Pada perjalananku melalui Langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termasyhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat.
Astana Rawana sebagai bulan purnama raya.
Dan di negara Godawari dan Krisjna, Nataraja,
Mahadewa sebagai Penari, Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputra,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura.
Mediadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang,
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Kuruksetra. Aku berada di Sarnath Negara,
Tempat Buda pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna,
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak terkata.
Dalam taman dan astana Taj Mahal, Mutiara Timur,
Tempat Syah Jahan dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi mengenang cinta.
O, jiwa India
Kupandag gilang-gemilang, kurasa mahamulia.
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku sejurus lama,
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala.
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam candi Kencana, yang berdiri di jantung hati
Tanah Hindustan.
Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani denga mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina: Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya.
Di Indonesia, tanah airku,
Natesa berdiri
Di atas buta, tangan kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan.
Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian, tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada sunyi
Dari memenuhi seantero dunia, Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang benderang dan alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.
Tiap alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang, machluk yang indah permai, yang gilang-gemilang
Masuk ke dalam, keluar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara alam yang silang bersilang.
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang.
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa,”
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar, apa yang kau pandang terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti, semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar
Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya.
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya.
Dibikinnya sendiri. Api memusnahkan kebatannya.
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuara terang,
Tetapi belum ia merdeka, berkali-kali lagi.
Ia msuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan nyata.”
Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka.
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeka atau mati,
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata.
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian alam berhenti beredar memberi hormat.
Jiwanya makin lama makin lebar dan pada saat
Ia berdiri dari kalbu hati dunia, segala alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
dirinya: Ia satu dengan Nataraja, Mahadewa,
Ialah dia: seseorang yang mencari sudah merdeka!
"O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke candi, dari negeri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati, barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah'gia berada dalam hatimu. Satuilah.
Tari segala alam, masukilah Api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya jadi Syiwa-Nataraja."
Sumber: Madah Kelana (1931).
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termasyhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat.
Astana Rawana sebagai bulan purnama raya.
Dan di negara Godawari dan Krisjna, Nataraja,
Mahadewa sebagai Penari, Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputra,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura.
Mediadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang,
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Kuruksetra. Aku berada di Sarnath Negara,
Tempat Buda pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna,
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak terkata.
Dalam taman dan astana Taj Mahal, Mutiara Timur,
Tempat Syah Jahan dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi mengenang cinta.
O, jiwa India
Kupandag gilang-gemilang, kurasa mahamulia.
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku sejurus lama,
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala.
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam candi Kencana, yang berdiri di jantung hati
Tanah Hindustan.
Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani denga mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina: Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya.
Di Indonesia, tanah airku,
Natesa berdiri
Di atas buta, tangan kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan.
Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian, tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada sunyi
Dari memenuhi seantero dunia, Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang benderang dan alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.
Tiap alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang, machluk yang indah permai, yang gilang-gemilang
Masuk ke dalam, keluar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara alam yang silang bersilang.
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang.
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa,”
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar, apa yang kau pandang terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti, semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar
Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya.
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya.
Dibikinnya sendiri. Api memusnahkan kebatannya.
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuara terang,
Tetapi belum ia merdeka, berkali-kali lagi.
Ia msuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan nyata.”
Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka.
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeka atau mati,
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata.
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian alam berhenti beredar memberi hormat.
Jiwanya makin lama makin lebar dan pada saat
Ia berdiri dari kalbu hati dunia, segala alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
dirinya: Ia satu dengan Nataraja, Mahadewa,
Ialah dia: seseorang yang mencari sudah merdeka!
"O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke candi, dari negeri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati, barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah'gia berada dalam hatimu. Satuilah.
Tari segala alam, masukilah Api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya jadi Syiwa-Nataraja."
Sumber: Madah Kelana (1931).