Puisi Keroncong Kosong Karya A. Muttaqin

Wati, inilah peti mati yang kubawa
dari mimpi ke kota. Di dalamnya, aku
menyimpan kemarau, hujan, dan sebentuk
musim gugur dari malam yang prematur
bukalah, Wati,
bukalah...

(oh, langit yang berdarah, restuilah matanya
Agar demam malap tak membuatnya buta).

Darah yang mengering biarlah garing. Luka
yang busuk jangan dikutuk. Lihatlah, cinta
telah jadi mumi, dan rindu benar mati
bersama rerempah dan karbon monoksida.

Di sini,
wajah kopta seperti lelaki yang gelisah. Orang-orang
lalang dari kosong ke lolong, dari kolong ke sebuah keroncong:

ayat-ayat sampah, kaleng-kaleng soda,
ah, masih adakah jembatan layang dari mimpi ke plasa?

Waktu berlalu seperti pisau dan menebas
jantungku, gang-gang ngmabang dan meriang,
sementara langkahku hilang di jalan ambang.

Mungkin aku telah jadi hantu bersama gedung-
gedung yang kian jangkung, kian suwung.
Di pelataran tidurku, sepasang kamboja tumbuh,
Setinggi punuk lembu, setinggi merih cintaku,
Padamu.
(2006)

Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama