Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu. Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda.
“Antar aku dulu menengok abangmu,” ujar beliau saat kujemput di SoekarnoHatta. “Besok-besok aku menginap di rumah si Nina.” Ia selalu menyebut rumah anak lelakinya dengan nama menantu, dan memanggil anak-anak kami “cucuku”. “Nina dan cucu-cucuku sehat?”
“Sehat,” kubilang. “Baiknya Bunda istirahat dulu. Nanti sore kuantar….”
“Tak penat aku!” tukasnya keheng, keras kepala. “Terus sajalah.”
Aku lalu diam dan terus menyetir. Kapan pula dia merasa penat? Meski umur 80 dan tubuh makin ciut, stamina dan kegesitannya seolah tak berubah. Masih keliling ke berbagai kota bahkan pulau; melihat anak, cucu, dan cicit. Masih pasang mata dan telinga baik-baik, mengikuti perkembangan mereka. Di hari baik bulan baik bagi yang bersangkutan (ulang tahun, naik kelas, tamat kuliah, naik jabatan), melayang suratnya dengan tulisan halus-tebal model masa lalu. Isinya ucapan selamat, doa, harapan, juga nasihat. Tempo-tempo, jika ia tahu, terlibat pula dia menyelesaikan beragam masalah.
Makanya, kadang kubayangkan urat saraf bunda lebih rimbun dan juga lebih canggih dari kami, tujuh anaknya, yang semua sarjana bahkan dua doktor pula. Urat-urat saraf itu tak henti berdenyut, seperti jantung kita, atau kedap-kedip serupa kabel di pusat telepon. Tiap denyut adalah pantauan sekaligus hubungan dengan anak, cucu, dan cicit yang makin banyak. Dengan masalah yang juga tambah banyak. Justru itu, telah lama kami hindarkan kabar buruk dari beliau, menutup-nutupinya, karena belum siap melihat denyut itu tiba-tiba terhenti. Namun abangku, Palinggam….
Aku menarik napas, sambil terus melaju di jalan tol. Apa yang bakal terjadi ketika bunda berjumpa abangku itu nanti? Tanpa sadar aku menggeleng, tidak berani membayangkan. Dan saat kulirik ke samping, mata bunda terpejam. Tapi, pasti beliau tidak tidur. Merenung? Berpikir-pikir? Lewat kaca spion, kulihat keponakanku di jok belakang. Senyam-senyum, manggut-manggut, agaknya melantunkan nyanyian riang dalam hati, laiknya anak muda.
“Libur kau, Man?” tanyaku mengalihkan pikiran yang melayang saja ke mana-mana.
Ia tergeragap. “Oh. Ya. Libur, Om. Seminggu!”
“Kuliahmu lancar?”
“Lancar.” Ia cengar-cengir. Tahun lalu, seminggu ia menginap di kantor polisi. Seluruh keluarga heboh, panik. Di kantong celana kawannya ditemukan polisi ekstasi. Mereka semobil, berempat. Semuanya digaruk. Bunda tentu tidak diberi tahu. “Sudah dua hari tidak kulihat cucuku, si Herman. Ke mana dia?” tanya beliau suatu pagi.
“Naik gunung,” jawab Kak Leila. “Diajak kawan-kawannya.”
“Cuaca buruk, kau biarkan anak naik gunung?”
“Ala, tak apa-apa Bunda,” adikku Rosa menyahut. Maksudnya membantu Kak Leila. “Biasa itu, anak laki-laki.”
“Eh, sejak kapan alam berubah hanya memperdaya perempuan?” ujar bunda.
Rosa langsung diam, ingat suami yang jarang pulang. Kak Leila berpura sibuk. Dan saat Herman pulang, nenek yang risau itu memanggilnya, berucap lunak, “Elok-elok kau jalani umur muda Herman. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak mengundang datangnya mudarat. Lihat, kurusnya engkau. Pucat pula, serupa mayat!” Herman kabarnya menangis, ingat pengalaman bermalam di kantor polisi.
Mata bunda kulihat sudah terbuka lagi, menatap aspal jalanan yang berpendar disinari matahari pagi. Dan kendaraan-kendaraan yang berkilau seliweran di jalan tol. Kami sudah di Jelambar, tak lama lagi Grogol. Lalu Slipi.
“Kurang dingin AC-nya Bunda?”
“Cukup.” Dan diam lagi, memandang jalanan.
Apa gerangan yang terlintas dalam pikirannya? Anak cucu yang tak membawa kabar baik, pada usia senja? Merasa gagal, sebab sendiri saja membesarkan kami? Ah. Betapa ingin kusampaikan bahwa dia ibu yang perkasa, tangguh, dan berhasil. Tujuh anak yang masih sekolah saat suami wafat telah ia bekali, disekolahkan hingga tinggi, dengan uang hasil pensiun serta kedai rempah. Agar mereka jadi manusia. Masalah kami hari ini dengan begitu tak perlu lagi menjadi beban beliau. Pun ulah cucu, anak-anak kami. Atau, baginya tugas ibu tamat seiring perginya hayat dari badan? Sebab di situ beda ibu manusia dengan induk ayam dan kucing, seperti pernah dia ucapkan?
“Bagaimana abangmu sekarang?” Bunda melepas pandang dari jalanan.
“Baik saja. Tak apa-apa,” kubilang.
“Masuk rumah sakit, dituduh korupsi, kau bilang tak apa-apa?” suaranya bagai berasal dari tempat yang jauh. “Apa maksudmu?”
“Maksudku, o, pulang dari rumah sakit.” Tiba-tiba aku jadi gugup. Dan bunda menyergap pula, “Sudah pulang abangmu dari rumah sakit? Pura-pura sakit saja dia, seperti orang-orang itu?”
Aku makin gugup. Ingin kencing. Dalam hati kembali kumaki-maki abangku, Palinggam. Dan bunda tetap menoleh, menanti jawaban. Syukur, HP-ku lalu berbunyi. Dari istriku. “Sudah, sudah,” kubilang. “Lagi di jalan. Bunda? Sehat. O, bicara sendiri saja.” Kusodorkan HP ke bunda. “Nina, Bunda. Mau bicara.” Mudah-mudahan lama, tambahku tanpa suara. Obrolan panjang. Biar dia lupa bertanya.
Lalu, suara bunda: “Nina? O, sehat Nak. Alhamdulillah. Ini, masih kuat aku ke Jakarta. Kalian bagaimana? Syukurlah. Mana cucu-cucuku? Oh. Kau sudah di kantor! Bawa mereka nanti ke rumah kakakmu Andamsari. Ya? Besok-besok, Nak. Aku lihat abang kalian itu dulu….”
“Apa kata Nina, Bunda?” Kudului dia bertanya saat pembicaraan itu berakhir.
“Biasalah,” ia bilang. “Tanya kesehatanku. Eh, sibuk benar kudengar istrimu.”
“Nina manajer pemasaran, Bunda.”
“Dan kau sibuk pula. Sering ke luar kota. Ke luar negeri juga. Terpikir olehku, Nak, masih punya waktu kalian buat cucu-cucuku?”
Aku tertegun. Kemudian tertawa. Namun boleh jadi berlebihan, karena bunda lantas bertanya, “Mengapa kau ketawa?”
“Tentu punya waktu,” kataku. “Buktinya aku kini tak ke mana-mana, Bunda.”
“Bukan hanya karena hendak menjemputku?”
Aku menggeleng. “Syukurlah,” ujarnya. “Aku cuma khawatir. Cucuku, si Aya, sudah gadis bukan? Sudah SMP. Jangan pula dia alami seperti keponakanmu, Aida.”
Aku diam kembali. Anak gadis kakakku, Aida, sekali waktu lenyap dari rumah mereka di Batam. Kakak dan abang iparku kalang kabut. Mereka tahu sehari setelah kejadian, pulang dari Singapura. Dicari serta ditanya ke mana-mana, Aida tak jumpa. Semua saudara dihubungi, termasuk Kak Meinar di Medan dan kami di Jakarta. Aida, siswi SMU kelas dua itu, ditemukan adikku Rafli di pantai Padang, bersama pacarnya. Syukur dua remaja itu sungguh sekadar berjalan-jalan. Tapi, bunda yang tadinya tidak tahu curiga melihat semua orang sibuk kasak-kusuk. “Jangan kalian berahasia lagi. Ceritakan apa yang terjadi!” katanya meradang.
Ketika kejadian itu diceritakan setelah diedit dibagusi, alis bunda tetap bertaut. “Kakak-kakak kalian itu yang salah jalan!” ujarnya keras. “Sibuk terus. Harta meruah, tak juga puas. Anak dibiarkan tumbuh sendiri. Tahu kalian, hah, anak ayam saja tidak seburuk itu nasibnya!”
Kami sudah tiba di Semanggi. Aku berbelok, meluncur mulus ke Kebayoran, bebas dari sesak kendaraan yang padat-merayap ke arah Thamrin-Kota. Dan, rumah abangku sepi saja di luar. Pagar maupun gerbangnya tertutup, seperti biasanya. Tetapi di halaman dalam terlihat sejumlah orang. Termasuk polisi, tanpa seragam. Mungkin berjaga-jaga dari demonstran, atau khawatir abangku raib tak ketahuan rimbanya.
Aku terus melaju ke sayap kanan, berhenti di tempat parkir khusus keluarga. Kakak iparku, Andamsari, sudah menanti di teras. Lalu ia mendekat. Memeluk bunda, menangis tersedu. Pembantu bergegas mengangkut bawaan bunda. Aku tergopoh ke toilet, melepas urine yang hendak meledak. Dan HP-ku kembali bernyanyi. Nina lagi. “Sudah sampai belum?”
“Sudah, sudah.”
“Bagaimana bunda? Bang Palinggam, Kak Andam?” tanyanya antusias.
“Belum tahu. Aku di kakus, kencing.”
“Dasar!”
“Tapi kayaknya tidak apa-apa. Bunda sekarang tampaknya banyak diam. Nanti saja aku kabari.”
Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Acara bertangisan agaknya telah usai sewaktu aku mendekat ke ruangan itu. Suara Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan. “Namun hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila mendustai Bunda,” dia bilang.
“Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?”
“Tidak sesederhana itu, Bunda.”
“Di mana rumitnya?”
Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik napas, melihat bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. “Aku punya atasan, Bunda,” ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak, hampir menyerupai bisik. “Aku punya kawan. Aku juga kader partai.…”
Bunda diam. Juga aku serta Kak Andam. Dan lapat-lapat kudengar suara sunyi merayap, entah dibawa udara dari bumi yang mana.
“Tak paham aku soal-soal begitu, Palinggam,” sahut bunda kemudian. “Tetapi bagiku, Nak, yang benar harus disampaikan sekalipun pahit. Kalaupun akibatnya kau diberhentikan bekerja, dipecat partaimu, bagiku itu lebih baik daripada kau berkhianat pada kebenaran, pada hatimu sendiri. Juga kepada Tuhan. Dan negeri ini, yang sedikit banyak ikut dibela ayahmu dari penjajah.”
Bang Palinggam terpana menatap bunda. Matanya perlahan berkaca-kaca. Dia menunduk. Mengangkat muka lagi, memandang bunda. Rasanya, aku tahu sekarang dari mana sunyi itu berasal.
“Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu.” Bunda mengedarkan senyum, juga kepadaku. “Apalagi kau, Palinggam, kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya.”
Sampai di situ mataku terasa jadi panas. Mata Bang Palinggam kian berkaca-kaca. Dan aku merasa, itu isyarat dari abangku; bagai kelap-kelip mercu suar di malam gulita penuh badai.
Sumber: Kumpulan Cerpen Kompas.