Gilanya aku yang suka melukai perasaanku sendiri. Kita telah hidup dengan pasangan kita masing-masing, tetapi aku tak juga melenyapkan harapanku atas kebersamaan kita. Setiap kali kerinduanku memuncak, aku akan kembali mengunjungi akun media sosialmu, sembari berharap menyaksikan ketidakbahagiaanmu dengan suamimu. Tetapi kenyataannya, selalu sebaliknya, dan aku jadi makin sakit hati.
Mauku, kita berjodoh. Kukira, kita serasi karena satu pandangan soal keluarga yang ideal. Aku mengerti itu, sebab dahulu, saat kita mahasiswa, kita tergabung dalam organisasi sosial yang getol memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kita pun sepaham kalau laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mengaktualisasikan dirinya, termasuk dalam kehidupan keluarga.
Atas pandangan yang sama, kita pernah berdebat dengan seorang teman kita di sebuah komunitas penulisan. Itu terjadi pada satu malam, di sebuah warung kopi, saat kita berada di tahun ketiga perkuliahan, dengan kampus kita yang berbeda dengannya. Kita berargumen kalau laki-laki dan perempuan memiliki peran yang setara di dalam keluarga. Tetapi lelaki yang juga pengurus organisasi pergerakan berbasis agama itu, menentang keras.
"Sesat kalau kau berpandangan bahwa perempuan harus mengerjakan urusan domestik karena kodrat fisiknya. Itu anggapan yang kolot. Kami jelas tidak diciptakan untuk menjadi pelayan kaum laki-laki!" sanggahanmu, tegas, ketika teman SMA-mu itu menganggap kalau tidak ada yang perlu dipersoalkan perihal model keluarga ketimuran yang sudah menjadi kelaziman.
"He, aku tidak mengatakan kalau kodrat adalah dasar yang mutlak untuk melakukan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga. Pembedaan peran karena faktor fisik, khususnya dalam soal reproduksi dan perkembangan anak, memang salah satunya. Tetapi dasar utamanya adalah konstruksi sosial yang terjadi secara alami, yang tidak bisa dielakkan dan diubah begitu saja," tanggap lelaki itu.
"Jangan picik begitu," selaku. "Kalau nyatanya perempuan memang mengalami ketidakadilan dan gagal mengaktualisasikan dirinya secara baik akibat dominasi lelaki, ya, kita seharusnya melakukan gerakan perubahan, bukan malah berpasrah dengan mengatakan kalau pola itu adalah konstruksi sosial yang natural. Bagaimanapun, di tengah kehidupan yang berpaham patriarki, kaum lelaki pasti berupaya untuk tetap berkuasa atas perempuan."
Ia sontak menggeleng-geleng. "Mengatakan kalau kontruksi sosial itu adalah rancangan sistematis kaum lelaki, adalah tudingan tak berdasar. Sekian lama masyarakat hidup dengan pola bahwa laki-laki bekerja mencari penghasilan, sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan tentu tidak ada yang salah kalau masyarakat secara umum masih menganggap itulah yang terbaik untuk kelangsungan dan kebaikan keluarga mereka."
Dengan ketidaksepahaman, kau lalu mendengkus kesal. "Lalu, apakah kita hanya akan berdiam diri kalau tatanan yang kau katakan sebagai konstruksi sosial itu, nyata-nyata menimbulkan ketidakadilan karena membuat kaum perempuan tidak bisa mengaktualisasikan dirinya sebebas kaum lelaki? Apakah selamanya perempuan harus rela berada di bawah telapak kaki kaum lelaki? Kau benar-benar bebal kalau berpikir begitu!"
Ia tertawa pendek, seolah meremehkan. "Sebenarnya, ketidakadilan terhadap perempuan yang kalian tuduhkan atas konstruksi sosial yang kuyakin terbentuk secara alami itu, pada sisi yang mana? Kalian merasa tidak adil kalau perempuan mengerjakan perkerjaan domestik di dalam rumah dan dan laki-laki melakoni pekerjaan apa pun untuk mencari nafkah di luar rumah?"
"Ya. Bukankah memang tidak adil kalau perempuan terpaksa harus mengubur mimpinya berkarir dengan profesi yang dicitrakan sebagai pekerjaan lelaki? Bukankah tidak adil kalau perempuan pasrah untuk mengurus pekerjaan rumah tangga hanya karena ia seorang perempuan, atau bahkan terpaksa melakukannya karena desakan para lelaki yang selalu merasa memiliki kuasa yang lebih di dalam keluarga?" timpalku.
"Tetapi bagaimana kalau keadaan semacam itu terjadi bukan atas paksaan siapa-siapa, tetapi merupakan hasil kesepakatan di dalam keluarga, atau bahkan kesadaran dan kemauan seorang perempuan sendiri karena merasa itulah yang terbaik untuk keluarganya? Apakah itu tetap dianggap tidak adil?" balasnya, tampak menantang.
Kita lalu saling memandang, seperti saling mempersilahkan untuk memberikan tanggapan.
"Ya, keadaan itu tetap tidak adil karena terjadi akibat persepsi yang tidak adil," katamu kemudian, dengan nada tegas. "Jelas, perempuan tidak akan selalu rela dan mengalah begitu saja untuk berkalang dalam urusan domestik kalau masyarakat berpikiran terbuka dan tidak lagi memiliki stereotip negatif, bahwasanya, kalau perempuan bekerja dan lelaki mengurus rumah tangga, adalah keadaan yang tidak sepantasnya."
"Nah, itulah yang kukatakan sedari awal, bagaimana kalau itu terjadi karena konstruksi sosial yang terjadi secara alami? Kita jelas tak bisa menyalahkan siapa-siapa jikalau secara umum, masyarakat memang masih menilai kalau sebaiknya perempuan mengerjakan perkerjaan rumah tangga, sedangkan lelaki bekerja mencari rezeki di luar rumah," balasnya, kemudian tersenyum lebar, seolah merasa menang.
Kau jadi tampak dongkol.
Aku lalu kembali menyela demi mempertahankan pendapat kita, "Pandanganmu benar-benar kolot. Kau pasrah menerima kenyataan dengan menilai kalau tatanan yang membunuh impian kaum perempuan untuk berkembang adalah keadaan yang mesti diterima. Kau seharusnya lebih kritis agar kau bisa memahami bahwa kaum perempuan membutuhkan kesempatan sebesar kaum lelaki untuk berperan dalam berbagai bidang kehidupan di luar persoalan rumah tangga."
"Lah, siapa yang menghalang-halangi kaum perempuan untuk berkarir dan berkembang di luar rumah? Aku pun tidak. Aku sama sekali tak masalah kalau suatu saat, secara alami, konstruksi sosial berubah, bahwa laki-laki sebaiknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan perempuan bekerja mencari rezeki. Kalau pun kalian mau melakukan gerakan yang sistematis untuk itu, ya, silahkan saja. Tetapi setidaknya, ubahlah pandangan dan tatanan yang kalian anggap tidak adil itu di dalam lingkup keluarga kalian terlebih dahulu," tanggapnya, kemudian tergelak dengan raut mengolok.
Melihat responsnya, kau pun merengut saja. Kau tampak malas untuk kembali menentang dengan kata-kata.
"Pikiranmu benar-benar sempit. Kau belum bisa memahami kalau konsep konstruksi sosial yang kau katakan terjadi secara alami itu, sebenarnya terbentuk secara sistematis melalui aturan-aturan hukum yang memaksa perempuan berpasrah menjadi pengurus rumah tangga. Dengan picik, lembaga legislatif yang didominasi kaum lelaki, membuat aturan hukum tanpa kehendak untuk menciptakan keadaan yang aman dan nyaman bagi perempuan untuk berkarir di luar rumah," tukasku, lantas melepaskan gelakan untuk mengesankan perlawananku.
"Lah, kalau kalian memang menganggap keadaan itu terjadi secara sistematis, ubahlah juga secara sistematis. Silakan kalian menyuarakannya dan mengupayakan melalui jalur politik. Tetapi, ya, semestinya, tetap dengan prasyarat tadi, bahwa, kalau di tataran keluarga saja kalian tak berdaya melakukan perlawanan, ya, tak usah mengharapkan perubahan pada taraf yang lebih luas," tantangnya, tetap dengan sikap congkak.
Merasa kalau ia kukuh dan tidak akan mengubah pandangannya dengan dasar apa pun, aku akhirnya memilih untuk berhenti membalasnya.
Ia lalu menyesap kopinya, lantas menyambung, "Pada dasarnya, semua konstruksi sosial, terbentuk dari tataran keluarga. Dan kenyataannya, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga, merupakan urusan internal setiap anggota keluarga. Yang jadi masalah adalah keinginan kita agar keluarga orang lain hidup dengan tatanan keluarga kita. Lebih gila lagi kalau kita memaksakan pemberlakuannya karena kita merasa kalau itulah yang terbaik."
"Semoga saja, kelak, saat kau berkeluarga, istrimu bisa hidup bahagia dengan pendanganmu yang diskriminatif itu!" ketusmu, lantas melengos.
Ia malah tertawa. "Amin. Aku pastikan begitu. Apalagi aku memahami kalau perasaan tidak adil dalam soal pembagian peran di dalam keluarga, hanya mungkin terjadi kalau anggota keluarga tidak saling menghargai peran masing-masing. Karena itu, kelak, aku akan menghargai peran istriku, apa pun itu, agar ia pun meghargaiku. Ya, semoga juga, kelak, kau bisa menemukan pasangan yang bisa menghargai peranmu," pungkasnya, lalu menggoyang-goyangkan keningnya, seperti bermaksud merendahkan pandanganmu.
"Ah, sialan kamu, otak patriarki!" pungkasmu, kemudian membuang muka.
Dengan kesal, kau lalu berdiri dan memintaku untuk mengantarmu pulang. Dan akhirnya, tanpa pamit, kita pergi dengan menunggangi sepeda motorku, meninggalkan sang lelaki yang kita nilai memiliki pemikiran yang tertutup.
