Dari pancaroba, dari musim panas nan bertuba, kutemukan selembar Putma: sebidang taman yang menyimpan kuncup madah dan kembang purba. Di tangkainya yang tengadah, tubuhku memerah seperti kuncup doa yang membakar mata senja. Tanganku pun berkobar,
terbakar sepasang mawar di dadamu yang mengajar
tak gentar, biar di luar, dua unggas besar menanti ajalku. Lalu, pada detik yang luput, pada waktu yang siput,
bulan jadi marmut, berjalan melompat seperti menyisipkan maut lain di atas ketelanjanganmu yang tak tersalin
sebibir cermin.
Birahi adalah beringin, ingin yang menusuk seribu dingin. Dan di atas angin, sepasang maut telah kawin, membikin langit dan nafasku serupa lilin.
(2008)
terbakar sepasang mawar di dadamu yang mengajar
tak gentar, biar di luar, dua unggas besar menanti ajalku. Lalu, pada detik yang luput, pada waktu yang siput,
bulan jadi marmut, berjalan melompat seperti menyisipkan maut lain di atas ketelanjanganmu yang tak tersalin
sebibir cermin.
Birahi adalah beringin, ingin yang menusuk seribu dingin. Dan di atas angin, sepasang maut telah kawin, membikin langit dan nafasku serupa lilin.
(2008)