Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku (1)
MULUTKU tak cukup besar untuk menelan seluruh kamus-besarku
Para penyusun kamus-besarku tidak selapar lidahku yang liar
Aku makan kata-kata yang mentah, yang busuk, yang mati, yang
pernah hilang, yang tak disukai, dan yang tak baik dan tak benar.
Kamus-besarku disiapkan oleh para juru masak yang pintar
Mereka berdiam di ruang yang sejuk, dan berdebat dengan baik
dan benar, dengan bahasa buku baku di lidah yang penuh gelar.
Kamus-besarku semakin lama semakin besar, mulutku semakin bego
Aku tak pernah diajari untuk mengunyah kata dengan baik dan benar
Lidahku lidah ular, yang fasih mendesis dan mengendus, tapi tak
dilatih untuk mengucapkan kata-kata serapan, dari bahasa asing,
bahasa yang hidup di kepalaku, di jalan-jalan kotaku, di televisiku,
di mana saja dan mereka terus-menerus memusuhiku.
Aku tersesat di kamus-besarku dari kejaran bahasaku yang lapar
Jalan-jalan di kamus-besarku melingkar, mengikat kaki-lidahku
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, aku sedang ada di mana?
Kenapa tak ada aku, tak bisa kuucap diriku, dengan kamus-besarku?
Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku (2)
SETIAP kali datang ke kamus-besarku aku seperti berziarah
ke makam kata-kataku, dan lidahku ikut terkubur di sana.
Kata-kata yang berseru dalam dalam kuburan-lema: kenang,
kenanglah kami. Ucapkan lagi kami, kaulah lagi yang beri
arti bagi 4-5 ribu kata…
Ah, kata, dari mana lagi kau mencuri kata? Dari penyair yang
pencuri itu? Yang hanya pandai bersilat kata itu?
Aku sedang menghitung mundur, mati seribu tahun lagi, tapi
selalu lupa aku sudah sampai pada bilangan berapa.
Setiap kali datang ke kamus-besarku aku seperti berziarah
ke makam kata-kataku, dan lidahku menggali kuburku di sana.
Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku (3)
KAMUS besarku adalah tempat sampah yang memungut dan menampung kata-kataku, kata-kata yang tak ingin kuucapkan. Sejak menjadi warga negara bahasaku sendiri aku terus belajar untuk bisa diam. Tapi diam ternyata juga perlu kata-kata. Diam juga perlu menguasai bahasa.
Kamus besarku adalah tempat sampah di pojok pikiran, kata-kataku di sana membusuk, melapuk, dan di situ diamku lalu tumbuh menjadi pohon aneh yang mulut-mulut di daunnya berebut berbicara, aku tak bisa menangkap apa-apa dari keributan itu – kecuali “kecuali”.
Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku (4)
AKU besar tidak dibesarkan oleh kamus besarku.
Aku dipungut oleh kamus besarku sebagai anak bengal.
Dan mereka bilang aku bebal.
Aku anak liar yang dibujuk oleh guru-guru untuk melatih lidahku berbicara dalam bahasa buku-buku, bahasa guru-guru.
Sejak saat itu aku selalu berhati-hati berkata-kata.
Kata-kata masa kecilku tak lagi seriang dulu, ketika mereka bebas bermain bersamaku.
Kami kini lebih banyak diam.
Kamus besarku sering memeriksa lidahku.
Mereka mencurigai aku menyimpan rencana jahat di sana.
Pernah aku meminta sebuah kata untuk kuucapkan, sekadar untuk memberi tahu mereka apa yang kuinginkan, tapi mereka bilang, pakai saja kata yang sudah ada.
Aku mau bilang, banyak kata yang tak ada padamu, wahai, kamus besarku.
MULUTKU tak cukup besar untuk menelan seluruh kamus-besarku
Para penyusun kamus-besarku tidak selapar lidahku yang liar
Aku makan kata-kata yang mentah, yang busuk, yang mati, yang
pernah hilang, yang tak disukai, dan yang tak baik dan tak benar.
Kamus-besarku disiapkan oleh para juru masak yang pintar
Mereka berdiam di ruang yang sejuk, dan berdebat dengan baik
dan benar, dengan bahasa buku baku di lidah yang penuh gelar.
Kamus-besarku semakin lama semakin besar, mulutku semakin bego
Aku tak pernah diajari untuk mengunyah kata dengan baik dan benar
Lidahku lidah ular, yang fasih mendesis dan mengendus, tapi tak
dilatih untuk mengucapkan kata-kata serapan, dari bahasa asing,
bahasa yang hidup di kepalaku, di jalan-jalan kotaku, di televisiku,
di mana saja dan mereka terus-menerus memusuhiku.
Aku tersesat di kamus-besarku dari kejaran bahasaku yang lapar
Jalan-jalan di kamus-besarku melingkar, mengikat kaki-lidahku
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, aku sedang ada di mana?
Kenapa tak ada aku, tak bisa kuucap diriku, dengan kamus-besarku?
Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku (2)
SETIAP kali datang ke kamus-besarku aku seperti berziarah
ke makam kata-kataku, dan lidahku ikut terkubur di sana.
Kata-kata yang berseru dalam dalam kuburan-lema: kenang,
kenanglah kami. Ucapkan lagi kami, kaulah lagi yang beri
arti bagi 4-5 ribu kata…
Ah, kata, dari mana lagi kau mencuri kata? Dari penyair yang
pencuri itu? Yang hanya pandai bersilat kata itu?
Aku sedang menghitung mundur, mati seribu tahun lagi, tapi
selalu lupa aku sudah sampai pada bilangan berapa.
Setiap kali datang ke kamus-besarku aku seperti berziarah
ke makam kata-kataku, dan lidahku menggali kuburku di sana.
Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku (3)
KAMUS besarku adalah tempat sampah yang memungut dan menampung kata-kataku, kata-kata yang tak ingin kuucapkan. Sejak menjadi warga negara bahasaku sendiri aku terus belajar untuk bisa diam. Tapi diam ternyata juga perlu kata-kata. Diam juga perlu menguasai bahasa.
Kamus besarku adalah tempat sampah di pojok pikiran, kata-kataku di sana membusuk, melapuk, dan di situ diamku lalu tumbuh menjadi pohon aneh yang mulut-mulut di daunnya berebut berbicara, aku tak bisa menangkap apa-apa dari keributan itu – kecuali “kecuali”.
Aku, Lidahku, dan Kamus Besarku (4)
AKU besar tidak dibesarkan oleh kamus besarku.
Aku dipungut oleh kamus besarku sebagai anak bengal.
Dan mereka bilang aku bebal.
Aku anak liar yang dibujuk oleh guru-guru untuk melatih lidahku berbicara dalam bahasa buku-buku, bahasa guru-guru.
Sejak saat itu aku selalu berhati-hati berkata-kata.
Kata-kata masa kecilku tak lagi seriang dulu, ketika mereka bebas bermain bersamaku.
Kami kini lebih banyak diam.
Kamus besarku sering memeriksa lidahku.
Mereka mencurigai aku menyimpan rencana jahat di sana.
Pernah aku meminta sebuah kata untuk kuucapkan, sekadar untuk memberi tahu mereka apa yang kuinginkan, tapi mereka bilang, pakai saja kata yang sudah ada.
Aku mau bilang, banyak kata yang tak ada padamu, wahai, kamus besarku.