
timur, di tepi danau, tampak sebuah pura kecil
yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh
gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian
bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan-
akan bergetar di ruas batang trembesi.
Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu
pun berubah. Bagaikan sepetak tanah yang
gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar
akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap
diukur. Tamasya itu – hutan yang hilang, waktu
yang dirampat – tak lagi punya tuah. Ia hanya
punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal
telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan
kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga
“puak yang perkasa dan damai” itu – ungkapan
Marcel Proust tentang pohon-pohon – pun tak
dilahirkan kembali.
Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan
di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana
Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-
raja yang uzur menyingkir ke dalamnya sebagai
pertapa, untuk – seperti Destarastra, disertai
Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir
Mahabharata – menantikan mati. Para penguasa
yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat
menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba
menemui kembali pohon-pohon.
Sumber: Jendela Sastra.