Begitulah hubungan kita dahulu. Kita begitu dekat sebagai sepasang sahabat. Kita berbagi pandangan perihal apa saja, termasuk soal kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan, khususnya di dalam keluarga. Dan yang kutahu, kita memiliki pandangan yang sama soal itu, bahwa suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama di dalam keluarga, termasuk dalam mengurus pekerjaan domestik atau mencari rezeki.
Atas kedekatan kita, aku akhirnya jatuh hati kepadamu dan berkehendak untuk menikahimu. Bukan saja karena rupamu, tetapi juga karena pemikiranmu. Namun aku memilih memendam perasaanku sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Aku hanya terus membersamaimu sembari mencari pertanda yang jelas kalau-kalau kau pun menginginkanku lebih dari sahabat. Aku tak ingin sekonyong-konyong mengutarakan cintaku kepadamu, sampai kau menolakku, lalu aku kehilangan sahabatku sekalian.
Hingga akhirnya, kita lulus kuliah. Kita masih kerap bersama pada masa-masa awal kita mendapatkan gelar sarjana, terutama untuk mengurus berkas-berkas di kampus demi mencari pekerjaan. Namun setahun kemudian, ketika kita sama-sama belum mendapatkan perkerjaan yang baik di tengah persaingan kerja yang makin ketat, kita pun terpisah jarak. Aku pulang ke kampung halamanku untuk membantu orang tuaku mengurus kebun, dan kau tetap di kota kenangan kita yang merupakan tanah kelahiranmu. Aku pulang membawa harapanku untuk menikahimu, dan kau tak mengetahuinya sama sekali.
Tetapi di tengah impianku atas kebersamaan kita, di tengah kegagalanku mendapatkan pekerjaan yang pantas untuk gelar sarjanaku, kenyataan yang pahit datang menderaku. Secara tiba-tiba, melalui Instagram, kau mengirimkan undangan digital pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak pernah kusangka-sangka akan bisa menaklukkan hati dan pikiranmu; seorang tentara dengan pemikiran yang bersifat patriarki; seorang yang pernah menjadi lawan debat kita soal kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga.
Atas pernikahanmu, aku akhirnya menyadari kalau prinsip dan cita-cita saat kuliah, memang tidak akan berguna setelah berhadapan dengan realitas kehidupan yang keras. Buktinya, kau yang dahulu sangat anti terhadap orang yang berpandangan patriarki, terutama orang berlatar militer yang kental dengan sikap keras dan otoriter, malah menikah dengan seorang tentara yang kau tahu jelas memenuhi semua ciri-ciri yang engkau benci itu.
Akhirnya, aku hanya terus menyimpan perasaan cintaku kepadamu. Setiap kali aku merindukanmu, aku hanya akan mengintipmu di laman media sosialmu. Aku sering melakukan itu, meski aku akhirnya menyaksikan kenyataan yang menyakitkan: tentang penampilan dirimu yang banyak berubah atas kelihaianmu berdandan; tentang kesibukanmu mengurus pekerjaan rumah; tentang keasyikanmu bermain dengan putrimu; tentang kesetiaanmu mendampingi suamimu pada acara-acara kedinasannya.
Seiring waktu, aku yang menggantungkan hidup pada sepetak kebun peninggalan ayahku, terus belajar untuk menerima takdir bahwa kita tidak akan bisa lagi menjadi pasangan hidup. Karena itu, demi meredam hasratku untuk hidup bersamamu, aku pun memutuskan untuk menikah dengan perempuan sekampungku yang bekerja sebagai bidan desa.
Kini, aku menyaksikan kenyataan yang tidak pernah kubayangkan, bahwa tatanan keluarga kita jauh berbeda. Kau dan suamimu hidup dengan tatanan yang konservatif: suamimu mencari nafkah, dan kau mengurus rumah tangga. Sebaliknya, aku hidup dengan tatanan yang kita cita-citakan dahulu: aku bekerja sebagai petani dan istriku bekerja sebagai bidan, tetapi kami tetap berbagi peran untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan anak. Kau tampak telah menguburkan idealismemu soal kesetaraan peran di dalam keluarga, sedang aku terpaksa mempertahankannya.
Di tengah renunganku atas kehidupan kita, aku lalu keluar dari khayalan dan kembali menatap kenyataan hidupku setelah mendengar tangisan putra kecilku. Tetapi aku memilih untuk tetap duduk di teras depan rumah dan melanjutkan sesapan kopi buatanku sendiri, sembari bertekad ke kebun untuk menyemprot buah kakaoku yang penyakitan. Aku berharap saja istriku akan segera menenangkan dan mengurus anak kami yang belum genap berusia satu tahun itu.
Tetapi sejenak berselang, istriku muncul di gerbang pintu dengan pakaian dinas dan langkah buru-buru. "Pak, aku ada penataran di kantor kecamatan. Tolong jaga Fadil, ya," pintanya, kemudian menyambung. "Oh, ya, jangan lupa mengganti popoknya dan meminumkannya susu."
Dengan perasaan malas, aku mengangguk pasrah.
Istriku lantas pergi dengan menunggangi sepeda motor.
Untuk kesekian kalinya, aku kembali mengurus anakku, dan mungkin akan kembali menunda pekerjaan kebunku.***