AKU ketikkan namaku lalu namamu,
sepasang ID dan kata sandi yang kita sepakati itu, dengan begitu
kupertahankan harapan bagi datangnya sebuah surat-elektronika.
"Aku pasti kabarkan apa saja dari sana, nanti, potret patung pujangga
yang kau sanjung, restoran bermenu unik, dan ya, tentu potretku juga,
dengan seragam putih panjang, dan kerudung pelindung dari debu gurun,
juga senyum yang kau bilang membuat wajahku seribu kali lebih cantik,
dan karena keindahan itu jadwal musim terik menjadi terbalik-balik!"
*
TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku kirimkan lagi pertanyaan yang sama,
ke alamat surat elektronik yang kita sepakati itu,
semacam doa yang terlalu sederhana, "kau tidak apa-apa, ya?"
Ah, betapa ingin aku ke sana, ke lapangan bulutangkis,
terakhir kita saling menepak buluangsa, ketika kau kram otot betis.
Kubatalkan sebuah smes. Kugendong engkau dengan keringat menetes.
"Kita pernah satu regu di Palang Merah Remaja dulu, kenapa ragu,
ini pelajaran pertama P3K. Jadi, kau tenang saja," kataku sambil
mencari urat yang tegang di putih betismu, dan kau mengaduh
kulihat nafas penuh di dadamu pada kaos putih ditembus peluh.
*
TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Maka, bukankah sebaiknya aku terjemahkan lagi bait-bait Neruda itu?
Akulah lelaki yang menggilai mulutmu, suaramu, rambutmu.
Akulah yang diam didera derita, di jalanan aku berburu.
Akulah yang tak lagi berselera pada roti, sebab sejak fajar mengusikku,
lalu sepanjang hari itu, kuburu jejak acak langkahmu.
"Ah, soneta yang kesebelas, kau pencuri yang tak berbekas, tapi aku tak
akan pernah jadi Matilda Urrutia buatmu, walau kau telah jadi Nerudaku!"
"Pujangga bermuka buruk itu. Apakah di Isla Negra dia telah jadi hantu?"
"Dan kau kerasukan rohnya, setiap kali menyentuh tombol on laptopmu!"
*
DAN, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku pun beranjak ke dapur. Seperti ada yang menebar aroma ketumbar,
di udara pergantian hari yang hambar, semenjak kau tak mengirim kabar.
Susahkah kau dapatkan lele di sana? Aku tahu betapa kau sudah tergila-gila
pada putih-gurih daging ikan air tawar yang dulu katamu menjijikkan itu.
"Adakah ikan yang lebih buruk? Hitam, berlendir, amis dan berkepala remuk!"
"Hei, lidahmu pandai mengutuk. Tunggu sampai ia mengecap paduan sempurna
bawang putih, kunyit, dan belacan, kemiri bakar, kemangi dan ketumbar."
Tengah malam itu, iman lidahmu pun murtad. Tersebab lapar dan restoran itu
hanya menyisakan satu-satunya menu: dua porsi pecel lele, dan sambal ulek
yang kelebihan cabai. "Semoga aku tak muntah di restoran bermenu unik ini,"
katamu, dan kau tak muntah, kau menagih, dan selalu mengajakku singgah.
*
YA, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tidak ada apa-apa.
Kau mungkin semakin sibuk dan letih, Shania. "Perang itu masih akan lama?"
Aku hanya takut kau lupa betapa manis senyum lucu di matamu itu.
Aku hanya takut kau kalah pada musim asing, cuaca yang kering.
Kau tahu ada yang tak sempat aku jawab pada malam terakhir itu ketika
kau bertanya, "kenapa kau pilih penyair berwajah buruk? Kenapa bukan
si lelaki paling keren se-Inggris Raya, si penyair-perang Rupert Brook?"
Aku benci senjata, Shania. Perang hanya sibuk membunuh anak-anak muda.
sepasang ID dan kata sandi yang kita sepakati itu, dengan begitu
kupertahankan harapan bagi datangnya sebuah surat-elektronika.
"Aku pasti kabarkan apa saja dari sana, nanti, potret patung pujangga
yang kau sanjung, restoran bermenu unik, dan ya, tentu potretku juga,
dengan seragam putih panjang, dan kerudung pelindung dari debu gurun,
juga senyum yang kau bilang membuat wajahku seribu kali lebih cantik,
dan karena keindahan itu jadwal musim terik menjadi terbalik-balik!"
*
TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku kirimkan lagi pertanyaan yang sama,
ke alamat surat elektronik yang kita sepakati itu,
semacam doa yang terlalu sederhana, "kau tidak apa-apa, ya?"
Ah, betapa ingin aku ke sana, ke lapangan bulutangkis,
terakhir kita saling menepak buluangsa, ketika kau kram otot betis.
Kubatalkan sebuah smes. Kugendong engkau dengan keringat menetes.
"Kita pernah satu regu di Palang Merah Remaja dulu, kenapa ragu,
ini pelajaran pertama P3K. Jadi, kau tenang saja," kataku sambil
mencari urat yang tegang di putih betismu, dan kau mengaduh
kulihat nafas penuh di dadamu pada kaos putih ditembus peluh.
*
TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Maka, bukankah sebaiknya aku terjemahkan lagi bait-bait Neruda itu?
Akulah lelaki yang menggilai mulutmu, suaramu, rambutmu.
Akulah yang diam didera derita, di jalanan aku berburu.
Akulah yang tak lagi berselera pada roti, sebab sejak fajar mengusikku,
lalu sepanjang hari itu, kuburu jejak acak langkahmu.
"Ah, soneta yang kesebelas, kau pencuri yang tak berbekas, tapi aku tak
akan pernah jadi Matilda Urrutia buatmu, walau kau telah jadi Nerudaku!"
"Pujangga bermuka buruk itu. Apakah di Isla Negra dia telah jadi hantu?"
"Dan kau kerasukan rohnya, setiap kali menyentuh tombol on laptopmu!"
*
DAN, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku pun beranjak ke dapur. Seperti ada yang menebar aroma ketumbar,
di udara pergantian hari yang hambar, semenjak kau tak mengirim kabar.
Susahkah kau dapatkan lele di sana? Aku tahu betapa kau sudah tergila-gila
pada putih-gurih daging ikan air tawar yang dulu katamu menjijikkan itu.
"Adakah ikan yang lebih buruk? Hitam, berlendir, amis dan berkepala remuk!"
"Hei, lidahmu pandai mengutuk. Tunggu sampai ia mengecap paduan sempurna
bawang putih, kunyit, dan belacan, kemiri bakar, kemangi dan ketumbar."
Tengah malam itu, iman lidahmu pun murtad. Tersebab lapar dan restoran itu
hanya menyisakan satu-satunya menu: dua porsi pecel lele, dan sambal ulek
yang kelebihan cabai. "Semoga aku tak muntah di restoran bermenu unik ini,"
katamu, dan kau tak muntah, kau menagih, dan selalu mengajakku singgah.
*
YA, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tidak ada apa-apa.
Kau mungkin semakin sibuk dan letih, Shania. "Perang itu masih akan lama?"
Aku hanya takut kau lupa betapa manis senyum lucu di matamu itu.
Aku hanya takut kau kalah pada musim asing, cuaca yang kering.
Kau tahu ada yang tak sempat aku jawab pada malam terakhir itu ketika
kau bertanya, "kenapa kau pilih penyair berwajah buruk? Kenapa bukan
si lelaki paling keren se-Inggris Raya, si penyair-perang Rupert Brook?"
Aku benci senjata, Shania. Perang hanya sibuk membunuh anak-anak muda.