Puisi Penyanyi Yang Pulang Dinihari Karya Joko Pinurbo

Ia melewati jalan yang sudah bosan
menghitung langkahnya.
Rambutnya menyimpan kunang-kunang.
Matanya ingin menggapai bintang-bintang.
Tak ada yang benar-benar mengenalinya
selain angin yang masih menyebutnya perempuan.

Perempuan itu tak mau menangis.
Air matanya sudah hanyut di sungai.
Dan meskipun sungai berulangkali meriuhkan keperihan,
arus air tak mau kembali mengulang detak jam.

Malam sekarat di balik gaun transparan
dan sisa waktu dilumatkan di ujung lengan.
Letupkan penyanyi, letupkan nada terakhir
yang belum sempat dihunjamkan.
Siapa tahu dada montok itu masih merindukan jeritan.

Tersaruk-saruk ia menyeret bayangan tubuhnya.
Gerimis hitam mengguyur wajahnya yang beku
sehingga bedak dan lipstik luntur
melumuri gaunnya yang putih.
Rambut coklatnya meleleh pekat.
Tapi singa luka itu tak mau pedih.
Mungkin hatinya merintih.

Maka kunang-kunang menggeremang di rambutnya,
bintang-bintang berkerlapan di matanya.
Ia menyanyi dan menari dan pinggulnya yang hijau
mengibaskan bayangan hitam orang-orang mati.
Tersuruk ia di sebuah tikungan
dan para peronda mau membawanya ke gardu.
Tapi singa luka itu menggeram nyalang
dan para lelaki dihardiknya pergi.

Hai perempuan, rumah mana bakal kautuju?
Awas hati-hati, di ujung jalan banyak polisi.
Ah sialan, dasar pemberani, sudah luka
masih juga menggoda. Tampaknya ia percaya
sebuah rumah setia menanti.

Seperti tamu asing, ia berhenti di depan pintu besi.
Plat nomor telah rusak, tak lagi mencantumkan angka.
Ia ragu apakah benar itu rumahnya.
Tapi ia masih ingat beha usang yang tergantung
di atas pintu, tanda sebuah dunia
atau sepenggal kehidupan masih menunggu.

Pintu besi telah mengunci diri,
menutup hati bagi tamu yang ingin singgah.
Daripada kaku dibalut embun pagi,
dipanjatnya pagar halaman berduri.
Seekor anjing menyalak nyaring
menggonggongi bau keringatnya yang asin.

Kembali ia termangu.
Ia ragu membuka pintu.
Ia takut pada pintu.
Baru setelah diketuk tujuh kali,
pintu hitam membukakan diri.
“Bukankah ini rumahmu?
Apakah engkau takut atau lupa samasekali?”
“Ya, ini memang rumahku.
Saban kali aku meninggalkannya,
saban kali pula harus mengenalinya kembali.”

Ia tertegun. Dadanya mengkerut
disepak dentang lonceng jam tiga pagi.
“Ah pintu, engkau lebih mengenal rumahku
ketimbang aku sendiri yang saban waktu merindukannya
dan kemudian meninggalkannya.
Barangkali studio-studio suara
dan panggung-panggung hiburan
telah membuatku jadi pelupa, jadi serba alpa.”

Perlahan ia melangkah ke ambang pintu.
Angin jahat menyingkap ujung gaunnya yang tipis.
Kakinya yang lembab melekat di lantai dingin.
Terasa dunia jadi lain, terasa dunia jadi lain.
Di dinding hitam sebuah topeng terkekeh-kekeh,
menyeringai menertawakan tamu asing
yang bertandang ke rumahnya sendiri.

Apakah ada malaikat yang selalu membawa anak kunci?
Kamar sudah menganga sebelum ia buka pintunya.
Dan di atas meja rias yang porak poranda
sebuah boneka masih menari-nari.

Astaga, ranjang hitam menggoyang-goyangkan diri.
Kelambu telah habis dibakar mimpi.
Sebuah radio tertidur pulas di bantal biru,
tak henti-hentinya mengigau dan meracau.
Wah, tampaknya ia tengah bercumbu dengan orang mati
yang menciptakan gelombang siaran dinihari.

Ah perempuan, yang merindukan kebangkitan musim semi,
kini tubuhmu tegak di hadapan cermin retak.
Bibirmu hangus dan mengelupas. Berdarah.
Berdarah-darahlah leher hijau yang diterkam musim panas.
Kau mengaduh. Aduh. Kepada siapa kau mengaduh?
Kepada tatapan yang hancur luluh?
Kepada cermin yang tak lagi utuh?
Wah, jidatmu yang legam dilayari kupu-kupu hitam,
diarungi cicak-cicak hitam. Serba hitam.

Perempuan itu samasekali tidak gila.
Tidak lupa pada jagad kata yang dihuninya seorang diri
tanpa cinta. Tidak sangsi dan benci pada janji-janji baik
yang diucapkan para kekasih yang mengurungnya
dalam lingkaran ilusi. Ia tidak gila.
Hanya sepi berkepanjangan, barangkali.

Dan ia benar-benar perempuan. Terbukti ia tabah,
tidak mudah menyerah pada keinginan murahan
untuk mencekik leher, memotong urat nadi.
Memang ia mengambil pisau dari laci almari,
tapi bukan untuk bunuh diri.
Ia cuma ingin menyembelih bayangan-bayangan hitam
yang berbondong-bondong di dinding legam.

Sebuah kamar bisa menjadi salon kecantikan.
Di sana ia bersolek, mengganti model rambut, alis
dan bulu mata agar setiap orang tergoda untuk pura-pura
tak mengenalnya sehingga ia bisa mendapatkan cinta baru
di atas kecantikan lama.

Demikian pula para lelaki
akan mendapatkan kejantanan kembali
pada tatapan yang sesilau kerlip api
setelah sekian lama dunia mereka miliki sendiri.
Ah lelaki, wajahmu tersipu malu disambar rayuan baru.
Lalu ia menyanyi di depan kaca almari.
Lagu-lagu lama disenandungkan kembali.
Kadang lebih merdu dari yang dinyanyikan di masa lalu,
lebih baru dari lagu-lagu terbaru.
Perempuan, kau memang hanya berlomba dengan waktu.

Tak usah ditunda lebih lama.
Bibir pedas sudah siap menerima lumatan.
Dan jika dada kenyal itu menggembung mengempiskan
hasrat-hasrat terpendam, kamar sempit siap menampung
gemuruh topan dan lalu badai kehampaan.
Tapi tak ada saat untuk menangis menggigit-gigit tangan.

Penyanyi, jangan meraung memukul-mukul dinding.
Ranjang hitam sudah menggeliat minta dekapan.
Cermin retak sudah kembali berdandan.
Tanggalkan gaun usang, cobalah menggelinjang.
Dentang lonceng jam tiga pagi tergelak-gelak
menyaksikan tubuhmu, sakitmu, yang telanjang.
(1991)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama