(: Sapardi Djoko Damono)
1. Apakah ada alasan lain bagimu untuk senantiasa mendoakan kekasihmu selain karena engkau mencintainya meskipun ia bukan lagi kekasihmu?
a. Aku mendoakan dia karena dia adalah kelelawar yang berkembang biak dan hatiku adalah goa yang menikmati siksa dari jerit menjelang senja dan gema-gema yang mempertebal rasa sakit itu.
b. Aku mendoakan dia sebagai pohon nyiur di pantai yang condong tapi tak tumbang dan dia adalah ombak yang tak berhenti menghantam dan yang dulu mendamparkanku di pantai itu.
c. Aku mendoakan dia seperti penjual kue putu yang menyembunyikan piul kecil di sepanjang gang dan berharap dia mendengar dan membayangkan harum pandan dan manis gula jawa yang dulu sering kami nikmati bersama.
d. Aku mendoakan dia seperti rasa syukur ketika menerima gaji pertama dan cinta adalah apa yang kusisihkan untuk anak-anak panti asuhan, mereka yang mengajarkan padaku bagaimana cara menemukan banyak hal dari sebuah kehilangan.
2. Apa yang engkau pesan apabila engkau bertemu lagi dengannya di restoran di mana engkau dan dia dulu bisa menerima sebuah perpisahan dengan alasan yang tak bisa diterima?
a. Aku akan memesan gelas kosong dan sekantong teh Sariwangi. Karena aku yakin bahwa aku akan menangis dan mungkin dia juga akan menangis meniru tangisanku.
b. Aku akan memesan tempat duduk di dekat jendela kaca, dan berharap hujan turun selebat-lebatnya, agar dia terlambat datang dan aku punya waktu lebih banyak untuk membenahi perasaanku sendiri.
c. Aku memesan televisi yang dipasang pada kanal berita yang menyiarkan langsung kabar para pengungsi agar dia tahu begitulah keadaanku setelah bencana perpisahan yang dia timbulkan dulu.
d. Aku memesan apa saja yang dia pesan. Mungkin ia sudah tahu apa arti ilalang, bunga rumput, batu di tengah sungai, rasa lapar, dan rasa sakit, dan akan memesannya untuk merayakan pertemuan yang entah itu.
3. Apakah ada lagi yang masih mengalir, menggenang, meriak, yang ingin kau beri nama, yang membuat hidupmu indah, dan karena itu kau ingin menangis sepuas-puasnya?
a. Tentu saja ada. Yaitu kenangan yang panjang, rindu namanya. Yaitu rindu yang parah, doa namanya. Yaitu doa yang dirahasiakan, cinta namanya.
b. Tentu saja ada. Yaitu kehilangan yang fardu, dosa namanya. Yaitu dosa yang menunggu, surga namanya. Yaitu surga yang terbawa, cinta namanya.
c. Tentu saja ada. Yaitu masa kanak yang mentah, bahagia namanya. Yaitu bahagia yang rawan, ingin namanya. Yaitu ingin yang melepaskan, cinta namanya.
d. Tentu saja ada. Yaitu sepatu yang dilepaskan, letih namanya. Yaitu letih yang diteduhkan, rumah namanya. Yaitu rumah yang menunggu, cinta namanya.
4. Apa yang akan engkau katakan, jikalau Si Tuan itu mengetuk lagi pintumu pada suatu subuh dan kau tak menyangka bahwa Dia akan kembali kepadamu?
a. Saya akan menjawab: Tuan mencari Tuhan, bukan? Maaf, kami sedang sibuk berkemas untuk sebuah perjalanan yang tak lagi membuat aku harus memastikan apakah aku sedang berada di dalam atau di luar.
b. Saya akan menjawab: Masuk saja, Tuan. Pintuku tak pernah kukunci. Dan aku selalu ada di dalam dirimu. Jadi buat apa aku harus mempersilakan Engkau?
c. Saya akan menjawab: Tuan Tuhan, bukan? Kebetulan, saya hendak keluar. Tolong Tuan jaga rumahku. Jangan ke mana-mana sampai saya kembali nanti, ya…
d. Saya akan menjawab: Tuan Tuhan, bukan? Sudah lama saya menunggu. Tapi, Tuan Tuhan, bukan? Kebetulan sudah lama saya ingin bertanya pada-Mu, siapa saya sesungguhnya…
5. Apa yang akan kau lakukan jika berpapasan dengan hujan pada sebuah lorong dan di dalam hujan itu ada seseorang yang menyembunyikan tangis dan tak ingin ditanya kenapa ia menangis?
a. Aku akan menjelma menjadi sebuah payung yang melindungi dia dari hujan itu, agar aku tahu pasti bahwa basah di matanya itu adalah basah air mata, meskipun aku tak akan bertanya kenapa dia menangis.
b. Aku akan menjelma jadi hujan yang semakin memperlambat hujan itu, agar dia bisa menyembunyikan tangis yang mungkin akan semakin lebat juga nanti di sepanjang hingga nanti di ujung lorong itu.
c. Aku akan menggandeng tangannya, merangkul pundaknya, dan kami berdua akan membiarkan hujan memeluk kami, dan kami bertiga akan membiarkan tangis mempersatukan kami.
d. Aku akan menangis juga dan menyembunyikan tangisanku di dalam hujan itu, agar air mata kami bertemu di selokan di sepanjang lorong yang mengalirkan air hujan itu ke sebuah muara.
6. Apa yang akan kau lakukan jika kau berada di taman umum New York? Dan siapa yang kan bayangkan duduk menemanimu di sana?
a. Aku akan bercerita pada beberapa ekor merpati tentang kau yang seperti mereka, bebas dan liar, lepas dan lapar, sia-sia saja kubayangkan kau ada menemaniku duduk dengan tenang, di bangku panjang ini.
b. Aku akan menggambar stasiun yang disinggahi kereta terakhir. Kau keluar dari sana berjalan menujuku, tapi kita tak segera saling mengenal. Aku ragu apakah itu kamu, dan kau ingin sekali meyakinkan dirimu sendiri bahwa aku bukanlah aku.
c. Aku akan menggambar bunga ceri yang jatuh di halaman koran yang kubaca, berita tentang pemilu sela, dengan infografis negara bagian mana saja yang berwarna merah atau biru. Aku tetap membayangkan kamu, menganalisa dengan tajam cerdas, meskipun bukan hal itu yang ingin kutanyakan.
d. Aku akan menggambar lonceng dan apa saja yang tak terlalu mendengar lagi pada tanda yang ia sampaikan, garis musim semi yang ia pertegas, dan kubayangkan kamu di sampingku terdiam karena telah menyadari sesuatu, bahwa seharusnya kau tak berada di sini bersamaku.
7. Apa yang akan kau tulis pada kartu pos bergambar jembatan “Golden Gate”, San Francsisco, dan kepada siapa kau akan mengirimkannya?
a. Aku akan menulis kuatrin dengan kata kabut dan membayangkan kabut itu seperti gulali tanpa pewarna, putih saja, dan hambar. Aku akan mengirimkannya untuk dia yang bertaruh bahwa aku akan bisa dengan mudah melupakan dia.
b. Aku akan menulis tentang matahari yang mengucek mata, dan melihat dirinya berenang di permukaan teluk luas, dan membayangkan betapa sejuknya air di teluk itu. Aku akan mengirimkannya untuk dia yang membuang pandang dari mata cintaku.
c. Aku akan menulis tentang gerimis dalam sebuah stanza yang tak kuhitung lariknya, yang turun perlahan dan menghilang sebelum menyentuh apa-apa. Aku akan mengirimkannya ke seseorang yang akan menerima dengan mengatakan: ini salah alamat.
d. Aku akan menulis tiang-tiang jembatan dalam sebuah sajak yang bebas, yang tak bisa menahan kabut, yang tak bisa menolak gerimis, dan memulai oleh hangat matahari. Aku akan mengirimkannya ke alamatku sendiri, dan seseorang menerima dengan berkata: aku tak tahu siapa yang mengirimkan ini untukku.
8. Apakah yang terjadi atau yang tak terjadi; yang kau persiapkan dan yang tak kau persiapkan untukku ketika hari itu tiba pada suatu hari nanti?
a. Yang terjadi adalah jasadku tak ada lagi, tapi ada yang akan tetap ada menemanimu di larik-larik sebuah sajak dan menemanimu, karena aku tak rela kau sendiri.
b. Yang terjadi adalah suaraku pun tak terdengar lagi, tapi akan tetap ada yang bernyanyi di antara bait-bait sajak dan menenangkanmu meski kau tersesat sendiri di taman itu.
c. Yang terjadi adalah impianku tak dikenal lagi, tapi di antara huruf-huruf sebuah sajak ada aku yang letih mencari, apa yang belum kutemukan dalam diriku dan dalam dirimu.
d. Yang terjadi adalah kau tak mengenali aku lagi tapi merasa mengenal siapa yang menulis sajak untukmu yang tak pernah bosan kau baca meski tak kau mengerti maknanya, sajak yang kutulis untukmu itu.
9. Berapakah jarak antara surga dan dunia? Bagaimana kau hendak mengukurnya?
a. Jarak antara surga dan dunia itu sejauh rasa kehilangan Adam, yang turun di hutan-hutan, yang sepanjang hidupnya tetap saja percaya bahwa dunia adalah halaman belakang surga dan ada gerbang di balik air terjun.
b. Jarak antara surga dan dunia itu sebesar kerinduan Adam, rindu yang masih ada, rindu yang sama dengan rindu yang dirasakan Hawa, setelah mereka saling menemukan dan saling memaafkan.
c. Jarak antara surga dan dunia itu adalah jarak antara kenyataan dan dongeng, yang makin tak ada bedanya, semakin jauh tapi semakin dekat saja, yang semakin samar dan semakin nyata.
d. Jarak antara surga dan dunia itu sepanjang perjalanan doa, yang oleh Adam diukur dengan harapan yang ia tengadahkan ke langit, yang kosong dan sepi, karena Tuhan menjawab dengan diam dan dengan begitu kini Dia mencintai dan menguji.