Puisi Menit Karya Avianti Armand

Di kotak telepon, cahaya membiru seperti memar.
Di dering ketiga, kita sama-sama tahu –
huruf-huruf setebal kitab itu tak akan bersahabat.
Cuma nama-nama yang tak kita kenal.
Dan siklus yang tak putus dari perpisahan,
hujan, musim panas dan insomnia.

Suatu hari seseorang menunjuk arloji di tangannya dan berkata, ia akan mengingatku di menit itu selamanya. Sejak itu, selalu ada yang membersihkan jam di ujung lorong agar tak jadi abu.

Enam belas april. Jam tiga siang tahun lalu. Ingatkah kamu?

Tidak. Tapi menjelang malam,
akan ada jalan yang basah
dan trem yang membelah.
Aku telah membeli tiket untuk menjemput
menit yang mati yang terselip di obituari
surat kabar hari ini.
Kamu memang tak akan datang.
Siluetmu saja yang kerap berhenti
di depan titik hilang.
Dan tepat di atas besi penutup jalan,
perpisahan terjadi lagi, hujan jatuh,
dan musim panas tertinggal.
Sesudahnya, kamu tahu, kita takkan sanggup mengingat apa-apa.

Seperti apa matahari tenggelam hari itu?

(17 Januari 2010)


Sumber: Buku Tentang Ruang (2016).
Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama