Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia
adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi
ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah
makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah
saja dari rumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian
ke makam, menyapu sampah dan, kadang-kadang,
menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan
pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia
tahu benar apa yang akan terjadi.”
Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,
Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah
utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka
mengingatkanku untuk menengok makam Ayah,
mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah
mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat
sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah
mempercayai segala yang dikatakannya.”
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil
menengok ke luar jendela pesawat udara, sering
kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku
berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana,
di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan
terbang dari mega ke mega–dan tidak mondar-
mandir dari dapur ke tempat tidur, memberi makan
dan menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu
sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun
sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami
igauanmu.”
adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi
ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah
makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah
saja dari rumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian
ke makam, menyapu sampah dan, kadang-kadang,
menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan
pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia
tahu benar apa yang akan terjadi.”
Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,
Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah
utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka
mengingatkanku untuk menengok makam Ayah,
mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah
mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat
sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah
mempercayai segala yang dikatakannya.”
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil
menengok ke luar jendela pesawat udara, sering
kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku
berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana,
di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan
terbang dari mega ke mega–dan tidak mondar-
mandir dari dapur ke tempat tidur, memberi makan
dan menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu
sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun
sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami
igauanmu.”
Sumber: Buku Ayat-Ayat Api