Tidak mudah mendapatkan waktu yang baik untuk menjumpai engkau. Pagi engkau masih tidur. Malam engkau sibuk menyendiri dan melukis. Secara kebetulan saja aku bisa bertemu engkau.
Ketika aku tiba di rumahmu, engkau sedang mandi. Engkau penggemar mandi tampaknya. Mandimu lama dan riang sekali. Kudengar engkau bersenandung. Senandungmu menjangkau relung yang telah lampau. Aku terdiam di ruang tamu. Termangu. Melihat-lihat kau dalam pigura: sedang duduk berdua dengan senja di halaman rumah yang rindang, wajahmu gemilang oleh kemilau mambang.
Lama ditunggu, mandimu selesai juga akhirnya. Kau melongok ke ruang tamu. “Selamat siang! Maaf ya, tadi terlambat bangun. Semalam melukis sampai pagi.” Lalu kau minta ijin untuk mengeringkan rambut yang habis dicuci. Lalu kau muncul bersama hitam: hitam bajumu, hitam celanamu, hitam rambutmu, hitam kopimu.
“Ayo minum. Mumpung masih hitam,” kata kau, lalu kau persilakan aku bicara. “Tapi jangan lama-lama. Sebentar lagi aku harus melukis. Selagi masih bisa berdamai dengan warna.”
***
Engkau biasa bangun siang?
Ya, itu hobi. Lebih tepatnya pilihan. Entah mengapa aku tidak suka melihat terbitnya matahari.
Engkau penggemar mandi?
Mandi adalah senang-senang. Bagi orang lain mandi mungkin tugas atau pekerjaan. Atau kontemplasi. Atau melankoli. Untukku mandi adalah pembebasan.
Maaf, tampaknya engkau suka berlama-lama mandi.
Tergantung suasana hati. Kalau hati senang, mandi juga senang. Dan lama. Kalau hati sedih, mandi adalah penghiburan. Dan bisa lebih lama.
Apakah kau suka mandi sambil menyanyi dan menari?
Ya itu tadi, tergantung suasana hati.
Bisa diperagakan?
Ah, kau norak sekali!
Adakah hubungan perilaku mandi dengan masa kecil seseorang? Aku pernah membaca buku psikologi mandi. Konon mandi bisa merupakan pelampiasan perasaan-perasaan terpendam yang erat kaitannya dengan memori dan pengalaman masa silam.
Bohong! Mandi ya mandi. Titik.
Engkau tidak sedang menyembunyikan diri, bukan?
Ah, seperti psikolog saja.
Memang pernah bercita-cita jadi psikolog, tapi entah mengapa tersesat jadi wartawan.
Wah, kalau begitu rugi dong bicara dengan orang tersesat.
Aku memang tersesat dalam kepedihan matamu.
Gombal!
***
Hari makin beranjak siang. Rumahmu terasa lengang. Makin lengang, makin luas dan ngiang oleh alunan Mozart yang timbul-tenggelam. Engkau minta ijin untuk rehat dulu. Engkau masuk kamar. Kau bilang mau masuk kanvas sebentar. Mau mengaduk warna. Membetulkan garis-garis senja. Dengan wajah berbinar-binar engkau muncul kembali bersama hitam: hitam bajumu, hitam celanamu, hitam rambutmu, hitam lengkung langit matamu.
***
Engkau tidak takut sekian lama tinggal sendirian? Engkau tidak pernah kesepian?
Oh tidak. Mungkin malah sepi yang takut dengan kesendirianku.
Bisa engkau jelaskan?
Kesendirian bisa sangat berbahaya jika ia tegar dan kuat. Sepi akan limbung, lalu merasa kehilangan alasan kehadirannya karena tidak mendapatkan antagonisnya.
Wah, agak berbau filsafat juga.
Harus! Supaya kau bingung. Supaya aku menang.
(Engkau tertawa ngakak dan aku senang.)
Sejak tadi aku mendengar cericit tikus di rumah ini. Engkau suka memelihara tikus?
Tikus-tikus itu dipelihara sepi untuk melawan kesendirianku. Tapi cericit tikus justru membelaku.
Engkau tinggal di rumah ini dalam rangka menyendiri atau melarikan diri?
Apa bedanya?
Menyendiri itu menyepi atas kemauan sendiri. Melarikan diri itu minggat atas paksaan sendiri.
Enggak lucu! Keduanya salah. Aku cuma ingin berdamai dengan diri sendiri. Aku benci bunuh diri.
Aku dengar rumah ini ditunggui laki-laki tanpa celana yang suka muncul malam-malam dengan darah mengucur dari kelaminnya. Kapan aku bisa bertemu dengannya?
Stop! Engkau jahat. Engkau mulai memasukiku.
Maaf. Satu lagi. Besok engkau ulang tahun. Keberapa?
Enam puluh.
Oke. Selamat ulang tahun ke-60. Dirgahayu!
***
(Wawancara imajiner selesai. Pelukis itu termenung di depan kanvas. Berpikir keras bagaimana caranya menempatkan sosok hitam perempuan itu di tengah lanskap senja tanpa mengganggu panorama warna.)
(2003)