Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya.
Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore
bersiap menyaksikan kematiannya.
Malam sangat ngelangut, seperti masa muda
yang harus bergegas ke pelabuhan,
meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.
Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
dengan rambut disisir rapi dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
di cangkir ungu sambil bersiul dan sesekali berlagu.
"Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua
yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki."
Ia berdiri di ambang pintu.
Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.
Mereka gemetar dan memandang ragu.
"Maaf, kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
di sekitar bola mata Anda."
"Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan balik menyerang Saudara."
"Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakannya."
"Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata."
Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
lenyap ditelan malam dan hujan.
Sementara di atas seratus halaman majalah
yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:
"Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya."
Lalu ia tidur pulas.
Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.
(1995)
Sumber: Celana (1999).
Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore
bersiap menyaksikan kematiannya.
Malam sangat ngelangut, seperti masa muda
yang harus bergegas ke pelabuhan,
meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.
Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
dengan rambut disisir rapi dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
di cangkir ungu sambil bersiul dan sesekali berlagu.
"Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua
yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki."
Ia berdiri di ambang pintu.
Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.
Mereka gemetar dan memandang ragu.
"Maaf, kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
di sekitar bola mata Anda."
"Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan balik menyerang Saudara."
"Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakannya."
"Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata."
Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
lenyap ditelan malam dan hujan.
Sementara di atas seratus halaman majalah
yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:
"Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya."
Lalu ia tidur pulas.
Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.
(1995)
Sumber: Celana (1999).