“Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?”; sebuah stasiun
di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron
menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak
letihnya
meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja
kami sedang menanti kereta yang biasa tiba
setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda;
barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini
ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang
menanti-nanti;
hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras
tiba-tiba;
sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di
udara
sementara bayang-bayang putih di seluruh ruangan,
“Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku ke
mari?”
(1970)
di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron
menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak
letihnya
meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja
kami sedang menanti kereta yang biasa tiba
setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda;
barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini
ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang
menanti-nanti;
hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras
tiba-tiba;
sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di
udara
sementara bayang-bayang putih di seluruh ruangan,
“Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku ke
mari?”
(1970)
Sumber: Buku Hujan Bulan Juni.