Puisi Di Bawah Kibaran Sarung Karya Joko Pinurbo

Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
di haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur
yang baka. Tidur yang dijaga dan disambangi
seorang lelaki kurus dengan punggung melengkung,
mata yang dalam dan cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya
sambil membentangkan sarung.

“Hidup sarung!” seru seorang perempuan,
sahabat malam, yang tekun mendengarkan hujan.
Lalu ia mainkan piano, piano tua, di dada lelaki itu.
“Simfoni batukmu, nada-nada sakitmu,
musik klasikmu mengalun merdu
sepanjang malam,” hibur perempuan itu
dengan mata setengah terpejam.

Di bawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil di mana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik,
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
anjing kawin, maling mabuk,
piring pecah, tikus ngamuk
adalah tetangga.

“Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.

Dan seperti keranda
mencari penumpang,
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang.
Kling klong kling klong.

Di bawah kibaran sarung
aku tuliskan puisimu,
di rumah kecil yang dingin terpencil.
Seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga menemani kantuk,
menemani sakit di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.

Ya, kutuliskan puisimu,
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
di haribaan malam.

Ayo temui aku di bawah kibaran sarung,
di tempat yang jauh terlindung.

(1999)


Sumber: Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama