Cerpen Tingkap Peranginan Karya Pinto Anugrah

1.
Sepotong kata yang kau kirim. Kubaca denyut bibirmu.

2.
Kuayun langkah sepagi ini. Menelusuri kata yang pernah kau lesatkan. Aku meniti. Angkuh. Sepi yang menyepi. Dan apa arti sebuah pengertian, dalam tiap lekuk liuk jalan yang tengah kutelusuri. Seperti tersesat, aku melihat bayangku sendiri yang menepi di tepi jalan. Berteduh di bawah beringin muda yang meneduhi jalan.
Ketakutan, apa masih ada dalam diriku, Lenggo! Setelah benar-benar kubunuh. Bukankah kau sendiri yang menyaksikan. Ah, bukan menyaksikan, kau juga terlibat dalam pembunuhan itu, kita, kita berdua.
Di pinggir batang Tarok, waktu itu, kita melepas dari keramaian, dari dendang dan gurau selalu melempar riang. Saat kokok Kinantan lantang di Ranah Bungo Setangkai. Gelanggang pun menjadi riuh. Halaman Titah yang penuh sesak. Hela, kita pun menyusup dan kembali menyisip.
Bukankah seperti yang kau inginkan. Kita pun ikut membuat tingkah di bawah batang Tarok di pinggir Batang Bongkahan. Dan ujung kaki menjuntai dan terendam pada telaga mata air di dekatnya. Dingin. Walau cerita tetap mengalir dari bibirmu.
Begitu jauhkah ia mengalir? Tidak, Lenggo. Tidak ada hitungan jauh baginya. Ia akan terus mengalir, walau ada yang membendung. Ia akan menyusup dan menyisip seperti kita. Tidakkah begitu, walau sebenarnya tidak ada yang membendung kita.
Hanya aku, hanya aku, Lenggo. Aku terbendung oleh hatiku sendiri. Lihat! Aku telah berusaha agar kau selami. Tapi kau selalu berkecimpung, seperti tak ingin tenggelam. Oleh titah yang membuatmu selalu ingin ke tepi. Dan seperti jenjang rumahmu yang tersusun dari batu-batu, aku letih untuk menapaki.
Aku tak mau bergegas. Destar merah itu masih melilit di kepalaku. Aku tak mau destar ini jatuh begitu saja ke tanah. Akhir-akhir ini selalu hujan. Begitu lebatnya, banyak genangan-genangan air di tanah. Dan aku tak mau destar ini basah dan kotor. Aku tak ingin mencucinya dan memang tak akan kucuci.

***

“Pergilah, jika kau tak mau mencuci kaki sebelum naik ke rumah!”

***

Tingkap peranginan. Mendungpun memayungi. Aku memandang dari balik jendela. Angin membelai rambutku. Tapi kenapa tiba-tiba menghempas. Setiap peranginan yang dikirim. Atau barangkali aku memang telah merasa terbuai oleh peranginan ini. Tidak, aku ini resah, bukankah itu telah tergaris.
Jauh, aku melihat garisnya, bukan garis hujan. Membentang seperti garis pembatas. Dan memang kuakui, aku tak pernah mengirim kokok Kinantan ke sana. Terlalu jauh, Lenggo. Kinantan butuh istirahat setelah melakukan perjalanan jauh.

***

Lenggo, maaf, sejak kepulanganku dari perjalanan yang Bundo restui. Aku tidak lagi memanggilmu “Lenggo”. Kau lebih pantas dipanggil “Puti”. Bukankah itu suatu kehormatan, dan kau memang pantas menjadi terhormat.
Lahir dari Panitahan yang terhormat dengan penuh titah bagi semua orang.
Juga titah bagiku. Karena titah aku mendapat kesempatan. Kau ingat destar merah yang pernah kuceritakan? Itulah kejujuranku, Puti. Aku dapat menyusup karena anggukan titah dan angkuhnya titah. Mungkin kau akan mengerti kemudian. Dan, tolong, jangan pengertianmu itu karena titah. Titah membuatku tertatih.

***

Mereka telah mengasing, mengirap ke langit. Tapi sebenarnya akulah yang merasa terasing. Aku yang pantas mengirap. Peranginan ini tidaklah membuatku tenang, Puti. Tidakkah kau merasakan keterasinganku. Hanya kau yang kuharapkan, setelah ia juga ikut mengirap dan meninggalkan sesuatu yang membuatku cemas.
Haruskah kurawat sendiri, Puti? Tidak bisakah kita membesarkannya bersama. Kaulah perempuan terakhir yang kuharapkan. Ya, kaulah bundo itu sebenarnya.
Bundo yang benar-benar memikirkan ranah kacinduan ini. Bundo yang setia dengan segala titahnya. Yang memberikan air pesusuannya buat pewaris yang benar-benar kucemaskan.
Ah, Puti, apakah aku benar-benar telah merasakan peranginan ini? Tolong kau katakan, hanya kau yang mengerti akan kesepianku. Dan keterasingan yang menyelimuti seperti kabut di Bukit Tambun Tulang itu.
Seharusnya telah dari dulu kupotong tingkap ini. Biar gonjong itu kembali menjadi sembilan. Dan tidak ada lagi tangga menuju peranginan.
“Pergilah, jika kau tak mau mencuci kaki sebelum naik ke rumah!”
Bisik yang selalu membuatku ragu. Tak pernah terpikirkan dari dulu. Kini baru kusadari, seharusnya aku mendengar dan kuselami makna. Seperti arit-arit tambo yang selalu diceritakan Bundo sebelum aku tidur. Dan kini, aku benar-benar tertidur dibuatnya.
3.
Tingkap peranginan. Ia yang kini telah lusuh. Terasing. Dari balik bingkai jendela, wajah tuanya meleleh menatap hamparan pesawahan. Dan gerak bibirnya yang tak lagi bisa berteriak lantang.
Tidakkah ia mendengar kabar. Kemarin senja, seekor rama-rama telah hinggap di kisi jendela. Adakah ini sebuah pertanda. Setelah sekian banyak pertanda tak pernah ia percayai.
“Pergilah, jika kau tak mau mencuci kaki sebelum naik ke rumah!”
Ia, lagi-lagi mendengar bisik itu. Perempuan dengan kesendiriannya, akankah ada seorang laki-laki yang akan menaiki tangga rumahnya. Lalu mengapa kata pengusiran selalu menggerakkan bibirnya, hanya kata itu.
“Pergilah, aku tak seperti Lenggo-Lenggo sebelumku! Rama-rama yang kau kirim tidaklah sanggup mengusikku. Bahkan aku tidak akan beranjak dari balik jendela ini. Biar aku dapat melihat kau sedang berlari menuju tangga rumahku!"
“Tidak, aku tidak akan membalik lembaran-lembaran usang itu. Biar aku mengirap juga seperti mereka. Dan keterasingan ini, tidak hanya kau yang punya. Aku, aku juga. Puti Lenggogeni, yang telah terasing setelah ratusan tahun. Dan kini, biarkan aku benar-benar merasakan keterasingan itu."
“Akan kukubur nama ini untuk selamanya. Biarkan aku yang terakhir. Dan yang akan menampung semua pongahmu dan membuatmu benar-benar menjadi kacinduan."
“Jadi, kau tidak perlu lagi berlari ke tangga rumahku. Dan tangga tingkap ini, telah kupotong, seperti aku memotong namaku sendiri. Biar tidak ada lagi setelah aku."
“Aku, Puti Lenggogeni yang terakhir!”
Ia tersentak. Rama-rama itu seperti tersentak juga dan segera mengepakkan sayap halusnya. Terbang, entak ke kisi jendela manalagi ia akan singgah.
Masalalu tak perlu singgah lagi.

4.
Mereka kembali, Puti. Aku harus bagaimana, apa aku harus turun dari tingkap peranginan ini dan menyambut mereka dengan pesta yang sangat meriah. Mana dayang-dayangku, penari-penariku, pendendang-pendendangku, dan panglima-panglimaku?
Mereka harus mempersiapkan upacara dan pesta penyambutan. Kita sambut dengan pesta kerajaan, buatkan pesta yang sangat meriah. Pesta yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Kerahkan seluruh penari dan pendendang negeri ini. Biar kepulangan mereka menjadi sangat berarti.
Mereka telah lama berpisah dengan ranahnya. Tentu mereka sangat rindu akan kepulangan ini. Dan aku tak mau mengecewakan mereka. Bundoku, saudaraku, dan hatiku. Serta napas kalian.
Bukankah sangat berarti bagi mereka.
Bagi kalian.
Dan juga sangat berarti bagiku.

5.
Puti, sampaikan pesanku ini pada mereka, “kini giliranku!”

(Padang, 0602-04)

- Pinto Anugrah

Sumber: "Cerpen Pinto Anugrah", https://kandangpadati.wordpress.com/2008/09/18/cerpen-pinto-anugrah/.
Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol traktir di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama