Kita hidup dengan warisan Cervantes. Para
ksatria telah punah. Kita tahu, Don Quixote,
lelaki tua krempeng yang naik kuda jelek itu
– yang membayangkan diri seorang Don yang
bersedia berperang untuk menegakkan nilai-nilai
yang luhur – adalah tetap Alonzo Quixano yang
miskin. Bila ia meninggalkan rumahnya buat
bertualang dan berperang untuk memperbaiki
Dunia, itu karena ia majenun.
Namun dari tangan Cervantes, Don Quixote justru
kemajenunan yang mengharukan: di sampingnya
ada Sancho Panza. Petani pendek tambun dengan
pikiran sederhana ini mengikutinya dengan setia,
antara percaya dan tidak.
“Ajaibilah aku tanpa keajaiban!” serunya suatu
kali. Ia tak punya waham. Ia tahu bahwa
bertempur melawan kincir angin bukanlah
bertempur melawan raksasa yang menyamar
dengan sihir. Ia tak melihatnya sebagai suatu
konfrontasi yang dramatik. Ia bisa hidup tanpa
drama. Tapi ia tak meninggalkan Alonzo
Quixano.
Bagi Sancho, hidup adalah kiat untuk beroperasi
di celah-celah apa yang mungkin. Tapi hidup
tak hanya sepenuhnya terdiri atas yang “apa
tak mungkin.” Ternyata manusia juga bisa
menghendaki sesuatu yang mustahil tapi niscaya,
misalnya keadilan. Terkadang ada sesuatu yang
berharga di luar tatanan praktis, sesuatu yang
mendorong manusia untuk membuat sejarah.
Justru karena miskin, Sancho bisa dekat dengan
Don Quixote.
Ia tahu hanya manusialah yang bisa bermimpi
dan menyiapkan perubahan, justru di dunia yang
tak terpenuhi. “Manusia menentukan, Tuhan
mengecewakan,” begitulah ia berkata.
Sumber: Jendela Sastra.
ksatria telah punah. Kita tahu, Don Quixote,
lelaki tua krempeng yang naik kuda jelek itu
– yang membayangkan diri seorang Don yang
bersedia berperang untuk menegakkan nilai-nilai
yang luhur – adalah tetap Alonzo Quixano yang
miskin. Bila ia meninggalkan rumahnya buat
bertualang dan berperang untuk memperbaiki
Dunia, itu karena ia majenun.
Namun dari tangan Cervantes, Don Quixote justru
kemajenunan yang mengharukan: di sampingnya
ada Sancho Panza. Petani pendek tambun dengan
pikiran sederhana ini mengikutinya dengan setia,
antara percaya dan tidak.
“Ajaibilah aku tanpa keajaiban!” serunya suatu
kali. Ia tak punya waham. Ia tahu bahwa
bertempur melawan kincir angin bukanlah
bertempur melawan raksasa yang menyamar
dengan sihir. Ia tak melihatnya sebagai suatu
konfrontasi yang dramatik. Ia bisa hidup tanpa
drama. Tapi ia tak meninggalkan Alonzo
Quixano.
Bagi Sancho, hidup adalah kiat untuk beroperasi
di celah-celah apa yang mungkin. Tapi hidup
tak hanya sepenuhnya terdiri atas yang “apa
tak mungkin.” Ternyata manusia juga bisa
menghendaki sesuatu yang mustahil tapi niscaya,
misalnya keadilan. Terkadang ada sesuatu yang
berharga di luar tatanan praktis, sesuatu yang
mendorong manusia untuk membuat sejarah.
Justru karena miskin, Sancho bisa dekat dengan
Don Quixote.
Ia tahu hanya manusialah yang bisa bermimpi
dan menyiapkan perubahan, justru di dunia yang
tak terpenuhi. “Manusia menentukan, Tuhan
mengecewakan,” begitulah ia berkata.
Sumber: Jendela Sastra.