Februari yang ungu berderai pelan sepanjang malam,
menyirami daun-daun kalender yang mulai kering.
Aku melangkah ke dinding, membetulkan penanggalan
yang tampak miring. "Jangan gemetar. Aku baik-baik saja.
Tua cuma perasaan," kata kalenderku yang pendiam.
Kuhitung berapa tanggal telah tanggal, berapa pula
tinggal tangkai. Sambil menggigil kalenderku berpesan,
“Jangan mau dipermainkan angka. Tua cuma pikiran.”
Kalenderku suka tertawa membaca catatan yang kutulis
dengan tinta merah jingga: Ah, bulan terlambat datang.
Ah, bulan datang terlambat. Oh, datang bulan terlambat.
Februari yang ungu kuncup mekar sepanjang malam
pada tangkai-tangkai kalender yang mulai gersang.
(2004)
Sumber: "Puisi: Februari yang Ungu (Karya Joko Pinurbo)", https://www.sepenuhnya.com/1997/03/puisi-februari-yang-ungu.html.
menyirami daun-daun kalender yang mulai kering.
Aku melangkah ke dinding, membetulkan penanggalan
yang tampak miring. "Jangan gemetar. Aku baik-baik saja.
Tua cuma perasaan," kata kalenderku yang pendiam.
Kuhitung berapa tanggal telah tanggal, berapa pula
tinggal tangkai. Sambil menggigil kalenderku berpesan,
“Jangan mau dipermainkan angka. Tua cuma pikiran.”
Kalenderku suka tertawa membaca catatan yang kutulis
dengan tinta merah jingga: Ah, bulan terlambat datang.
Ah, bulan datang terlambat. Oh, datang bulan terlambat.
Februari yang ungu kuncup mekar sepanjang malam
pada tangkai-tangkai kalender yang mulai gersang.
(2004)
Sumber: "Puisi: Februari yang Ungu (Karya Joko Pinurbo)", https://www.sepenuhnya.com/1997/03/puisi-februari-yang-ungu.html.