Puisi Kejadian 38:7 Karya Avianti Armand

Tetapi Er, anak sulung Yehuda itu, adalah jahat di mata Tuhan,
maka Tuhan membunuh dia.


Menjelang subuh, mereka mengurapi tubuhku
dengan wangi kemenyan dan membasuhnya
dengan minyak narwastu.
Sejak itu, ia bukan lagi milikku.
Seorang Kallah telah jadi.

Di antara ranum susunya diselipkan
sebungkus mur. Bibirnya sejalin
pita kirmizi. Dari biang malam dijumput celak
penghitam mata dan mimpi dikikir
dari kuku jari. Lalu mereka menabur emas
di mangkuk gelas dan manik perak
pada kerincing lengan untuk menghalau
masa lalu.

Lewat tengah hari, sehelai kain dilekapkan
ke wajahnya. Ke sayapnya.
Dan ia tak terbang lagi.

Di ambang pintu ada kabar yang menanti.

“Mempelai datang! Mempelai datang!”

Perempuan-perempuan bergegas menebar
daun-daun palma di jalan dan di ruang ini
mencawiskan puja-puji.

“Moleklah pipimu di tengah permata
dan lehermu yang dibuhul seutas nama."

Setelah itu pesta rebak. Rebana terdengar.
Tubuh-tubuh bergerak. Warna terserak.
Senyum berenang di alir arak dan gendang mendetak-detak.

Di pelaminan, sebuah pertunjukan boneka.
Tapi di balik cadar tak ada apa-apa.

Apa yang kumengerti?

Hari yang tak akan usai akan mendorong mereka
ke dalam ruang tak bernetra.
Lalu hanya aku yang tahu
segala sesuatu setelah itu.

Pasir. Pasir. Namaku.

Pada detik itu
Tamar gemetar oleh gentar dan gairah.
Susut oleh takut
dan remang sumbu. Tapi di tanah
ada jejak tanda tanya
yang mendekat.

Lalu mereka berhadapan.
Chatan dan Kallah.
Lelaki itu menjamah
Mata. Pipi. Bibir. Leher. Lalu –

“Ini?”

“Susu,” jawab perempuan itu.

Lelaki itu pun menunduk, menjulurkan lidah
dan melingkari puting dengan ujungnya
yang runcing. Lalu seperti bayi
mengulumnya.

Perempuan itu seketika berubah:
pohon kurma dengan gugus buah
yang menggelantung
dan menetes-neteskan madu
dan getah dari bawah.
Minyaknya lebih harum dari segala macam rempah
yang ia rekah dan mabuk.

Mereka mabuk
dan belajar bahwa
kulit hanya jangat dari sesuatu
yang sangat asing
dan rentan,
mungkin binatang yang melenguh saat disentuh,
daging liat dan magma yang tak mati
bahkan di beku dini hari.

Lelaki itu terengah,
guruh menggeram, dan tiba-tiba
bintang-bintang terlepas
gagap menyelusup
ke lipatan langit.
Pasir yang brutal menarik mereka ke satu
titik hitam yang menakutkan
tapi indah.

Ketika tanah seperti rekah
dingin naik merayapi tengkuk. Lelaki itu gemetar.
Sesuatu dalam tubuhnya akan meledak
dan mereka akan bersama
meledak.

“Aku takut.
Mungkin aku mati.”

Er terisak.
Dari antara kakinya menetes-netes panas
yang mengalir ke depan pintu.

Tapi perempuan yang telah tersingkap auratnya itu
masih semu merah. Ia berseru:

“Siapakah engkau yang merenggut hakku atas benih?”

Dan perempuan itu berdiri.
Ia tiang awan hitam yang limbung.
Ia jatuh
dan pecah
jadi keping
dan keping jadi gagak
yang mengepak gugup
ke arah lelaki itu,
merutuk, mematuk, hingga
dari antara kakinya menetes-netes merah
yang mengalir ke depan pintu.

Selebihnya subuh.
Dan matahari yang patuh menyeka kembali
jari-jarinya.

Perempuan itu membaringkan tubuhnya
dan mengatupkan mata yang lelah.

Di langit timur, terbuat nubuat,
“Tuhan adalah tangan yang terayun. DitebasNya
siapapun yang jahat di mataNya.”

Ia memang berkata: “Aku adalah pedang.”

Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama