Puisi 9 Karya Goenawan Mohamad

Angkor Wat: saya berdiri di depan Candi Bayon.
Hutan dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan
hujan, dan para biksu yang berteduh di ruang-ruang
kecil candi seraya bersemadhi …

Tidakkah mereka sebenarnya tengah bersatu dengan
Waktu yang tak terduga dalamnya – bukan waktu
yang dibentangkan ke khalayak ramai, bukan waktu
yang gampang diukur, tapi sebuah ekstasis. Saat
yang dahsyat. Saat ketika sang subyek raib, tak lagi
berdaulat.

Buddha memang mengajarkan anatman dan anitya:
ia menunjukkan bahwa tak ada subyek yang sama,
tak ada yang permanen. Hidup adalah sebuah arus
eksistensi yang selalu lahir kembali, tapi tiap-tiap
kali berbeda, tiap-tiap kali satu momen kelahiran tak
ingat akan kelahiran sebelumnya, juga tak akan tahu
kelahiran yang kelak.

Agaknya itu sebabnya kematian, keberanian,
kesedihan, dan cinta, tak henti-hentinya ditulis
dan diabadikan oleh para penyair – dan apa yang
menggetarkan dari Mahabharata, yang sayu dari
Shakespeare tak terasa sebagai hanya replika, tak
cuma mengulang hal yang itu-itu saja.

Sebab itu, bagi mereka yang percaya akan dukkha,
anatman, dan anitya, patung adalah puing, hutan
adalah kesunyian, dan hujan seperti kabut.


Sumber: Jendela Sastra.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama