Puisi 30 Tahun Kemudian Karya Goenawan Mohamad

30 tahun kemudian mereka bertemu di restoran dekat danau.

Hujan dan kenangan berhimpitan, berbareng,
seperti lalulintas yang langgeng.

Terkadang badai meracau,
langit kian dekat, dan dari tebing dingin berjalin dengan basah
pucuk andilau

ketika mereka duduk berlima,
dengan tuak putih tua,

bertukar cerita tentang lelucon angka tahun
dan rasa asing pensiun,

mengeluhkan anak yang pergi dari tiap bandar
dan percakapan-percakapan sebentar.

Terkadang mereka seakan-akan dengarkan teriak trompet dari
kanal seperti jerit malaikat yang kesal

dan mereka tertawa. Sehabis sloki ketiga,
waktu pun berubah seperti pergantian prisma:

masa lalu adalah huruf yang ditinggalkan musim pada
marmar makam Cina.
Kerakap memberinya warna. Kematian memberinya kata.

Dan pada sloki ke-4 dan ke-5 mereka dengarkan angin susul
menyusul, seakan seorang orang tua bersiul

dengan suara kisut
ke bulan yang berlumut.

Pada sloki ke-6 mereka menunggu malam singgah dalam
topeng Habsi. Dan tuhan dalam baju besi.

30 tahun kemudian mereka tak akan bertemu lagi di sini.
(1996)


Sumber: Jendela Sastra.
Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama