Puisi Catatan Seorang Pembuat Komik Karya Hasan Aspahani

SUDAH kuduga dia: tokoh komik yang baru saja
terbunuh di lembar terakhir cerita. Aku sangat
mengenal efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!
Tajam suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yang
terakhir memegang kunci studio? Aku hanya ingat
pesuruh kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3

Sia-sia bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah
terkemas, bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.
Aku pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerja
yang selalu didekap dada – kadang di kepala. Ada
skenario gambar-gambar, narasi adegan, teks, dan
balon-balon ucapan yang belum digelembungkan.
“Mari pulang ke komik kita, Saudara. Engkau
sebenarnya hendak merantau ke mana?” Siapa yang
berkata? Rasanya aku tak pernah menuliskan
kalimat yang diterbangkan tokoh komik itu.

Aku ternyata telah lama kehilangan rumah, karena
telalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan,
juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari
arsip, rancangan sampul. “Masih ingat? Di toko
alat tulis mana terakhir kali engkau singgah?” Ah,
sudah lama aku tidak belanja. Terakhir kali aku lupa
membeli karet penghapus. Aku tidak detil dengan
urusan kenangan dan daftar belanja.

Masih juga, ada yang terus mengikuti langkahku.
Bahkan ketika aku kembali ke studio, melangkah
melawan arah rumah, bahkan ketika kunyalakan
lampu di atas meja gambar. Pasti dia juga yang
membuat makam sendiri pada kertas-kertas yang
terbakar, eh ada batu nisan yang minta diberi
nama dan tanggal kematian. “Namamu sendiri,
Saudara. Kau tidak melupakannya, bukan?”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama