Terdengar suara pintu digedor dari luar. Darahku mendadak naik ke ubun-ubun. Siapa sih sepagi ini ingin bertamu dengan sapaan yang kasar.
Kuintip dari balik gorden jendela nako yang segaris dengan pintu masuk. Seorang bertubuh gemuk, berkopiah, dan menyandang tas kumal melempar senyum.
Kubuka pintu.
“Ada apa ya, Pak?”
“Minta sedekah, Pak!” Aku kaget, bersambung dongkol. Suaranya keras, terdengar kasar. Tapi, ia tampak tetap tersenyum. Melihat tubuhnya, menurutku, tak pantas ia jadi pengemis.
Ketika aku ingin mengatakan, “Maaf, lain kali,” tiba-tiba wajah laki-laki kekar peminta sedekah itu menjelmakan wajah ibu di kepalaku.
“Ingat, selagi ada rezeki dan usia untuk bersedekah, bersedekahlah. Kepada siapa pun, jika niatnya tulus untuk bersedekah, itu sangat baik bagi kehidupan…,” begitu kata ibu semasa hidup masih terngiang, seakan berwasiat. Dan ibu tak pernah berkata, sebagaimana orang kebanyakan, bahwa bersedekah akan mendapatkan pahala dari Tuhan. Tetapi, ibu selalu berkata, “Baik untuk kehidupan….” Mungkin, aku disuruh menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya: kehidupan dunia dan akhirat!
“Ayo, Pak. Jangan melamun, berilah saya sedekah!” Suaranya meninggi, barangkali bisa terdengar ke rumah sebelah.
Tak pernah aku bertemu pengemis sebengal dan tak rendah hati seperti yang sedang menadahkan tangannya di depanku.
Kurogoh saku celana. Ternyata yang tertarik keluar uang Rp 5.000. Ketika aku merogoh saku, mencari-cari kalau ada lembaran seribuan, akan lebih baik lagi receh Rp 500 untuk pengemis sekasar ini. Tetapi, pengemis itu malah berucap, “Sekali-kali lima ribu enggak apa, lho Pak!”
Wajah ibu kembali membayang. “Ikhlas pun banyak ujiannya, lho!”
Dengan setengah dongkol dan setengah lagi memaksakan diri ikhlas, kuserahkan uang Rp 5.000 itu kepadanya.
Dia menepuk pundakku dengan santainya sambil berkata, “Terima kasih, semoga ikhlas! Yuk. Assalamu’alaikum….”
Kurang ajar!
Baru saja dia melangkah, cepat-cepat kututup pintu.
Kali ini kurasakan, betapa untuk ikhlas dengan pengemis itu membutuhkan kelapangan hati, kebesaran jiwa.
Tapi, aku merasakan hati dan jiwaku menyempit dan mengecil pagi ini.
Rumah yang kutempati saat ini adalah rumah peninggalan almarhum ibu. Sedangkan ayah lebih memilih tinggal di Riau bersama kakak sulungku. Ia merasa tak sanggup tinggal di rumah yang kutempati ini. “Terlalu diusik oleh kenangan bersama ibu. Nanti aku bisa sakit karena rindu ibumu yang berkepanjangan,” begitu alasan ayah, sehingga bersama si sulung ia merasa nyaman.
Istriku yang saat ini menunggu kelahiran anak kami yang pertama merasa senang tinggal di rumah, yang sepertinya akan jadi milikku. Kami hanya berdua orang kakak beradik. Kakakku sudah beli rumah di Riau, kota tempat ia mengembangkan kariernya.
Sudah setahun kami tinggal di rumah milik dan kebanggaan ibu. Sudah setahun pula ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Kami pindah ke rumah ini seminggu sebelum ibu wafat. Ibu wafat setelah kembali dari shalat subuh berjemaah di surau. Tak ada sakit. Ia cuma mendadak mengatakan, dadanya sesak. Lalu tersenyum. Dalam senyum itu, ibu terkulai.
Tetapi, sejak kepergian ibu, rumah kami sangat sering didatangi pengemis. Apalagi sejak harga BBM naik. Padahal, rumah kami terlihat sederhana sekali dibanding rumah yang berada di kiri kanan, depan belakang kompleks kami ini. Rumah-rumah lain tampaknya sesekali saja didatangi pengemis dengan berbagai usia, kekumalan pakaian, polah tingkah serta yang cacat anggota tubuh maupun buta. Pekerjaanku sebagai guru honor, yang terpaksa juga nyambi kerja lain, tentulah bukan terbilang banyak uang untuk bisa bersedekah tiap hari. Maaf, hal itu semestinya tak pantas diucapkan.
Kadang Bu Mur depan rumah ada benarnya juga. “Pak Copan, dalam sehari itu kadang dua atau tiga pengemis datang. Bahkan hari tertentu bisa sampai lima pengemis. Pak Copan atau istri kasih juga. Maaf-maaf kata nih ya Pak Copan, melihat keadaan Pak Copan yang cuma guru honor, sebenarnya posisinya harus dimengerti pengemis-pengemis itu, bahwa Pak Copan layak mendapat sedekah. Honor sebulan Rp 400.000, dia, pengemis itu kalau sehari saja dapat Rp 50.000, dan itu bukan mustahil, satu setengah juta sebulan.”
Aku tertawa mendengar apa yang dikatakan Bu Mur itu. Tidak sedikit pun merasa tersinggung. Apalagi mendengar Pak Kuncut, lelaki sebelah rumahku. “Para pengemis itu sering ke rumahmu, sejak almarhum ibumu dulu, tak pernah ditolak. Pasti dikasih. Kadang ibumu malah kasih buah-buahan, baju bekas dan kalau tak ada uang beri beras. Kalau tak ada sama sekali, ibumu malah janji, insya Allah besok. Akhirnya, ketika ibumu tiada, mereka terbiasa. Lihat, pengemis-pengemis yang selalu datang kan yang sering mengemis semasa ibumu hidup. Mereka yakin, pasti ibumu menyuruh melakukan hal sama kepada anaknya terhadap pengemis….”
“Ada pula yang kurang ajar. Waktu ibumu meninggal, banyak pengemis yang datang. Bukan melayat. Tapi minta sedekah kepada para pelayat yang turut berdukacita…,” kuingat itu ucapan Mbak Sri yang rumahnya bersebelahan dengan Bu Mur.
“Lihat Pak Piliek. Dia mengaku, tak pernah memberi pengemis yang datang ke rumahnya sepeser pun. Dia merasa lebih tenang, karena para pengemis tahu kalau ke rumah Pak Piliek, dia tak mendapatkan apa-apa, maka mereka tak pernah datang lagi….”
Tiba-tiba aku merasa gundah. Kenapa mereka menjadikanku, kebiasaan baik, yang kata ibu “baik untuk kehidupan”, sebagai gunjingan hangat, dan kadang dinilai sebagai bodoh. Kenapa mereka merasa kasihan kepadaku, yang hampir setiap hari ada saja pengemis yang datang dan jika aku atau istri ada di rumah selalu diberi walau lima ratus perak. Bukankah ini yang diamanahkan ibu, agar memelihara sifat berbagi, bersedekah yang kata ibu “baik untuk kehidupan”.
Memang, kadang aku merasa tak ikhlas. Hal itu sering kurasakan, ketika aku ingin menolak memberi dengan mengatakan “maaf” kepada pengemis, tiba-tiba perkataan ibu mengiang di telingaku. Aku memberinya, seakan terpaksa. Setelah itu, kurasakan batinku gelisah beberapa saat, dan tenang kembali setelah kuhibur diri dengan ucapan klise yang kudapat dari istriku, “Namanya juga manusia biasa, wajar ada ikhlas ada tidak. Ini bagian dari ujian memuliakan diri….”
Mengenang ibu, aku merasa mengenang dirinya dalam mandi cahaya kemuliaan. Ketika dia telah tiada aku baru menyadari, ia betul-betul menjalani hidup ini dengan sederhana. Ibu selalu kulihat seperti dalam senyum. Selalu mengajarkanku agar menjauhi pertengkaran karena berebut uang, jangan memakan uang atau hak orang lain, apalagi korupsi. Kata ibu, masih kuingat, jangan biarkan fakir miskin, para duafa tak membawa apa-apa, dari tangan mereka yang bertadah ada sabun pembersih rezeki kita dari ketakhalalan yang tak sengaja. Bantulah mengurangi rasa lapar mereka. Kalau kita biarkan mereka nestapa, papa berkepanjangan tanpa kepedulian kita, ia kelak bukan tak mungkin membutuhkan nyawa kita, darah kita, dan ingin merampas kenyamanan hidup kita. Ibu bergetar ketika ia berkata, “Kau tak ingin, tangan yang biasa menadah lagi itu menghunuskan pisau dan menghunjamkan ke jantung kita yang merasa berkecukupan ini. Ia kelak bisa saja haus darah, tak butuh uang atau beras dari kaum kaya atau kikir yang ketakutan karena tak seorang pun mau bersedekah….”
Mengenang semua yang dipaparkan ibu semasa hidup, kata mirip khotbah, membuat aku bergidik. Tak dapat kubayangkan, kaum-kaum miskin minta darah untuk diminumnya kepada setiap rumah yang dikunjunginya. Kadang aku merasa menggelepar, “Tuhan, kadang aku bersedekah hanya karena takut mereka menjadi beringas oleh kemiskinannya yang panjang….”
Kadang, aku pun meragukan apa yang pernah dipaparkan ibu. “Jangan-jangan ini kabar pertakut agar aku rajin bersedekah, berbagi untuk apa yang dikatakan ibu ‘baik untuk kehidupan’….” Kenapa ibu tak pernah berkata seperti ustadz, guru mengaji atau guru agamaku semasa sekolah, bahwa dengan bersedekah kita akan mendapat pahala dari Tuhan? Kalau rajin sedekah, Tuhan akan sayang dan rezeki kita berlipat ganda. Bisa masuk surga, dan sebagainya.
Pak Piliek kudengar sakit. Sudah seminggu ternyata. Ia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Tak mau ke dukun. Permintaannya aneh: rindu pengemis minta sedekah ke rumahnya.
Aku merasa ini aneh. Bukankah selama ini Pak Piliek antipengemis. Para pengemis pun enggan ke rumahnya, karena kalau tak ditolak kadang dihardik dengan kasar. Kini, dia rindu pengemis.
Tiba-tiba ada keanehan menyerang diriku. Sejak seminggu lalu, rasanya sejak Pak Piliek sakit, rumah kami tak pernah kedatangan pengemis lagi. Ke mana mereka. Biasanya paling tiga hari atau lima hari paling lama pengemis tak berkunjung ke rumahku.
Bu Nini, istri Pak Piliek, menemuiku selepas magrib.
“Suamiku ingin sekali bersedekah, ingin ada pengemis menghampirinya. Katanya, setelah itu dia mati pun tak apa…,” kata Bu Nini.
Aku menarik napas. Tersenyum. Aneh juga mendengarnya.
“Memangnya sakitnya apa, ya Bu?”
“Itulah. Aku juga heran. Kalau sudah malam, dia sering berkata, ya silakan masuk, makan dulu, baru mengemis lagi…, ini sedikit uang untuk anak dan keluargamu. Hati-hati di jalan, ya. Mengemis itu halal, kalau tak dikasih kerja oleh pemerintah, tak dikasih modal oleh orang kaya, mengemis halal…. Lalu setelah itu dia tertawa….”
Aku mulai bergidik.
“Jadi apa yang bisa saya bantu?”
“Begini, pengemis kan paling sering ke rumahmu ini. Kalau dia datang, bawa dia ke rumahku, biar suamiku tenteram….”
“Baik, baik Bu. Itu mudah!”
Tetapi, seminggu, bahkan sebulan kemudian, pengemis tak juga datang-datang. Aneh. Sejak Pak Piliet sakit, pengemis tak pernah datang ke rumahku.
Aku baru saja pulang melayat ke rumah Pak Piliek. Kabarnya, dia mengembuskan napas terakhir setelah ia mengatakan merasa bahagia, karena sempat bermimpi bersedekah kepada para pengemis yang tak pernah ia beri ketika berkunjung ke rumahnya. Bu Nini cerita, suaminya itu terjaga dengan mata berbinar, dan bergumam sendiri, “Indah…, indahnya memberi….”
Keesokan harinya, sehari setelah Pak Piliek dimakamkan, aku mendengar suara “assalamu’alaikum….” Dari balik pintu depan suara itu kurasakan menghampiri telinga, lalu terasa di dada.
Ketika kubuka pintu, aku terkejut. Seorang perempuan dengan bola mata kosong, berbaju compang-camping, tongkat kayu di tangannya. Rambutnya panjang terurai. Ada aroma wangi, memancar dari tubuhnya. Ada desah napas hangat kurasakan di detak jantungku.
“Minta sedekah, Pak,” suaranya, oh, merdu. Jangan-jangan pengemis dari surga?
“Ya, ya. Tunggu.”
Aku bergegas ke dalam, mengambil uang dan kembali, lalu memasukkan ke kalengnya selembar uang seribuan.
“Terima kasih, semoga baik untuk kehidupan….”
Ah. Itu, itu ungkapan ibu. Aku ternganga, menarik napas.
Perempuan pengemis itu membalik badannya, lalu berjalan, tanpa menoleh ke belakang. Ia melampaui pagar, dengan langkah tertatih, menjauh. Kuamati langkahnya, makin lama, kian tampak ia seperti tak buta.
Malamnya, aku rindu perempuan bermata bolong tapi terlihat cantik dan menawan. Tubuhnya harum, dan di balik bibirnya yang seakan belum menggariskan senyum, bergetar, “…baik untuk kehidupan….”
Dalam tidur, aku bertemu dengannya, “Ibu…, Ibu…, Ibu….”
***
Sumber: "Ngiang Kata Ibu", https://cerpenkompas.wordpress.com/2008/08/10/ngiang-kata-ibu/.